“Namun bagiku, ujian pertama dalam perjalanan adalah pembuktian
kesabaran”
Titik Nol – Agustinus Wibowo
Take-off pesawat di Lapangan Terbang Bime (Dokumentasi Pribadi) |
Sebagai seorang mahasiswa, momen
seremoni semacam upacara memperingati kelahiran republik sangat jarang
dilakukan. Tapi kali ini, betapa beruntungnya diriku. Sebab sehari sebelum
peringatan tahunan ini dihelat, kami datang menggunakan pesawat jenis caravan yang hanya muat 9 penumpang. Penerbangan kami tiba setelah menunggu sekian hari. Distrik Bime adalah salah satu kecamatan di
Kabupaten Pegunungan Bintang. Di daerah tingkat satu ini, serta beberapa daerah
tetangganya, diakses hanya melalui jalur udara. Di setiap distrik (baca:
kecamatan) pasti ada lapangan terbang yang hanya muat untuk pesawat-pesawat
kecil yang datang langsung dari Jayapura, lalu ketika pulang bahkan kadang
harus singgah di distrik sebelah untuk mencari penumpang, layaknya angkot kalau di
kota-kota.
Kedatangan pesawat membuat
anak-anak yang bermain di lapangan terbang Bime segera menyingkir. Orang-orang yang datang dari berbagai desa (disini disebut/setara dengan
kampung) bergerombol layaknya keramaian di pasar malam, sekedar ingin mencari
hiburan. Kalau beruntung, terselip nama mereka pada barang-barang bongkar muat yang dibawa pesawat. “Kiriman
raskin dan supermi itu” kata mereka, merujuk pada beras dan mie instan kiriman
keluarga mereka di kota.
Ada cerita lucu ketika pertama
kali kedatanganku. Warga yang berkerumun di luar pesawat bergosip ria tentang
siapakah gerangan Kaka' yang rambutnya panjang itu. Rambutku yang kubiarkan
terjuntai memang sering dikira rambut wanita, warga Bime juga mengira demikian.
Tapi kekecewaan mereka cepat sekali datang setelah aku turun dan mereka tidak
menemukan tonjolan di dadaku. Kata mereka, karena aku tidak berbuah dada
makanya mereka langsung mengerti kalau aku seorang lelaki. Kelak Itu kudengar
dari seorang gadis kelas 2 SD bernama Apioka.
Pesawat kembali terbang, ditonton
sebagian kerumunan warga yang masih terkesima walaupun setiap minggu melihat
beberapa pesawat datang dan pergi. Sebagian lagi bisik-bisik bertanya tentang
kehadiran kami. Mungkin karena trauma masa lalu terhadap pendatang yang hanya
sekedar lewat, datang tanpa memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada masyarakat, ditambah sulitnya akses ke daerah mereka, menambah
rasa penasaran itu. Untungnya kedatangan kami telah ditunggu oleh seorang teman
yang sudah disana beberapa minggu sebelumnya. Kami diajak memperkenalkan
diri ke masyarakat, menjelaskan maksud kedatangan kami guna ikut dalam membantu-bantu
proses belajar-mengajar di sekolah, khususnya Sekolah Dasar. Sayangnya kehadiran kami tidak lama, hanya
dua minggu.
Masih sekitar pukul 2 siang di hari kedatangan, kami berbincang-bincang dengan beberapa
orang penting kampung, lanjut sedikit beristirahat sambil menyesuaikan
kondisi lingkungan disana.
---
Futsal dilapanga tanah khas pegunungan (Dokumentasi Tim Bime) |
Sore hari selepas tidur siang
singkat, masih dengan kepala yang pusing akibat jetlag, kulihat pemuda-pemudi sudah ramai di lapangan kantor distrik
yang dekat sekali dari kediaman kami. Sehari sebelum peringatan
17 Agustus, mulai diadakan lomba futsal dan voli se-distrik. Laki-laki dan perempuan
bertanding dalam kategorinya masing-masing. Betapa terkejutnya, bahwa tendangan
perempuan-perempuan Papua begitu kuat layaknya tendangan pemuda lain. Padahal
lomba futsal tidak dipertandingkan di lapangan bagus seperti di kota-kota
dengan biaya sewa perjam yang lumayan. Melainkan lapangan tanah yang becek akibat
genangan hujan yang turun tiap harinya ketika sore hari menyapa. Sebagian besar dari mereka yang tidak menggunakan alas kaki, tidak kalah keras dengan kombinasi tanah berbatu ataupun bola sepak yang mereka tendang.
