Camp-craft |
Ingatanku jatuh ke akhir tahun
2016. Kala itu ketika pendidikan dan pelatihan dasar ku di organisasi pencinta
alam fakultas, GEGAMA. Fokus ke hari itu, kami berempat, aku, Randu (yang kini
jadi ketua umum), Kandes (yang kini memilih jalan berbeda, keluar), dan Pinus terbangun
pagi-pagi karena grusak-grusuk ku kebelet buang air besar yang kesekian dalam
diklatsar tsb. Teriakanku menyebut golok, mencari disekitar bivak kami yang hanya
terbuat dari dua buah ponco yang tidak terlalu bagus. Kami mulai berpuasa sejak
semalam dipersatukan menjadi sebuah tim survival. Pikirku saat itu, survival
adalah berpuasa, menahan makan.
Menjaga api tetap menyala Hindari penggunaan daun karena dapat menutupi bara. Ranting yang digunakan yang kering dan mulai dari yang kecil kemudian makin membesar |
Siangnya
kami diberikan korek api beberapa biji dan sebuah lilin untuk membuat api. Aku blank, tidak tahu akan berbuat apa. Efek
puasa itu mungkin, belum makan dan minum (seperti biasa), terlebih lagi ketika dulu
praktek pra-diklatsar tidak datang ketika materi pembuatan api. Kami hanya memanfaatkan api kecil dari lilin untuk membagi kehangatannya kepada kami berempat.
Sekarang (right
here, ringht now) aku hanya bisa tertawa membayangkan kembali kenangan itu,
betapa tidak mengertinya kami materi membuat api. Atau jangan-jangan materi
yang senior-senior kami saat itu punya juga belum memadai untuk mentransfer
ilmu membuat api?
(Karena ketidakhadiranku saat meteri itu, menjadikan
ketidaktahuanku apakah ada materi membuat api unggun?)
Kembali ke Diklat Gunung Hutan
Tim Mandala Festival Puncak Papua
Selain ilmu pergerakan, Navigasi
Darat, kami juga diajarkan (dan belajar dari memperhatikan) banyak ilmu lain
terkait gunung dan hutan. Teknik komunikasi melalui Handy Talky (HT) ke regu lain atau laporan harian ke sekre 155
Wanadri melalui Single Side Band (SSB),
Zoologi dan Botani Praktis (ZBP) yang menyadarkan bahwa survival bukanlah sekedar puasa, serta materi Camp Craft atau seni pemondokan di alam bebas seperti pembuatan api,
shelter atau bivak, dan tata cara pemilihan lokasi.
Pemasangan flysheet |
Seperti yang kusebutkan
sebelumnya, survival sendiri
merupakan seni bertahan hidup dengan memanfaatkan apa yang ada disekitar,
jangan sampai kekayaan yang ada di alam membuat kita berpuasa. Pembuatan trap guna memenuhi kebutuhan protein,
analisis peta dan medan untuk mencari sumber air yang paling dibutuhkan tubuh, juga
pemilihan dan pengolahan tumbuh-tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai
pengganjal isi perut. Walaupun dalam diklat-diklat kami tidak sepenuhnya
berpuasa ataupun mempraktekkan ZBP secara betul-betul, tapi perkenalan kami cukup
memberi kesan. Mengolah minimal lima jenis tumbuhan yang dapat dikonsumsi agar
racun-racun yang terkandung satu sama lain dapat ternetralisir, tentu masih
ditemani dengan nasi. Mengumpulkan air dari hujan deras yang mengguyur, yang
walaupun telah dimasak dan dicampur energen tetap saja rasanya aneh. Dan
beberapa percobaan yang mungkin kulupa.
Setiap sore, sesuai kesepakatan,
pukul empat sore kami harus menghentikan pergerakan untuk segera mencari lokasi
yang tepat untuk mondok. Ketika kami sepakat dimana titik yang akan kami
gunakan, segera kami berbagi tugas agar segalanya dapat berjalan cepat dan
efisien sebab waktu kami hanya sekitar dua jam sebelum senja benar-benar
menghilang digantikan gelap.
"Tenda" kami siap digunakan Bukan menggunakan tenda dome |
Jobdesk pertama adalah pembersih area, dengan menggunakan tramontina membuka semua belukar yang kiranya menghalangi tempat
yang nanti akan kami gunakan beraktivitas seperti tidur, memasak, briefing bersama api unggun atau sekedar mondar-mandir.
Dulu ketika masih seleksi akhir di Kareumbi, kupikir pohon-pohon yang
menyesuaikan keberadaan kami, sehingga tebas saja semua pohon apapun jenisnya.
