Minggu, 28 Februari 2016

Nano-nano Februari Tahun Ini...

Februari tahun diawali dengan manisnya kehidupan yang walaupun hanya nol koma nolnolnolnolnolnolnolnol sekian persen saja dari arti manis sebenarnya. Seiring bergantinya hari, asam garam pun mulai muncul.
Mulai dari memilih sesuatu yang salah, tanpa berfikiran panjang sebelumnya. Sampai dilanda rasa kecewa karena dianggap tidak ada padahal ada.
Oke, kita tidak menceritakan kisah pilu dibulan Februari pada kisah kali ini. Kita akan membahas trip-trip yang saya datangi pada awal semester sebelum perkuliahan dimulai.

---

Yang pertama bukan di awal Februari sih, namun di bulan Januari ketika kedatangan tamu dari Universitas Hasanuddin. Iccang, seorang teman lama yang datang ke Jogja dan ditemani 2 orang teman Fakultasnya. Kami awalnya ingin berangkat subuh namun karena rasa kantuk yang dikarenakan mengurusi urusan yang lebih penting dahulu sehingga telat dan berangkat jam 7-8, hehe. Tujuan pertama adalah Kebun Buah Mangunan.


Paling belakang itu kak Ian Kifli anak Asrama Sulsel, cewek jilbab hitam itu Iki (hampir sama namaku), cowo yang disampingnya Iki itu kak Fitrah anak Maros yang pernah tinggal di asrama Pangkep, cewek yang jaket merah hati ini namanya Dilla dan yang pegang tongsis itu temanku, Iccang.



Saya sendiri adalah Travelikay.

Kemudian perjalanan kami lanjutkan ke Hutan Pinus yang sangat rame jadi kami hanya foto sebentar, lalu lanjut ke Air Terjun Sri Gethuk. Kita naik kapal apalah namanya itu dengan harga Rp 5.000,-/orang.




Setelah dari air terjun, kami yang telah merasa capek akhirnya kembali ke Kota dan memutuskan makan di Warung Spesial Sambel. Haha disini banyak cerita lucu tentang orang Makassar dan pelayan SS. Alhamdulillah kita diteraktir tamu kita. hehehe

Oke, kembali ke bulan Februari.
Hari itu hari sabtu tanggal 6 Februari, kami memutuskan untuk berangkat ke Candi Ijo terlebih dahulu. Kami adalah pejuang halan2 katanya anak HIMAGAMA SULSEL 2014.




Candi Ijo
Kita dapat melihat pemandangan seluruh DIY, hehe

Kemudian setelah makan siang, lanjut ke Gunung Kidul dan menyusuri banyak pantai di Gunung Kidul. Mulai dari pantai apalah lupa yang penting kita ke Krakal dan terkahir sampai sore hari di Pantai Wedi Ombo yang terletak paling ujung.



Pantai Krakal


Destinasi terakhir hari itu adalah Wedi Ombo Beach

Hari selanjutnya adalah keesokan harinya adalah berangkat Air Terjun yang saya lupa namanya dan ke Kalibiru yang merupakan kedatanganku yang keempat kalinya.
Haha tak ada dokumentasi foto yang aku pegang, karena memang tak ada foto di Kalibiru lagi dan di air terjun mending main air.
eh dapatma satu we di air terjun
entahlah lupaka nama air terjunnya.

Kemudian sabtu minggu depannya berangkat ke Dieng. mungkin Dieng ada sesi pembahasannya sendiri.


Sekian dulu, karen 9.30 listrik di jogja akan dimatikan. Postmi dulu yang ini nah qwqwqw


Sabtu, 27 Februari 2016

Sebuah narasi kata Menyerah!

Hai gadis kecil.
Biarlah kuanggap kau anak kecil yang sulit dimengerti.

Sudahlah, jangan pernah keluarkan kata maaf itu lagi.
Sesungguhkan tiada yang salah dari cerita kita.
Kau hanya gadis kecil yang berusaha menepati janji.
Aku hanya lelaki tolol yang berlari mengejar tukang gojek dengan motornya.

Tak ada kata pengandaian yang akan terucap.
Seandainya kata seandainya tak pernah ada didunia ini.
Maka kita akan fokus terhadap apa yang akan ditemui di masa depan.
Tanpa pernah menengok sedetikpun ke belakang.

Aku bingung menarasikan kalimat-kalimat selanjutnya.
Tanpa pernah melihat lagi akan sebuah pengorbanan.
Pengorbanan yang lebih besar harus ditempuh.
Menenggelamkan rasa nano-nano itu ke samudera luas.
Mengajaknya mendaki ke titik tertinggi dibumi.
Lalu menendangnya jauh-jauh tanpa pernah terlihat lagi.
Biarkan laut dan langit yang sama-sama biru menyaksikannya.
Bahwa perjuangan dari segala perjuangan harus ditentukan saat ini.

Jelas sudah aku menyerah.
Menyerah menarasikan sebuah kata menyerah.
Karena narasi dari kata menyerah tidak akan membuat menyerah.
Namun menyerah adalah untuk berhenti menarasikan.
Aku menyerah, tak sanggup lagi menarasikan.
Aku menyerah, tak sanggup lagi mengejar.

Ini semua bukan tentang takdir.
Tapi hanya sebuah butiran kecil dari sebuah cerita masa lalu.
Yang entah mengapa terkoneksi dengan beberapa orang disamping kita.
Maukah kalian melupakan semua kejadian yang telah terjadi?
Karena satu-satunya hal yang tak boleh aku menyerah olehnya adalah kata melupakan.

Aku menyerah.
Karena jawaban dari sebuah pertanyaan telah terjawab.
Dan akan kutatap kau dengan tatapan seoarang adik, bukan lawan jenis.
Tapi bagaimana mungkin aku menatapmu sedangkan kau selalu menghindariku?



Seorang lelaki tangguh yang menyerah.

Duniamu Harus Tahu Bahwa Aku Ada!

Tepat 2.00 WIB cerita ini aku mulai tuliskan.



Cerita ini adalah sedikit kepingin mozaik-mozaik berantakan yang sedang disusun oleh pemuda yang merasakan begitu banyak cinta, namun tak pernah terbalaskan.
Kepingan ini adalah kepingingan yang baru saja terjadi. Berawal dari beberapa bulan yang lalu, dan entah berakhir hingga kapan.
Sebuah kisah antara seorang pencari cinta dan seorang pemuja-muja cinta.

“Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan.”
 ― Hamka, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck


---


Mangga, adalah buah surga yang ketika masa panennya tiba tiada kira lezatnya.
Mangga juga yang memulai semua kisah ini.
Berawal dari malam itu, dimana beberapa mangga siap diantarkan.
Melaju motor hingga titik tujuan malam itu.
Di sebuah wilayah indekos sekitar jalan gejayan jogjakarta.
Saya, sebuah chat muncul dalam sebuah grup ketika penawaran mangga itu dimunculkan.

"Kosmu disekitar mana?"
"Di preksu kolombo masuk, pertigaan pertama belok kanan kemudian belokan kiri pertama ke kiri lalu mentok sebelum pertigaan. Kosnya disitu"

Sampailah beberapa biji mangga yang tidak banyak itu.
Diterima oleh seorang gadis, junior dalam organisasi yang sama.
Dengan tatapan polosnya berkata mengapa begitu serius mengantarkannya?
Entahlah, itulah kerjaan kesukaanku.
Membagikan nikmat Tuhan kemudian berkeliling jogja untuk mengantarkannya.

Sejak malam itu, entahlah apa yang terjadi pada dunia dan seisinya.
Tidak berguncang, karena hari itu tidak sedang kiamat.
Dunia hanya terasa mulai sedikit berjalan perlahan.
Hingga beberapa hari kemudian lambat cepatnya waktu di ukur oleh sedih senangnya gumpalan merah yang terletak di dada manusia yang kita sebut hati.

Tidak seperti Zainuddin yang ketika pertama kali melihat sosok cantik Hayati dan langsung jatuh cinta.
Sosok malam itu bukan kali pertama terlihat oleh kedua bola mata ini.
Namun malam itu, ada yang berubah dari sosok itu.
Entah apa yang bedah, sebuah cinta seakan tumbuh.

Hari berganti, malam pun turut berubah.
November, bulan yang selalu membuatku ceria sekaliguus gelisah.
Entahlah wanita menurutku seperti itu, susah sekali ditebak.
Kadang kelakuannya tak seperti apa yang dia rasakan.
Tidak, bukan kadang, namun selalu.

Aku yang bodoh, terlalu berharap lebih dari respon yang kau berikan.
Aku yang terlalu geer dengan kelakuanmu terhadapku.
Dan subuh itu, ketika ku beritahukan bagaimana perasaanku kepadamu.
Sebuah kata Menyerah terucap dari diriku.

Tidak segampang membolak-balikkan telapak tangan untuk mencoba menyerah.
Ketika pertemuan yang semakin intens di organisasi membuatmu berubah terhadapku.
Dan malam itu, kita berjanji memulainya kembali dari awal.
Betul, dari awal.

Hari kembali berganti.
Rasa cinta itu entahlah terkikis atau tidak.
Rasa sayang tetap ada, bahkan jauh melampaui sebelumnya.
Ketika sebuah keluarga kecil yang terdiri dari 4 orang terbentuk.
Ketika curhatanmu dan curhatanku keluar begitu saja dari mulut kita masing-masing dan masuk ke telinga kita.
Kau katakan kita memang tidak cocok.

Entahlah, itulah kebodohanku.
Terlalu baik? Atau memang berusaha menjadi baik?
Atau hanya bersikap baik untuk membuktikan sebuah pengorbanan?
Kata pengorbanan ya? Terlalu banyak kayaknya.

Mulai dari tidak belajar di hari yang kau janjikan untuk belajar bersama.
Tapi aku salah, kau hanya bermain dan pergi entah kemana tanpa belajar.
Meninggalkan ku dalam kesunyianku dan penyesalanku.
Penyesalan karena menyia-nyiakan waktu untuk tidak belajar karena esoknya ujian akhir.
Penyesalan karena tidak berangkat mengecek lokasi acara yang aku ikut bertanggung jawab.
Kau hanya terkekeh, menyesal setelah aku mengatakan segalanya.

Aku tak pernah mengerti kau.
Bukan, atau kau benar.
Duniamu yang tidak pernah menganggapku ada?
Aku terus berusaha untuk mununjukkan eksistensiku di dalam duniamu.
Walaupun aku sadari sebagian cara yang aku gunakan adalah salah.
Menjadikan divisimu dalam sebuah acara kita menjadi divisi yang aku bawahi walaupun tak langsung.
Namun cara lain yang aku gunakan entahlah bagaimana menurutmu.

Apakah aku ikut dalam sebuah kelompok yang berisi 4 orang karena disitu ada kau?
Apakah aku berperilaku seperti orang bodoh seharian hanya karena ingin menemanimu bagaimana rasanya mencoba kereta?
Apakah aku menghabiskan setiap malamku hanya untuk ada bersamamu di saat makan malam walaupun kita tidak berdua?
Apakah aku selalu ke perpustakaan kampus hanya karena disitu biasanya kau gentayangan?
Apakah aku membawakanmu makan karena aku tahu kau belum makan seharian?
Apakah aku menjemputmu di bandara ketika kau kembali ke jogja hanya karena ingin memboncengmu ke kosan?
Apakah, apakah, apakah dan apakah?

Aku melakukan itu semua, karena aku sedang berjuang.
Aku berjuang maka aku ada.
Tapi, eksistensiku tak pernah ada di duniamu.
Setidaknya itu yang aku rasakan.
Entahlah bagaimana menurutmu tentangku, tapi aku yang merasakan.

Sebagai lelaki, kau tahu?
Tak boleh ada yang saling menyakiti.
Kau punya janji dengan seorang di kota lain.
Yang tentu saja yang selalu bermain-main dalam duniamu.
Yang eksistensinya mengalahkan ku.

Aku pernah merasakan ditinggalkan karena lelaki lain.
Itu terjadi dicerita sebelumnya.
Tapi sekali lagi cerita itu telah aku lewati, saatnya kembali ke cerita kita ini.
Cerita yang sepertinya juga harus aku lewati.
Sebagai seorang lelaki, pantang merebut hati dari lelaki lain.
Aku tak mau menjadi seorang Aziz yang merebut Hayati dari seorang Zainuddin.

Aku hanya berjuang.
Dan perjuanganku tak pernah terlihat olehmu.
Namun entahlah, aku tak pernah tau.
Apakah kau memang tidak melihatnya.
Ataukah kau hanya berpura-pura tak melihatnya.
Hal itu yang sampai sekarang aku tak pernah tahu.
Tidak sama seperti Hayati yang telah berjanji untuk selamanya setia menunggu Zainuddin.
Walaupun akhirnya adat istiadat yang memisahkan mereka dan takdir kembali mempertemukan.

Hey, kau tahu?
Disetiap kau menyebut namanya.
Disetiap kau menceritakan tentangnya.
Disetiap cerita kalian terdengar di kupingku.
Kau tahu bangaimana rasanya?
Tak dapat ku definisikan dengan kata-kata rasa sakit itu.
Eksistensiku kembali kalah.

Puncaknya, ketika sekali lagi aku mengorbankan segalanya untukmu.
Waktu, teman-teman, dan kehidupanku di jurusan yang berefek dalam perkuliahan selanjutnya.
Hanya untuk menemanimu menyiapkan segalanya.
Dan apa yang aku terima?
Sebuah tangisan yang menyayat sekali lagi.
Bukan tangisan karenaku.
Bukan tangisan untukku.
Tapi tangisan yang katamu tangisan bodoh.

Dan ketika sosial media yang sering kau jadikan luapan kesedihan itu aku buka.
Disitu titik nadirku berada di titik terendahnya.
Aku ada namun tak terlihat.
Disitulah sosok Teci muncul
Tena Kacinikang.
Sosok imajinasiku yang menggambarkan diriku di duniamu.

Dengan segala hormat dengan kode-kode mu yang tek pernah aku mengerti.
Dengan segala hormat dengan hubunganmu dengan lelaki itu.
Dengan segala hormat dengan semua bisik-bisik yang aku dengar tentang kehadiranku untukmu.
Dengan segala hormat akan diamku di trip terakhir kita.
Dengan segala hormat disaat sikapku yang sesungguhnya muncul.
Dengan segala hormat disaat kau tak sanggup menghirup udara di kawah sulfur.
Dengan segala hormat untuk segala-galanya yang telah aku perjuangkan, dan kemudian dikecewakan.

Hari itu, aku menulis surat panjang kepadamu yang berisikan kalimatku untuk kembali mengatakan menyerah.
Menyerah untuk kedua kalinya.
Aku berharap tak ada kata menyerah yang ketiga, keempat atau kelima kalinya.
Namun, rasa itu memang sulit dihapus.
Aku tak pernah menunggumu, karena aku tak pernah mengerti akan dirimu.
Bagaimana mungkin rasa cinta itu dapat dihilangkan?





Sleman, 27 Februari 2016.
Selesai pada pukul 10.00 WIB
Ahmad Fikri
untuk kisah bodoh dirinya tentang cinta

---

Cinta bukan melemahkan hati. Bukan membawa tangis, juga bukan membuat kita putus asa. Sebaliknya cinta menguatkan hati dan menghidupkan harapan (Hayati)

Rabu, 17 Februari 2016

Sedikit hati yang Tegar!

WAHAI JIWA
YANG DENGANNYA KUTUKAN ITU MERSUKI
WAHAI JIWA 
YANG DAPAT MENGHENTIKANNYA HANYA OLEH DIRIMU SENDIRI


                                  


Hai kau wanitia cengrng yg membuatku ikut cengeng.
Kau tahu, kadang sikapmu melampaui usiamu.
Disitu aku merasa kagum.
Kau tahu, kadang sikapmu jauh kekanakan dari usiamu.
Disitu aku gemas

Kagum yang dengannya kedewasaan ikut menumbuhkan.
Gemas yang dengannya ego menuntut dijinakkan.

Hei kau wanita cengeng berjilbab ungu.
Kau tau dimana satu-satunya tempat untuk berkeluh.
Bukan kepadaku, bukan. Disitu aku iri.
Namun apadaya tempat itulah tempat yg tepat.

Meyakinkan diri agar tak iri.
Karena kau bercerita amat panjang tentangnya kepada-Nya.
Kemudian kau menangis.



Sampoerna Corner
Perpustakaan Pusat UGM
Jogjakarta, 12 Februari 2016


Sedikit hati yang tegar
AHMAD FIKRI