Ekspedisi Atap Jawa
Jawa Tengah
#1 Merapi
Setelah sekian panjang
drama yang harus Merapi berikan, akhirnya tim yang akan berangkat berjumlah 7
orang. Dua pria dan 5 wanita. Awalnya aku sendirian pria yang akan mengantar
kelima wanita tersebut, namun karena ada intervensi dari organisasi akhirnya
bertambahlah satu pria lagi. Bersyukur, ada tambahan personil pria.
Kalau tidak entah bagaimana nasibku dijalan.
Oiya, bagiku Merapi
selalu dekat namun dalam waktu bersamaan sangat jauh. Sudah kulihat setiap
sudutnya, mulai dari utara hingga ke utara lagi. Namun kesempatan untuk
menaklukkannya belum pernah kesampaian.
Dalam kesempatan projek
pribadi yang kubuat, berjudul Ekspedisi Atap Jawa Tengah, Merapi mendapat
kesempatan pertama untuk dijajaki. Ekspedisi Atap Jawa Tengah bagiku merupakan
titik awal dari Ekspedisi Atap Jawa yang ingin kutuntaskan hingga ke atap
tertinggi Jawa – Mahameru. Namun, biarkan kuhabiskan atap Jawa Tengah kemudian
Jawa Barat terlebih dahulu. Terakhir baru Jawa Timur dengan pamungkasnya di
TNBTS Gunung Semeru.
Latar belakangku untuk
memulai perjalanan dari Merapi sudah kujelaskan sebelumnya. Namun mengapa harus
mengakhirinya di Mahameru?
Bagi
mereka yang dekat denganku, mungkin sering mendengar cerita tentang dua kali
kegagalanku dalam perjalanan Semeru. Kali pertama ketika masa polos SMA, kali
kedua ketika terjadi tragedi meninggalnya mahasiswa Unpar Bandung. Namun kali
ini bukan cerita Semeru yang ingin kubagikan.
SOP pendakian Gunung Merapi yang terpampang di Basecamp Barameru |
Perjalanan ke Merapi
akhirnya dimulai sehari sebelum keberangkatan. Sebenarnya kemampuan seperti ini
yang tidak pernah dipelajari orang-orang. Mengapa orang mendaki gunung? Entah
ada yang menjawab ingin mendapat foto-foto keren untuk dipajang di instagram,
ada juga yang hanya mengincar titik tertinggi, namun ada juga orang sepertiku
yang mengincar perjalanannya. Kemampuan yang paling berharga dalam mendaki
gunung adalah manajemen perjalanan. Bagaiamana seorang pendaki gunung, terutama
leader pendakian dapat memanajemen perlengkapan pribadinya disaat
perlengkapan kelompok masih kekurangan, memanajemen kendaraan bersama disaat
dia saja masih bingung untuk naik apa, memenajemen makanan kelompok disaat dia masih susah mengatur arus makan pribadinya, dan memanajemen
skenario-skenario perjalanan disaat dia harus ribet dengan pergerakan yang
harus dilakukannya sendiri.
Namun, perjalanan itulah yang menjadi guru yang
sebenarnya. Dimana tanda tanya akan diganti oleh tanda tanya baru, tentang
pengetahuan yang tidak akan ditemui dari tempat lain, dari ruang kelas maupun
buku-buku.
Perjalanan ke Merapi
kami sepekati setelah sholat subuh pada tanggal 30 Juni 2017. Aku yang terakhir datang ke kampus karena ternyata
mesjid yang kutempati sholat selesai lebih lama. Tanpa cincong kami
bersiap-siap, finalisasi perlengkapan dan mengaturnya ke dalam kendaraan.
Kami berangkat dengan 4 motor, dengan salah satu motornya hanya digunakan 1
orang karena jumlah rombongan yang ganjil.
Perjalanan melewati
kelokan aspal kami habiskan tepat 2 jam setelah sedikit kebingungan di wilayah
Magelang, namun tidak ada hambatan yang berarti. Rombongan sampai di basecamp Selo
pukul 7.30 pagi. Sesuai kesepatan briefing kemarin, kami memesan sarapan di
basecamp sebelum memulai pendakian. Nasi goreng yang cukup pedas, memulai
gejolak yang perutku berikan. Sebenarnya buang air besar masih dapat dilakukan
sebelum memulai perjalanan, namun karena antrian yang panjang serta susahnya
akses air di kamar mandi yang terdapat di samping basecamp makanya kuurungkan niatku, mungkin
ketika turun besok dapat kutuntaskan.
Atas: Gunung Merbabu yang malu-malu dilihat Bawah: Gunung Lawu yang menancap kokoh di sebelah timur |
Pukul 4-an sore sedikit lagi sampai di pasar Bubrah |
Banyak skenario yang
akhirnya terganti dan bergeser. Seperti rencana membeli makan malam dari
basecamp yang tidak jadi, serta molornya waktu perjalanan. Padahal
keberangkatan pukul 9 pagi dan perjalanan dihabiskan 8 jam hingga menapaki
pasar bubrah pukul 16.56 WIB cukup lama padahal perjalanan normal harusnya hanya 5-6 jam.
Segera kami dirikan tenda sebelum matahari
menghilang di ufuk barat. Tim kami bagi menjadi dua, yang mengurus konsumsi
untuk makan malam dan mengurus persiapan menginap malam itu. Persiapan selesai
tepat ketika cahaya mentari hilang total, menyisakan gemintang yang tidak malu
jika muncul bergerombolan.
Kekecewaanku bertambah
setelah tim yang mengurusi makan malam ternyata gagal membuat nasi yang enak.
Nasinya keras, tidak ada bedanya ketika Diklatsar bersama mereka kemarin.
Padahal kan sudah pake kompor gas, kok bisa gagal?
Mungkin ekspektasi ku yang
berlebih, kukira semua perempuan bakalan dengan mudah memasak apalagi di
gunung.
Ternyata tidak, aih apalah. Kalian tau, bagiku (dan juga bagi banyak
orang), makanan yang harus dibawa di gunung adalah makanan yang sehat-sehat dan
enak-enak. Naik gunung adalah waktu untuk makan enak, karena selain itu anak
kos adalah orang-orang menderita yang jarang makan dengan alasan mager untuk
sekedar keluar membeli makan atau memang tidak punya uang.
NAIK
GUNUNG ADALAH ALASAN UNTUK MENAMBAH PROTEIN.
Setelah menuntaskan
makan malam, (yang masak nasinya kuambil alih, karena masih keras namun tak mengapa toh makan malamnya tetap sedap. Aku hanya takut jika nasi yang keras itu menambah parah gejolak di perutku).
Kami memulai evaluasi
malam hari sekaligus briefing untuk persiapan hari kedua esok hari, summit attack. (Setelah ini, summit attack akan disebut summit)
Briefing dan evaluasi
inilah yang memang membedakan para pendaki amatiran dan non-amatiran.
Secara
logika, malam hari adalah waktu untuk beristirahat, namun bagiku dan juga
rombongan yang kubawa, harus ada sesuatu yang harus kami ambil hikmahnya barang
sekecil-pun. Tidak lama, paling 30 menit hingga se-jam kami batasi
waktu, jika memang diskusi berjalan kondusif. Selain persiapan summit attack, kami juga membahas untuk persiapan
perjalanan turun ke basecamp setelah menikmati puncak.
Evaluasi dan briefing
selesai, namun kuputuskan untuk langsung memasuki sleeping bag-ku (SB). Rencana untuk mendokumentasikan gemintang
kutinggalkan. Selain karena dinginnya suhu dan keringnya angin yang berhembus
di pasar Bubrah, tadi sore ketika unpacking
barang kucoba menggunakan tripod yang kubawa. Namun sekali sentuh, barang
tersebut patah disetiap sisi. Walau masih bisa digunakan, namun susah
sekali, harus dengan niat yang sempurna itupun dengan resiko suatu waktu
kameranya dapat ambruk karena angin yang begitu kencang menghantam
tripod.
Relakan saja, lagi pula TIDUR NYENYAK JUGA ADALAH ALASANKU UNTUK NAIK
GUNUNG.
Golden Sunrise dari Pasar Bubrah. Pendaki menghabiskan momen dengan berfoto-foto atau sekedar melamun bersama teman perjalanan. |
Tidak ada hambatan
berarti dalam penghabisan malam yang kami lakukan di dalam tenda. Tidur
nyenyak, walau kadang terbangun akibat rembesan air yang terkondesi, ataupun
alarm JANCUK DALAM ARTI YANG SEBENARNYA.
Aku lupa mematikan
alarm ku, alarm pagi yang paling pertama akan berbunyi pada pukul 03.00.
Sebenarnya bukan masalah pukul 3 dini hari-nya, toh orang-orang yang persiapan summit juga cukup ribut. Masalahnya yaitu backsound yang kupakai sepertinya tidak cocok untuk daerah seperti gunung. Pasangan tidurku
krasak-krusuk mencari hape yang berada ditumpukan laci-laci tas, aku yang
setengah sadar malas-malas untuk bangun hingga akhirnya sempurna terbangun karena sadar dengan bunyi itu.
(Kalian cari saja bunyi
itu, di hapeku judulnya ENDANK SOEKAMTI cut, sepertinya itu salah satu cuplikan
lagu ES yang cukup populer untuk anak muda. Yang pernah kulihat di videonya, seorang bapak-bapak mengamuk di radio yang on-air dan berucap sangat kasar menantang pendengar).
Alarm sudah kumatikan,
sekaligus alarm-alarm lainnya yang akan menyusul. Kembali ke SB-ku, sambil
sesekali berbincang pendek dengan Kuaci, pasangan tendaku. Katanya, dia sangat
kedinginan. Kutolak argumennya, tentu saja karena aku menggunakan perlengkapan
lengkap yang menutupi seluruh tubuhku mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah ku konfirmasi ulang apa yang dia
katakan, ternyata dia tidak membawa SB. Sial, kukira perlengkapannya sudah
lengkap. Tahu gitu kan bisa dipersiapkan bersama ketika masih di kampus. Namun,
karena sudah PeWe, kupura-pura tidur sajalah. Toh sedikit lagi subuh.
Subuh adalah waktu
tersulit bagiku untuk melawan. Di pasar Bubrah, bukan hanya setan namun dingin
juga harus ditaklukkan. Karena niatku untuk menikmati golden sunrise, kupaksakan untuk bangun. Persiapanku untuk mencari sunrise selesai, SB-ku
kuberikan ke Kuaci yang masih terlelap kedinginan.
Atap pertama Officialy dengan plang #ekspedisiatapjawa #travelikay |
Aku berjalan sendirian melewati
bebatuan besar-besar tanpa menggunakan headlamp, kulatih insting penglihatan
gelapku. Tidak gelap-gelap amat sih, tapi cukup untuk menabrak beberapa batu
dan memelankan langkah ketika ingin menaiki tanjakan menuju plang Pasar Bubrah.
Rame sekali orang-orang yang ingin mendokumentasikan momen ataupun para
summiter yang melewatiku. Hasil briefing semalam, kami tidak
jadi summit attack subuh-subuh. Alasanku, ngapain dingin-dingin lalu
menghabiskan waktu hanya sekedar sunrise di puncak mending sunrise-an di
Bubrah. Tapi entahlah, itu sekedar alasanku saja karena aku tidak yakin dapat
bergegas dalam dinginnya subuh untuk menapaki puncak. Lagipula sama saja,
sunrise di ketinggian. Pikirku, tapi entahlah mungkin suatu saat akan berbeda
lagi.
Ternyata, skenario
untuk tidak Summit di kala subuh akan mengubah skenario awal. Mungkin karena
saat itu adalah Summit pertamaku, sehingga sudut pandang terkait kemoloran
skenario belum pernah kupikirkan. Karena Summit yang kami lakukan baru pukul 6.12
pagi, ditambah perjalanan naik, foto-foto dipuncak, turun dan sampai lagi di
pasar Bubrah pukul 8.11, sehingga skenario-skenario awal dan baru tetap saja
salah. Inilah yang kucari dalam setiap perjalanan,
PENGALAMAN AKAN MENAMBAH
SUDUT PANDANG.