Namun ternyata kami-lah yang harus menyesuaikan, terutama terhadap pohon-pohon
utama walau masih kecil atau remaja. Jika sekedar perdu dan rumput yang
mengganggu, libas saja, toh dalam beberapa minggu mereka akan segera kembali
seperti semula. Tapi tetap bijak ya.
Libas-melibas ini yang dulu
selalu terbayang dipikiranku. Tentang tanaman-tanaman yang harusnya tidak boleh
di sabet sesuka hati, namun mengganggu jalan dan pergerakan. Hingga akhirnya
kuberpikir, setidaknya bukan pohon-pohon utama yang entah masih kecil atau
remaja yang kami tumbangkan, toh jika hanya perdu dan rumput yang cepat sekali
tumbuh kenapa harus dibiarkan. Alam akan segera kembali membesarkan mereka,
bahkan akan lebih besar ketika kita kembali ke tempat yang sama kelak (saking
lamanya untuk ke tempat yang sama lagi). Masih dengan bijak juga ya.
Jobdesk selanjutnya, biasanya orang yang sama setelah area clear dari belukar dan sudah dapat
digunakan, yaitu pemasang flysheet.
Oiya, dalam kegiatan jelajah hutan semacam ini, tentu saja sangat merepotkan
jika harus menggunakan tenda dome.
Selain beban nya yang cukup berat, tentu saja sangat rawan sobek ketika
digunakan walaupun area telah dibersihkan. Area yang bersihpun tidak sepenuhnya
bersih, tentu saja akar-akar dan batang kecil yang masih ada di tanah dapat
menjebloskan floor tenda dome. Maka flysheet dipasang dengan pasak-pasak pohon kokoh yang berjarak
cukup untuk semua tim mendapat posisi enak ketika tidur nanti yang hanya beralaskan matras. Pemasangan flysheet ini sebisa mungkin dapat
sebagus dan seberfungsi mungkin dalam sekali proses pemasangan tersebut. Kelak
ketika angin dan hujan tetiba muncul sangat kencang dan deras, kita tidak perlu
lagi bersusah-susah, berbasah-basah untuk membetulkan sebab sudah berdiri
dengan kokoh dan sempurna. Jangan lupa parit jika khawatir air dapat melewati
dan menggangu.
Yang pertama kali diolah setelah air panas, yaitu beras |
Jobdesk lain yang tidak kalah penting yaitu masak. Biasanya daerah
masak dapat lebih dulu dibentuk sebelum kemah flysheet, sebab logika tidak akan berjalan dengan baik jika tidak
didukung logistik, yang tentu saja membutuhkan waktu hingga siap disantap
bersama di malam hari. Tim dapur ini juga mendukung pembuatan konsumsi minuman
hangat yang dibutuhkan ketika cuaca mulai men-dingin.
Ketika api unggun telah berkobar tanpa perlu dijaga lagi |
Jobdesk utama lainnya yaitu pembuat dan pencari kayu bakar. Jobdesk ini biasanya minimal dilakukan
oleh dua orang yaitu pembuat dan penjaga api, ditemani pencari kayu bakar
sesungguhnya, kayu bakar yang besar-besar dari batang-batangan pohon yang sudah
tumbang.
Pembuat dan penjaga api akan
mengumpulkan ranting-ranting kecil sebanyak mungkin agar api yang diperoleh
dari pemantik seperti sampah plastik, karet ban atau paraffin dapat tumbuh terus-terusan hingga dapat membakar kayu batang
pohon yang lebih besar. Ketika kayu bakar dari batang yang besar sudah dapat
terbakar, itu artinya api tidak perlu terlalu dijaga, cukup menumpukkan
batang-batang besar lain ketika kobaran api dirasa kurang menghangatkan.
Kobaran api unggun ini selain untuk menghangatkan tubuh dari cuaca malam yang
dingin, juga dapat mencegah hewan buas mendekat, membantu mempercepat proses dekomposisi batang tadi, terlebih lagi dapat dijadikan
bahan bakar untuk memasak (nasi dan air contohnya).
Bahan bakar api unggun dari batang-batang pohon yang bertumbangan |
Pencari kayu bakar satunya, akan
berkeliling disekitar area untuk mencari pohon-pohon yang sudah tumbang lantas
kemudian dipotong-potong. Ingat, kami menggunakan batang pohon yang sudah
tumbang, bukan dari pohon yang masih berdiri kokoh. Pernah ketika seleksi akhir
(lagi, di Kareumbi), kukira ribut-ribut dentuman golok dari arah camp craft panitia yang tidak terlalu
jauh dari tempat kami adalah dentuman yang ditujukan ke pohon-pohon utama yang
masih berdiri kokoh lantas ditumbangkan dan dipotong guna memenuhi kebutuhan
kayu bakar. Ternyata prasangka burukku salah.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar