Oleh: Ahmad Fikri
(Relawan Pendaki Puncak Mandala dalam Festival Puncak Papua)
(Relawan Pendaki Puncak Mandala dalam Festival Puncak Papua)
Puisi-puisi tentang sahabat berulang-ulang kami teriakkan dalam perjalanan summit attack Puncak Tambakruyung dengan ketinggian 1994 mdpl. Sudah belasan antologi puisi yang terlontar diiringi tawa kecut dalam curam dan rapatnya lereng barat gunung yang tidak terlalu tinggi ini. “Semeru hanya sepertiganya dari ini”, itu komentar rekan-rekan yang pernah menaiki puncak Mahameru.
—
Berkali-kali diklat, lagi dan lagi hingga saat ini harus menempuh pendidikan dan latihan dalam persiapan Ekspedisi Puncak Mandala di Papua yang diselenggarakan oleh Wanadri dan Indonesia Mengajar. Proses seleksi sudah saya ceritakan dalam artikel sebelumnya, bahkan hingga materi kelas di sekretariat Wanadri di Jalan Aceh No. 155 Bandung.
Pegunungan Ciwidey menjadi jawaban atas beberapa lokasi yang pernah tercakap dari diskusi-diskusi tidak jelas tim kami, diskusi juga menjadi sarana pencairan tim yang baru saja dipertemukan.
Agenda dalam Diklat 1 ini lebih menitikberatkan materi Navigasi berupa penggunaan peta dan kompas, serta sistem pergerakannya berupa Man-to-man dan Guide Medan. Selain navigasi, diperkenalkan juga materi survival yaitu pengenalan Botany dan Zoology Praktis, serta mencoba menampung air dari hujan dan tidak lupa untuk merasakannya.
Hari pertama Tim Mandala dibagi menjadi dua tim pergerakan dan ber-bivak ditempat yang berbeda. Kedua tim lalu bertemu keesokan harinya pada siang hari setelah melewati medan navigasi yang selain membutuhkan orientasi terhadap lingkungan, dengan menggunakan otak, juga memerlukan fisik serta psikologi yang baik ditambah kemampuan berdiskusi. Dalam bernavigasi memang dibutuhkan diskusi antar sesama tim, jangan sampai kita merasa selalu benar karena second-opinion bisa saja yang memang benar. Jangan merasa terlalu benar sendiri.
Di hari ketiga memasuki masa survival, kami berpuasa tidak makan perbekalan yang kami bawa agar materi survival benar-benar dirasakan dan dipraktekkan. Siang hari sembari bergerak ke titik-titik tujuan, sekaligus dilakukan ‘belanja’ bahan-bahan makanan yang ditemui berupa begonia, jantung pisang, pakis dan lainnya. Makanan hasil belanja kami masak untuk makan siang dan malam hari dengan prosedur yang benar. Dilakukan dua kali perebusan agar getah bahan makanan berkurang, lalu dimasak dan dibumbui pada kali ketiga. Dalam memasak bahan alam setidaknya minimal dibutuhkan lima jenis tanaman agar racun-racun yang dimiliki setiap tanaman dapat saling menetralisir.
Air pada jirigen menipis, lokasi berbivak malam terakhir berada pada punggungan yang jauh dari sungai. Air hujan yang tertampung cukup banyak, kami masak agar kumannya mati dan tidak menyakiti perut. Walaupun rasanya tidak seperti air pada biasanya, namun pengalaman mencoba air hujan cukup menambah pengalaman. Karena air adalah sumber kehidupan, dalam keadaan darurat kita harus mencari sumber-sumber air dan mengolahnya agar bisa dipergunakan guna melanjutkan hidup.
Hari terakhir kami memasuki agenda puncak, summit-attack ke puncak Tambakruyung. Walaupun gunung ini jarang didatangi orang, kami tetap percaya diri untuk terus melangkahkan kaki naik dalam curamnya lereng. Dalam perjalanan ke puncak, kami sangat kewalahan dengan vegetasi yang begitu rapat. Dari datum pertigaan sungai hingga ketitik puncak, setidaknya membutuhkan waktu enam jam.
Puncak Tambakruyung, adalah saksi pendidikan dan latihan 1 kami. Selanjutnya Tim Mandala akan memasuki Training Camp guna memantapkan dan memusatkan latihan fisik, bonding-team, teknis operasional dan manajerial yang membutuhkan waktu yang intensif. Diklat 2 akan dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Doakan kami, Tim Mandala untuk diklat-diklat selanjutnya serta pendakian ke Mandala kelak. Amin