CHAPTER
ONE
Part
1
Kisah
SMA (1)
Titik ini adalah titik yang akan
menentukan titik-titik selanjutnya. Ragaku terdampar di sebuah desa bernama
Gemolong, sekitar 30 menit-an dari Kota Surakarta (alias Solo) lebih dekat
daripada pusat ibukota kabupaten yang berjarak hampir sejam.
Gemolong
masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Benar sekali,
aku melanjutkan SMA tidak di daerah asal melainkan merantau jauh ke tempat
orang. Pulau yang bernama Jawa dihuni oleh sekitar hampir 60 persen dari total
penduduk Indonesia. Pulau yang sangat padat, kalau menurut teori kepadatan
penduduk sudah tidak memenuhi untuk menampung semua jiwa-jiwa yang ada.
Lalu bagaimana mungkin aku sekarang
ada disini? Bagaimana caranya?
Singkat cerita ketika masa-masa
akhir SMP, setiap selesai beribadah kusampaikan do’a-do’a yang kurasa sangat
mustahil. PIkiranku saat itu hanya berdo’a tanpa melihat realitas. Bukankah
skenario hidup sudah di tentukan Tuhan? Jalanku setelah ini sudah ditulis oleh
Tuhan jauh sebelum aku dilahirkan. Dan ternyata Tuhan mengabulkan do’a ku.
Tanpa pernah kusangka-sangka.
Sekolahku bernama SMA Negeri Sragen
Bilingual Boarding School atau biasa dipanggil SBBS. Salah satu sekolah yang
dikelola oleh yayasan yang berbasis di Turki. Sekolah-sekolah dari anak yayasan
ini merupakan sekolah-sekolah favorit, pemenang banyak sekali medali olimpiade
baik nasional maupun internasional. Lalu seorang yang sangat nakal bagaimana
mungkin diterima? Begitulah takdir Tuhan, sampai saat ini pun aku selalu
bertanya-tanya mengapa.
Benar sekali, semenjak berada di
daerah Jawa, terutama di Gemolong ini mau tidak mau siswa-siswa harus
beradaptasi dengan budaya lokal. Shock-culture
yang paling berpengaruh terkait bahasa. Walaupun di sekolah yang ber-asrama ini
diwajibkan untuk menggunakan dwi-bahasa yaitu Inggris dan Turki, namun tetap
saja 24 jam non-stop yang kudengar adalah bahasa Jawa. Mulai dari bangun pagi
untuk bergegas sholat subuh hingga kembali terpaksa terlelap karena jam malam
telah tiba.
Makanya mulai dari bagian ini aku
belajar menggunakan kata ganti “aku”, karena aku sudah tidak berada di wilayah
yang menolak keras ke-“aku”-an. Walaupun bahasa Jawa mempunyai beberapa tingkat
bahasa, dimana kata “saya” saja dapat berbeda-beda artinya sesuai strata sosial
orang yang berbicara dan orang yang diajak berbicara.
Secara umum tingkatan bahasa Jawa
terbagi menjadi tiga yaitu Ngoko, Madya, dan Krama. Setiap tingkatan ini dibagi
lagi menjadi beberapa tingkatan yang hingga sekarang aku tidak mengerti sepenuhnya.
Misalnya saja kata “tidur” yang dalam tingkat bahasa Ngoko berarti “turu”,
“tirem” dalam Madya, dan “sare” dalam Krama. Beuh, pusing tidak sih? Tidak
seperti bahasa Makassar, dimanapun kapanpun, siapapun yang berbicara, sedang
apapun pembicara maka kata “tidur” tetap diartikan sebagai “tinro”.
---
Drama panjang yang membawaku menuju
sekolah ini tidak akan selesai jika kusebutkan disini, makanya kalian cukup
tahu saja kekuatan do’a.
Dengan predikat sekolah unggulan
nasional berorientasi juara olimpiade, mau tidak mau untuk menyeimbangi tekanan
dari sekolah dan teman-teman lainnya kuputuskan untuk mengikuti Olimpiade mata
pelajaran Kimia. Kebetulan Ibuku seorang guru kimia di SMAN 1 Pangkajene, namun
tentu ditempat baruku aku tidak akan bisa belajar kimia dari ibuku.
Usahaku belajar kimia sendiri
sedikit menemukan titik terang setelah mengikuti Olimpiade Kimia Nasional di
Universitas Gadjah Mada. Walaupun peringkatku sangat-sangat jauh dari harapan, namun
aku berada pada urutan kedua diantara teman seangkatan yang juga ikut lomba
tersebut. Tidak membanggakan memang, namun hasil itu cukup untuk guruku memilihku
guna mengikuti pelatihan olimpiade atau biasa kami sebut Olimp-Camp di salah satu sekolah yang juga anak yayasan sekolahku
yaitu Kharisma Bangsa Tangerang Selatan.
Singkat cerita aku dilepas
teman-temanku untuk mengikuti Olimp-Camp setelah
merayakan ulangtahun pertamaku yang jauh dari orangtua. Walaupun sampai saat
ini merayakan ulang tahun adalah hal yang tabu bagi ku, namun momen saat itu cukup
mengungkapkan betapa ramahnya keluarga baruku di kelas 10A. Tesekkur ederim
Selama masa Olimp-Camp, pikiranku terus melayang tidak jelas. Entah karena
merasa tidak pantas dibandingkan kehebatan teman-teman baru (lagi) yang kutemui, ataukah pelajaran-pelajaran
yang tidak dapat kucerna langsung. Ataukah apa? Di hari yang kesekian aku drop,
mengeluarkan segalanya dalam bentuk rengekan yang kucurahkan kepada orangtuaku
didalam telepon genggam. Namun pembinaku saat itu meyakinkanku, bahwa saatnya
untuk melanjutkan perjalanan.
Tetap kulanjutkan masa pelatihanku
hingga selesai, bahkan beberapa bulan kemudian untuk Olimp-Camp selanjutnya hingga ketiga dan keempat kutamati. Walaupun
perkembanganku tidak begitu meyakinkan, namun cukuplah untuk mengantarkanku ke
tingkat Provinsi Jawa Tengah. Sayangnya, persaingan di Jawa Tengah yang begitu
ketat, apalagi peraturan bahwa hanya 2 delegasi yang dapat mewakili setiap
sekolah maka setelah melihat pengumuman yang kutunggu-tunggu ketika berlibur di
kampong halaman ternyata tidak kulihat namaku terpampang, Hanya ada nama teman
seangkatanku yang memang sejak awal sangat prospektif ditambah adik kelasku
yang pada akhirnya berhasil meraih Medali Perak ICho ( Int. Chemistry Olimpiad)
2 tahun beruntun. Hahah, penghargaan adik tingkatku sering kujadikan alasan
mengapa aku kalah olehnya, karena jelas saja kemampuan dia telah terbukti
sampai ketingkat internasional.
---
Tidak ada komentar:
Posting Komentar