Malam pertamaku di kampung Bime
kuhabiskan dengan istirahat. Ditemani hawa dingin khas pegunungan, dan temaram
lampu yang tidak begitu kuat menyala akibat terbatasnya pasokan listrik dari
PLTA yang hanya datang saat malam. Satu-satunya PLTA disana, itupun baru selesai diperbaiki dua hari sebelum
kedatangan kami, makanya hari-hari selanjutnya tidak begitu menyeramkan dan
menyusahkan. Tapi jaringan telepon, sinyal hp seterkenal telkomsel pun tidak
ada. Komunikasi kami ke dunia luar mungkin akan tertutup seandainya
tidak ada telepon satelit yang kami bawa dengan harga pulsa yang mahal minta ampun.
---
Suasana Upacara 17 Agustus (Dokumentasi Tim Bime) |
Hawa dingin ternyata tidak
pergi-pergi sampai keesokan hari. Lapangan kantor distrik dijadwalkan akan
melaksanakan upacara pukul 9, kami baru terjaga pukul setengah 9. Bergegas kami
berganti pakaian tanpa perlu mandi, mengikuti kebiasaan masyarakat. Buat apa
mandi dengan bersusah payah melawan dingin air hasil tampungan hujan yang menusuk sampai ke tulang. Apalagi tidak ada bau dan keringat yang tubuh kami produksi.
Dari beranda
rumah panggung kayu yang kami tinggali, belum ada tanda-tanda keramaian di
lapangan upacara. Padahal setelanku sudah lengkap dengan amunisi action-cam untuk mengabadikan momen
langka ini.
Setengah jam menunggu, sambil
menyapa siapa saja yang lewat di depan rumah yang kebetulan menjadi salah
satu jalan utama menuju lapangan. Kami diajari ucapan selamat pagi yang disana
diucapkan dengan kata “Telebe”.
Dengan percaya diri sejak pagi itu dan pagi-pagi selanjutnya kami menyapakan Telebe dengan siapa saja yang kami temui di jalan, walaupun kadang juga tetap
dengan kata selamat pagi-nya Indonesia.
Rombongan perangkat pemerintah
datang, disusul para pendatang yang mengabdi sebagai penyuluh pertanian dan
tenaga kesehatan, lalu rombongan siswa SD yang imut dipimpin
pak Gurunya. Warga sudah berkumpul di sekitar lapangan, tapi entah mengapa
tidak ikut kedalam barisan. Mungkin upacara semacam ini hanya sekedar selebrasi
seremonial yang diwajibkan kepada aparatur negara yang bersetelan rapi saja.
Penyuluh
pertanian asal Jatim menjadi pemimpin upacara yang diinspekturi oleh Sekretaris
Distrik menggantikan kepala Distrik yang belum pernah kembali ke tempatnya
bekerja. Para nona bidan yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Tenggara bertugas
sebagai pembaca UUD 1945 dan protokoler.
Panjat Pinang (Dokumentasi Tim Bime) |
Upacara bendera yang khidmat di pinggiran
ibu pertiwi, tepat disebelah Papua Nugini. Dengan komposisi pelaksana upacara
dari berbeda pulau, tidak membuat seremoni terganggu. Malahan, dipinggiran
negara tanpa disentuh tangan negara, Indonesia kurasa tidak hadir secara fisik lagi
namun sudah melekat dalam setiap hati masyarakat yang tinggal disini, tinggal
di Bime yang masih bagian Indonesia.
---
Lomba Memanah (Dokumentasi Tim Bime) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar