Tepat 2.00 WIB cerita ini aku mulai tuliskan.
Cerita ini adalah sedikit kepingin mozaik-mozaik berantakan yang sedang disusun oleh pemuda yang merasakan begitu banyak cinta, namun tak pernah terbalaskan.
Kepingan ini adalah kepingingan yang baru saja terjadi. Berawal dari beberapa bulan yang lalu, dan entah berakhir hingga kapan.
Sebuah kisah antara seorang pencari cinta dan seorang pemuja-muja cinta.
“Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan.”
― Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
---
Mangga, adalah buah surga yang ketika masa panennya tiba tiada kira lezatnya.
Mangga juga yang memulai semua kisah ini.
Berawal dari malam itu, dimana beberapa mangga siap diantarkan.
Melaju motor hingga titik tujuan malam itu.
Di sebuah wilayah indekos sekitar jalan gejayan jogjakarta.
Saya, sebuah chat muncul dalam sebuah grup ketika penawaran mangga itu dimunculkan.
"Kosmu disekitar mana?"
"Di preksu kolombo masuk, pertigaan pertama belok kanan kemudian belokan kiri pertama ke kiri lalu mentok sebelum pertigaan. Kosnya disitu"
Sampailah beberapa biji mangga yang tidak banyak itu.
Diterima oleh seorang gadis, junior dalam organisasi yang sama.
Dengan tatapan polosnya berkata mengapa begitu serius mengantarkannya?
Entahlah, itulah kerjaan kesukaanku.
Membagikan nikmat Tuhan kemudian berkeliling jogja untuk mengantarkannya.
Sejak malam itu, entahlah apa yang terjadi pada dunia dan seisinya.
Tidak berguncang, karena hari itu tidak sedang kiamat.
Dunia hanya terasa mulai sedikit berjalan perlahan.
Hingga beberapa hari kemudian lambat cepatnya waktu di ukur oleh sedih senangnya gumpalan merah yang terletak di dada manusia yang kita sebut hati.
Tidak seperti Zainuddin yang ketika pertama kali melihat sosok cantik Hayati dan langsung jatuh cinta.
Sosok malam itu bukan kali pertama terlihat oleh kedua bola mata ini.
Namun malam itu, ada yang berubah dari sosok itu.
Entah apa yang bedah, sebuah cinta seakan tumbuh.
Hari berganti, malam pun turut berubah.
November, bulan yang selalu membuatku ceria sekaliguus gelisah.
Entahlah wanita menurutku seperti itu, susah sekali ditebak.
Kadang kelakuannya tak seperti apa yang dia rasakan.
Tidak, bukan kadang, namun selalu.
Aku yang bodoh, terlalu berharap lebih dari respon yang kau berikan.
Aku yang terlalu geer dengan kelakuanmu terhadapku.
Dan subuh itu, ketika ku beritahukan bagaimana perasaanku kepadamu.
Sebuah kata Menyerah terucap dari diriku.
Tidak segampang membolak-balikkan telapak tangan untuk mencoba menyerah.
Ketika pertemuan yang semakin intens di organisasi membuatmu berubah terhadapku.
Dan malam itu, kita berjanji memulainya kembali dari awal.
Betul, dari awal.
Hari kembali berganti.
Rasa cinta itu entahlah terkikis atau tidak.
Rasa sayang tetap ada, bahkan jauh melampaui sebelumnya.
Ketika sebuah keluarga kecil yang terdiri dari 4 orang terbentuk.
Ketika curhatanmu dan curhatanku keluar begitu saja dari mulut kita masing-masing dan masuk ke telinga kita.
Kau katakan kita memang tidak cocok.
Entahlah, itulah kebodohanku.
Terlalu baik? Atau memang berusaha menjadi baik?
Atau hanya bersikap baik untuk membuktikan sebuah pengorbanan?
Kata pengorbanan ya? Terlalu banyak kayaknya.
Mulai dari tidak belajar di hari yang kau janjikan untuk belajar bersama.
Tapi aku salah, kau hanya bermain dan pergi entah kemana tanpa belajar.
Meninggalkan ku dalam kesunyianku dan penyesalanku.
Penyesalan karena menyia-nyiakan waktu untuk tidak belajar karena esoknya ujian akhir.
Penyesalan karena tidak berangkat mengecek lokasi acara yang aku ikut bertanggung jawab.
Kau hanya terkekeh, menyesal setelah aku mengatakan segalanya.
Aku tak pernah mengerti kau.
Bukan, atau kau benar.
Duniamu yang tidak pernah menganggapku ada?
Aku terus berusaha untuk mununjukkan eksistensiku di dalam duniamu.
Walaupun aku sadari sebagian cara yang aku gunakan adalah salah.
Menjadikan divisimu dalam sebuah acara kita menjadi divisi yang aku bawahi walaupun tak langsung.
Namun cara lain yang aku gunakan entahlah bagaimana menurutmu.
Apakah aku ikut dalam sebuah kelompok yang berisi 4 orang karena disitu ada kau?
Apakah aku berperilaku seperti orang bodoh seharian hanya karena ingin menemanimu bagaimana rasanya mencoba kereta?
Apakah aku menghabiskan setiap malamku hanya untuk ada bersamamu di saat makan malam walaupun kita tidak berdua?
Apakah aku selalu ke perpustakaan kampus hanya karena disitu biasanya kau gentayangan?
Apakah aku membawakanmu makan karena aku tahu kau belum makan seharian?
Apakah aku menjemputmu di bandara ketika kau kembali ke jogja hanya karena ingin memboncengmu ke kosan?
Apakah, apakah, apakah dan apakah?
Aku melakukan itu semua, karena aku sedang berjuang.
Aku berjuang maka aku ada.
Tapi, eksistensiku tak pernah ada di duniamu.
Setidaknya itu yang aku rasakan.
Entahlah bagaimana menurutmu tentangku, tapi aku yang merasakan.
Sebagai lelaki, kau tahu?
Tak boleh ada yang saling menyakiti.
Kau punya janji dengan seorang di kota lain.
Yang tentu saja yang selalu bermain-main dalam duniamu.
Yang eksistensinya mengalahkan ku.
Aku pernah merasakan ditinggalkan karena lelaki lain.
Itu terjadi dicerita sebelumnya.
Tapi sekali lagi cerita itu telah aku lewati, saatnya kembali ke cerita kita ini.
Cerita yang sepertinya juga harus aku lewati.
Sebagai seorang lelaki, pantang merebut hati dari lelaki lain.
Aku tak mau menjadi seorang Aziz yang merebut Hayati dari seorang Zainuddin.
Aku hanya berjuang.
Dan perjuanganku tak pernah terlihat olehmu.
Namun entahlah, aku tak pernah tau.
Apakah kau memang tidak melihatnya.
Ataukah kau hanya berpura-pura tak melihatnya.
Hal itu yang sampai sekarang aku tak pernah tahu.
Tidak sama seperti Hayati yang telah berjanji untuk selamanya setia menunggu Zainuddin.
Walaupun akhirnya adat istiadat yang memisahkan mereka dan takdir kembali mempertemukan.
Hey, kau tahu?
Disetiap kau menyebut namanya.
Disetiap kau menceritakan tentangnya.
Disetiap cerita kalian terdengar di kupingku.
Kau tahu bangaimana rasanya?
Tak dapat ku definisikan dengan kata-kata rasa sakit itu.
Eksistensiku kembali kalah.
Puncaknya, ketika sekali lagi aku mengorbankan segalanya untukmu.
Waktu, teman-teman, dan kehidupanku di jurusan yang berefek dalam perkuliahan selanjutnya.
Hanya untuk menemanimu menyiapkan segalanya.
Dan apa yang aku terima?
Sebuah tangisan yang menyayat sekali lagi.
Bukan tangisan karenaku.
Bukan tangisan untukku.
Tapi tangisan yang katamu tangisan bodoh.
Dan ketika sosial media yang sering kau jadikan luapan kesedihan itu aku buka.
Disitu titik nadirku berada di titik terendahnya.
Aku ada namun tak terlihat.
Disitulah sosok Teci muncul
Tena Kacinikang.
Sosok imajinasiku yang menggambarkan diriku di duniamu.
Dengan segala hormat dengan kode-kode mu yang tek pernah aku mengerti.
Dengan segala hormat dengan hubunganmu dengan lelaki itu.
Dengan segala hormat dengan semua bisik-bisik yang aku dengar tentang kehadiranku untukmu.
Dengan segala hormat akan diamku di trip terakhir kita.
Dengan segala hormat disaat sikapku yang sesungguhnya muncul.
Dengan segala hormat disaat kau tak sanggup menghirup udara di kawah sulfur.
Dengan segala hormat untuk segala-galanya yang telah aku perjuangkan, dan kemudian dikecewakan.
Hari itu, aku menulis surat panjang kepadamu yang berisikan kalimatku untuk kembali mengatakan menyerah.
Menyerah untuk kedua kalinya.
Aku berharap tak ada kata menyerah yang ketiga, keempat atau kelima kalinya.
Namun, rasa itu memang sulit dihapus.
Aku tak pernah menunggumu, karena aku tak pernah mengerti akan dirimu.
Bagaimana mungkin rasa cinta itu dapat dihilangkan?
Sleman, 27 Februari 2016.
Selesai pada pukul 10.00 WIB
Ahmad Fikri
untuk kisah bodoh dirinya tentang cinta
---
Cinta bukan melemahkan hati. Bukan membawa tangis, juga bukan membuat kita putus asa. Sebaliknya cinta menguatkan hati dan menghidupkan harapan (Hayati)