Sudut pandang baru
tentang summit attack dan skenarionya. Di skenario awal keputusan Summit subuh-subuh
memang karena alasan ingin menghabiskan sunrise di puncak. Namun setelah
mengubah skenario dan menjalaninya dengan segala kemoloran, ternyata pelajaran yang
dapat dipetik untuk sebuah summit attack adalah menjaga sebuah run-down
perjalanan agar tetap sesuai.
Puncak Merapi kutapaki
pada tanggal yang cukup unik, 1717 alias 1 Juli 2017. Perjalanan satu jam ke
puncak cukup melelahkan namun dapat terbayar untuk sebuah penantian ketinggian
yang sudah lama ditunggu.
Perjalanan menuruni
puncak ternyata sangat seru. Hanya menghabiskan 24 menit karena setelah menemui
jalur pasir, kita tinggal bermain prosotan saja. Berbeda dengan
perjalanan naik yang menghabiskan 1 jam perjalanan karena setiap naik 3 langkah
di jalur pasir maka kaki kembali terperosok 1 hingga 2 langkah. Capek.
Perut sangat
keroncongan setelah telah kembali di Pasar Bubrah. Untung saja Kuaci yang tidak
ikut Summit telah membuat nasi matang (tanpa keras, perutku bakalan aman), jadinya kami hanya perlu
mempersiapkan lauk untuk sarapan (atau ini makan siang?). Semua konsumsi yang bisa dihabiskan kami kuras dan coba masak, hm
sangat banyak jadinya. Sampai-sampai abang yang dari Purbalingga kami persilahkan
ikut makan bersama.
Semua bahan makanan
yang bisa dimasak kumasukkan dalam resep makanan. Setelah semua jadi, nafsu
makanku begitu tinggi dengan bahkan sisa-sisa teman lain yang menurutku sayang karena
mubazir coba kumakan juga. Alhasil, gejolak di perut yang tadinya membaik
seketika kembali menyerang dengan begitu parah.
Sebelumnya beberapa
butir diapet telah kuhabiskan tapi ternyata tetap tidak mempan. Aku berteriak
untuk dicarikan tissue basah sekaligus segera berbenah dengan seragam yang cocok
untuk buang air besar.
Seragam yang kugunakan
berupa sarung untuk menutupi badan, jangan sampai tubuhku terlihat mencolok.
Buff untuk menutupi muka, jangan sampai orang-orang mengenali wajahku. Ditambah
dengan perlengkapan seperti parang untuk menggali dan mengubur kembali tanah, tissue
basah untuk kalian tau lah, serta sedikit air untuk bebersih.
Tapi jangan bayangkan
aku sedang berada di hutan dengan vegetasi yang rapat. Jangankan rapat,
vegetasi saja tidak ada sama sekali. Pasar Bubrah adalah hamparan padang pasir
dan batu luas yang setiap sudutnya dapat ditengok. Alhasil sambil menahan buang
air, pikiranku terus bekerja untuk mencari tempat yang paling aman dan tidak
terlihat orang-orang.
Kutemukan lembah kecil,
kumasuki lalu kususuri hingga ujungnya. Buset, ujungnya berupa jurang yang
sangat dalam. Kuliat dan perhatikan sekitar dengan sungguh-sungguh. Setelah
berhitung dengan keadaan, tentang titik dimana harus kutanam ranjau yang sudah
tak tahan untuk dilepas maka tanpa berlama-lama posisiku berubah menjadi mode-on
siap menghempaskan bumi. Lima menit lebih sedikit perutku selesai bergejolak.
Pasir, batu dan tanah
kususun sedemikian rupa agar tidak meninggalkan tanda-tanda aktivitas yang
mencurigakan. Aku kembali ke tenda dengan perasaan lega, dengan sedikit berlari-lari
kecil karena sangat puas dengan apa yang telah kulakukan. Bayangkan saja,
banyak orang dengan susah payah mendaki dan menginap di Pasar Bubrah. Namun,
hanya sedikit sekali orang yang berhasil melepaskan ranjau di datarannya.
SEDIKIT ORANG ITU ADALAH AKU.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar