Senin, 02 Oktober 2017

Berbagi Pengalaman





-Geografi tanpa lapangan, adalah kemustahilan. Geografi tanpa pengalaman, adalah kebingungan-

‌Pukul 1.22 mulai kutuliskan catatan singkat ini.

Aku baru saja belajar tentang hujan siklon, yang katanya hujan yang terjadi di wilayah khatulistiwa karena bertemunya angin pasat timur laut dan angin pasat tenggara sehingga terjadi pusaran angin dan secara vertikal menggumpal pekat sebagai awan gelap.

Ada beberapa karakteristik khusus sebelum hujan siklon ini terjadi:
1. Sebelumnya cuaca begitu panas.
2. Angin berhembus tidak karuan.
3. Gumpalan pekat hitam awan terlihat cukup lama.
4. Ketika terjadi hujan begitu deras.
5. Durasi berlangsung nya hujan tidak begitu lama.

Otakku tidak berfikir begitu keras, karena 3 tahun belakangan ini itulah pertanyaan yang selalu kuajukan ketika musim penghujan datang. Diantara lalu lalang motor dan kotak mobil di deru jalan Yogyakarta.

Suatu pagi pada (banyak) hari di musim penghujan. Ketika aku lupa mengenakan jaket ato baju lengan panjang, kulit lenganku terasa begitu panas berbeda dengan hari biasanya. Menjelang Dzuhur cuaca mulai menggelap, sangat pekat. Namun lama sekali rintik pertama jatuh. Padahal aku berusaha mengebut motorku agar tidak kebasahan. Aku sempat singgah cukup lama di warung makan, membeli makan siang. Hujan baru mulai turun tepat ketika aku sampai di kosan. Pekat awan yang begitu gelap adalah tertutupinya bagian bawah awan dari cahaya mentari karena uap air yang begitu padat, kata dosenku saat kutanyakan seberapa hitam harusnya awan ketika hujan sudah mulai turun.

Hujan begitu deras menerjang, menggenangkan pekarangan begitu cepat mengalahkan aliran yang merambat dari permukaan yang lebih tinggi ke rendah. Namun tenang saja, hujan seperti ini tidak akan bertahan lama walaupun cukup untuk menetralisir cemaran udara yang terakumulasi.

Malam di hari yang sama saat musim penghujan, udara pasti terasa begitu panas. Berbeda dengan musim kemarau yang walaupun mentari bersinar terik di siang hari, namun angin yang berhembus pada malam hari begitu dingin dan kering menusuk hingga ke tulang, rasakan saja dengan mencoba naik gunung di 2 waktu tersebut.

Keuntungan mendaki gunung pada musim kemarau adalah tidak terkena hujan, namun tusukan angin akan menjalar ke seluruh bagian tubuh hingga ke tulang dan sendi. Sedangkan di musim penghujan, potensi keribetan akibat basah-basahan akan sangat besar namun jika beruntung tidak bertemu hujan maka udara tidak akan begitu dingin.

Hasil diskusi tadi pagi di BBQ pertamaku selama menjadi mahasiswa baru (lagi), bahwa air adalah penyimpan panas laten yang lebih baik daripada tanah. Dimana saat musim penghujan air permukaan dan uap air akan begitu banyak, sehingga pada siang hari menyerap panas dari radiasi matahari dan membagikannya ke bumi ketika malam tiba. Itulah sebabnya ketika musim penghujan di malam hari disekitaran kampus UGM malah lebih terasa sumuk ketimbang musim kemarau yang begitu dingin.

Terkait angin yang kering, secara logika sederhana (entah benar atau tidak) ternyata dipengaruhi oleh gerak semu matahari terhadap bumi (padahal bumi yang bergerak mengitari matahari loh, makanya dikatakan gerak semu).

Ketika Indonesia mengalami musim kemarau pada bulan Juni, posisi matahari berada pada bagian utara khatulistiwa. Sehingga suhu di bagian utara khatulistiwa hingga ke 23,5° LU akan maksimum, dimana tekanan nya akan minimum. Sesuai dengan sifat angin yang bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah, maka angin yang berada disekitar Australia di 23,5 LS, dimana mayoritas daerahnya bergurun, sehingga membawa angin yang kering tanpa mengandung uap air. Makanya udara yang dibawa ke Indonesia akan terasa kering menusuk.

Sekarang pukul 2.11, hampir sejam kutuliskan sedikit pengalaman sekaligus pertanyaan yang selama 3 tahun terus kupikirkan dan akhirnya menemui jawabannya.

Mohon koreksinya (komen dibawah) jika terdapat kesalahan, karena penulis tidak akan memberikan sitasi dan daftar pustaka karena banyak hal yang dijelaskan berdasarkan pengalaman pribadi semata serta belum terbiasa mencantumkan daftar pustaka (ketahuan Laprak copas hehe)

Management Geographic
@m.ikkikay
Di malam yang mulai sumuk dan menegangkan untuk UTS pagi harinya.

NB: Dokumentasi #ekspedisiatapjawa #travelikay #SindoroViaTambi di Kecamatan Tambi, Desa Sikathok dengan hamparan kebun teh-nya.
Background: Gunung Buthak dan Prau yang diselimuti awan tebal.

Sabtu, 16 September 2017

[Menjadi Seorang Mapala]

Kata Chairil Anwar,
"HIDUP
Cuman sekali,
Beri arti,
Kemudian Mati".

Teman-teman dikalangan pegiat alam bebas entah itu dikampus ataupun di dunia maya sedang dihebohkan oleh sebuah film dokumenter yang menampilkan perjalanan 7 buah mata lensa dalam penaklukan 7 puncak tertinggi di Nusantara.

Lensa, yang kemudian tercetak sebagai karya fotografi maupun videografi yang terdokumentasi dalam perjalanan menembus rimba, menyusur sungai, mendaki puncak, dan menaklukkan ego dalam film Negeri Dongeng, ternyata membuka kembali mata tentang indahnya Indonesia dengan berbagai kekayaan sekaligus masalah yang Tuhan berikan kepada tanah air ini.

Dalam percakapan line yang sepintas kubaca dalam grup mapala angkatanku di kampus, ternyata beberapa teman antusias terhadap film ini karena kata mereka film nya 'mapala banget'.

Tidak berselang lama dari percakapan tersebut, muncul juga japri dari seorang calon pengelana tentang hakikat mencintai, mengeksplorasi alam yang katanya tidak harus diaktualisasikan dengan mengikuti komunitas pecinta alam.

Fakta dari hasil analisis ngaco yang kubuat ternyata alasan orang-orang untuk bergabung dengan kelompok (mahasiswa) pecinta alam bermacam-macam.
1. Ada yang merasa dapat menjadi lebih eksis karena berpeluang dapat berjalan-jalan ke antah berantah yang orang awam sulit untuk menjangkaunya. Padahal, berpergian ke antah berantah membutuhkan persiapan dan tujuan yang harus jelas. Perlengkapan, survey dan riset, akomodasi serta berbagai macam hal teknis dan non-teknis yang dibutuhkan.
2. Ada juga yang merasa akan (sedikit) lebih macho karena berpotensi meng-gondrongkan rambut dengan kebulan asap berseliweran dimana-mana. Percayalah, rambut gondrong akan menghabiskan banyak uang untuk shampoo (penulis curhat) dan akumulasi asap malah mencipta lingkungan yang tidak sehat (katanya mencintai alam).

Padahal jika melihat sejarah, kata Mapala pertama kali eksis setelah beberapa mahasiswa Fakultas Sastra UI mengemukakan keresahan nya terhadap kultur organisasi saat itu yang sudah tidak lagi sehat (beriklim politik).

Dalam tulisannya di Bara Eka (13 Maret 1966), Soe Hok Gie mengatakan bahwa, “Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik.”

Opini dan gagasan terkait mapala yang Soe Hok Gie paparkan bisa jadi masih berlaku atau bahkan mungkin sudah basi di jaman dimana orang-orang dapat mempertontonkan dan 'berbagi' (mem-pamer) kegiatan pariwisata alam terbuka yang telah dikunjunginya.

Namun, apapun pilihan dan alasan kalian, entah itu bergabung atau tidak dalam kegiatan pecinta alam bahwa sadarlah kuliah hanya sementara, hidup juga hanya sementara.

Gunakan sebaik mungkin, gapai sebanyak mungkin mimpi yang harus dicapai di masa kuliah, tentang kota, desa, pantai, gunung, gua, tebing, sungai, rawa yang ingin dikunjungi.

Karena kuliah hanya lima tahun, beri arti, jelajah negeri, kemudian mengabdi.

Travelikay
16 September 2017
Yang terobsesi akan suatu hal






Kamis, 17 Agustus 2017

Pustaka Travelikay

Menurutku, buku harus sampai ke tangan orang yang berpotensi membacanya. Percuma buku itu bagus, namun hanya teronggok tak berdaya disudut kamar. Melalui projek yang berjudul Pustaka Backpacker, buku-buku dalam Pustaka Travelikay akan berusaha terus agar dapat sampai ke pembaca. Untuk saat ini ada dua lokasi yang akan terus berusaha konsisten untuk digelar lapakan, semoga dapat terus bertambah.

Lokasi yang pertama adalah depan sekretariat Mapala GEGAMA di Fakultas Geografi UGM. Kemungkinan besar, lapak akan digelar setiap hari Jumat berhubung tidak ada kegiatan perkuliahan yang kulakukan pada hari Jumat. Buku-buku yang akan di-display adalah buku-buku dengan tema yang masih ada hubungannya dengan ilmu geografi dalam arti seluas-luasnya, dan juga buku-buku perjalanan dan destinasi tujuan pariwisata.

Lokasi yang kedua adalah Opposite Cafe. Cafe ini adalah cafe tempat biasanya anak-anak Sulsel yang berkuliah di Yogyakarta untuk nongkrong. Owner cafe ini semuanya orang Sulsel, dan salah satunya juga aktif dibidang sosial dan juga ingin berperan dalam peningkatan minat baca. Lapak buku yang digelar di Opposite Cafe ini kemungkinan dilaksanakan pada Kamis malam atau Jumat malam. Pemilihan hari Kamis karena tidak ada perkuliahan untuk hari Jumat, sedangkan pemilihan Jumat malam bisa saja opsional karena sebagai seorang geograf dan aktif di kegiatan alam-bebas, biasanya Jumat-Sabtu-Minggu digunakan untuk kegiatan lapangan. Makanya jika tidak ada kegiatan lapangan kemungkinan lapak di Opposite akan digelar di hari Jumat.

Kemarin ada sebuah kutipan yang kudapatkan dari sebuah buku yang menceritakan tentang kegiatan kesukarelawanan. 

"Aktif dalam kegiatan kesukarelawan sebenarnya tidak benar-benar berarti kita yang mengubah hidup orang lain, namun kebanyakan malah hidup kita yang akan dirubah."

Benar, ketika kita memutuskan untuk membantu orang lain, sebenarnya melalui bantuan-bantuan yang kita berikan sebenarnya lebih merubah hidup kita sendiri. Bagaimana akhirnya kita sadar, bahwa banyak sekali kejanggalan di dunia ini. Tentang keberuntungan yang tidak diperoleh orang lain seperti yang kita dapat rasakan.

Sama halnya ketika saya memutuskan untuk menjadi seorang Pustakawan Bergerak, sebenarnya dari luar orang akan berfikir bahwa saya akan memberikan ilmu kepada orang lain dengan cara seperti ini. Namun, realitanya ternyata saya yang diberi ilmu dari setiap orang yang dapat dan mau berbagi cerita tentang buku-buku yang pernah dibacanya.




Geo, Buku dan Petualangan

Ada 3 tema yang akan saya bawakan. Geo, Buku dan Petualangan.

Ketiga hal tersebut mungkin akan terkesan mengikuti seseorang, namun nyatanya tidak. Tiga tema diatas mewakili 3 kegiatan yang berbeda namun dapat berjalan secara paralel.

Geo yang secara konteks kuartikan sebagai geografi, sebuah jalan akademik yang mencakup kehidupan sehari-hari yang telah kupilih dan harus kuperjuangkan. Geografi membahas banyak hal tentang bumi. Mulai dari bawah bumi, permukaan, dan diatasnya bahkan kehidupan yang bergulir di dalamnya juga merupakan geografi. 

Kegiatan yang berkaikan dengan Geo akan kusebut dengan Management Geographic. Management Geographic akan berfokus dalam penyampaian ilmu geografi dan manajemen-menejemen yang diperlukan untuk menjadi seorang geografer.

Buku, adalah sebuah investasi. Kegiatan yang berhubungan dengan buku akan saya beri istilah Pustaka Travelikay. Buku harus disebar ke penjuru negeri bahkan dunia. Butuh mobilisasi yang tinggi agar buku dapat sampai ke tangan pembaca. Dengan menggunakan tas punggung (backpack) sebagai alat bantu untuk membawa buku-buku ke tempat-tempat yang akan disinggahi sehingga muncullah projek Pustaka Backpaker. Dalam tema ini, projek Pustaka Backpacker akan berusaha konsisten untuk terus membuka lapaknya terutama di dua tempat yang sudah diterima yaitu kampus Fakultas Geografi UGM dan Opposite Cafe. Semoga kelak dapat menjadi bagian dari #PustakaBergerak.

Tema terakhir adalah petualangan. Hidup itu petualangan. Petualangan telah dimulai dan harus terus berjalan. Dalam menunjukkan apa itu perjalanan ke publik, kupilih Travelikay sebagai call-sign. Ekspedisi resmi yang pertama yaitu Ekspedisi Atap Jawa yang telah menuntaskan atap Jawa Tengah kemudian akan dilanjutkan ke Jawa Barat lalu kemudian Jawa Timur dengan Mahameru sebagai pamungkas Jawa, seperti yang pernah kuceritakan. Karena aku berjalan, maka aku ada.

Ketiga tema diatas akan mengangkat isu-isu yang sangat kutertariki. Sebagian besar projek-projek yang akan terbentuk tidak dapat berdiri diatas satu tema sendiri. Seperti projek Ekspedisi Atas Jawa yang secara resmi diperlihatkan sebagai projek Travelikay, namun dalam prakteknya ternyata ada unsur manajemen-manajemen geografer yang dimasukkan seperti pemetaan jalur pendakian. Atau projek Pustaka Backpacker yang untuk beberapa tempat akan menampilkan buku-buku bergenre ilmu geografi dan petualangan. 

Doa kan saja, semoga damai dunia beserta isinya.

M(anagement) Ikkikay


Selasa, 25 Juli 2017

[Part 1] MERAPI: Sebuah Janji! #ekspedisiatapjawa #jawatengah

Ekspedisi Atap Jawa
Jawa Tengah
#1 Merapi

Setelah sekian panjang drama yang harus Merapi berikan, akhirnya tim yang akan berangkat berjumlah 7 orang. Dua pria dan 5 wanita. Awalnya aku sendirian pria yang akan mengantar kelima wanita tersebut, namun karena ada intervensi dari organisasi akhirnya bertambahlah satu pria lagi. Bersyukur, ada tambahan personil pria. Kalau tidak entah bagaimana nasibku dijalan.

Oiya, bagiku Merapi selalu dekat namun dalam waktu bersamaan sangat jauh. Sudah kulihat setiap sudutnya, mulai dari utara hingga ke utara lagi. Namun kesempatan untuk menaklukkannya belum pernah kesampaian.

Dalam kesempatan projek pribadi yang kubuat, berjudul Ekspedisi Atap Jawa Tengah, Merapi mendapat kesempatan pertama untuk dijajaki. Ekspedisi Atap Jawa Tengah bagiku merupakan titik awal dari Ekspedisi Atap Jawa yang ingin kutuntaskan hingga ke atap tertinggi Jawa – Mahameru. Namun, biarkan kuhabiskan atap Jawa Tengah kemudian Jawa Barat terlebih dahulu. Terakhir baru Jawa Timur dengan pamungkasnya di TNBTS Gunung Semeru.

Latar belakangku untuk memulai perjalanan dari Merapi sudah kujelaskan sebelumnya. Namun mengapa harus mengakhirinya di Mahameru?

Bagi mereka yang dekat denganku, mungkin sering mendengar cerita tentang dua kali kegagalanku dalam perjalanan Semeru. Kali pertama ketika masa polos SMA, kali kedua ketika terjadi tragedi meninggalnya mahasiswa Unpar Bandung. Namun kali ini bukan cerita Semeru yang ingin kubagikan.


SOP pendakian Gunung Merapi yang terpampang di Basecamp Barameru


Perjalanan ke Merapi akhirnya dimulai sehari sebelum keberangkatan. Sebenarnya kemampuan seperti ini yang tidak pernah dipelajari orang-orang. Mengapa orang mendaki gunung? Entah ada yang menjawab ingin mendapat foto-foto keren untuk dipajang di instagram, ada juga yang hanya mengincar titik tertinggi, namun ada juga orang sepertiku yang mengincar perjalanannya. Kemampuan yang paling berharga dalam mendaki gunung adalah manajemen perjalanan. Bagaiamana seorang pendaki gunung, terutama leader pendakian dapat memanajemen perlengkapan pribadinya disaat perlengkapan kelompok masih kekurangan, memanajemen kendaraan bersama disaat dia saja masih bingung untuk naik apa, memenajemen makanan kelompok disaat dia masih susah mengatur arus makan pribadinya, dan memanajemen skenario-skenario perjalanan disaat dia harus ribet dengan pergerakan yang harus dilakukannya sendiri. 

Namun, perjalanan itulah yang menjadi guru yang sebenarnya. Dimana tanda tanya akan diganti oleh tanda tanya baru, tentang pengetahuan yang tidak akan ditemui dari tempat lain, dari ruang kelas maupun buku-buku.

Perjalanan ke Merapi kami sepekati setelah sholat subuh pada tanggal 30 Juni 2017. Aku yang terakhir datang ke kampus karena ternyata mesjid yang kutempati sholat selesai lebih lama. Tanpa cincong kami bersiap-siap, finalisasi perlengkapan dan mengaturnya ke dalam kendaraan. Kami berangkat dengan 4 motor, dengan salah satu motornya hanya digunakan 1 orang karena jumlah rombongan yang ganjil.

Perjalanan melewati kelokan aspal kami habiskan tepat 2 jam setelah sedikit kebingungan di wilayah Magelang, namun tidak ada hambatan yang berarti. Rombongan sampai di basecamp Selo pukul 7.30 pagi. Sesuai kesepatan briefing kemarin, kami memesan sarapan di basecamp sebelum memulai pendakian. Nasi goreng yang cukup pedas, memulai gejolak yang perutku berikan. Sebenarnya buang air besar masih dapat dilakukan sebelum memulai perjalanan, namun karena antrian yang panjang serta susahnya akses air di kamar mandi yang terdapat di samping basecamp makanya kuurungkan niatku, mungkin ketika turun besok dapat kutuntaskan.

Atas: Gunung Merbabu yang malu-malu dilihat
Bawah: Gunung Lawu yang menancap kokoh di sebelah timur

Pukul 4-an sore sedikit lagi sampai di pasar Bubrah


Banyak skenario yang akhirnya terganti dan bergeser. Seperti rencana membeli makan malam dari basecamp yang tidak jadi, serta molornya waktu perjalanan. Padahal keberangkatan pukul 9 pagi dan perjalanan dihabiskan 8 jam hingga menapaki pasar bubrah pukul 16.56 WIB cukup lama padahal perjalanan normal harusnya hanya 5-6 jam.

Segera kami dirikan tenda sebelum matahari menghilang di ufuk barat. Tim kami bagi menjadi dua, yang mengurus konsumsi untuk makan malam dan mengurus persiapan menginap malam itu. Persiapan selesai tepat ketika cahaya mentari hilang total, menyisakan gemintang yang tidak malu jika muncul bergerombolan.

Kekecewaanku bertambah setelah tim yang mengurusi makan malam ternyata gagal membuat nasi yang enak. Nasinya keras, tidak ada bedanya ketika Diklatsar bersama mereka kemarin. Padahal kan sudah pake kompor gas, kok bisa gagal? 

Mungkin ekspektasi ku yang berlebih, kukira semua perempuan bakalan dengan mudah memasak apalagi di gunung

Ternyata tidak, aih apalah. Kalian tau, bagiku (dan juga bagi banyak orang), makanan yang harus dibawa di gunung adalah makanan yang sehat-sehat dan enak-enak. Naik gunung adalah waktu untuk makan enak, karena selain itu anak kos adalah orang-orang menderita yang jarang makan dengan alasan mager untuk sekedar keluar membeli makan atau memang tidak punya uang

NAIK GUNUNG ADALAH ALASAN UNTUK MENAMBAH PROTEIN.

Setelah menuntaskan makan malam, (yang masak nasinya kuambil alih, karena masih keras namun tak mengapa toh makan malamnya tetap sedap. Aku hanya takut jika nasi yang keras itu menambah parah gejolak di perutku).

Kami memulai evaluasi malam hari sekaligus briefing untuk persiapan hari kedua esok hari, summit attack. (Setelah ini, summit attack akan disebut summit)

Briefing dan evaluasi inilah yang memang membedakan para pendaki amatiran dan non-amatiran. 

Secara logika, malam hari adalah waktu untuk beristirahat, namun bagiku dan juga rombongan yang kubawa, harus ada sesuatu yang harus kami ambil hikmahnya barang sekecil-pun. Tidak lama, paling 30 menit hingga se-jam kami batasi waktu, jika memang diskusi berjalan kondusif. Selain persiapan summit attack, kami juga membahas untuk persiapan perjalanan turun ke basecamp setelah menikmati puncak.

Evaluasi dan briefing selesai, namun kuputuskan untuk langsung memasuki sleeping bag-ku (SB). Rencana untuk mendokumentasikan gemintang kutinggalkan. Selain karena dinginnya suhu dan keringnya angin yang berhembus di pasar Bubrah, tadi sore ketika unpacking barang kucoba menggunakan tripod yang kubawa. Namun sekali sentuh, barang tersebut patah disetiap sisi. Walau masih bisa digunakan, namun susah sekali, harus dengan niat yang sempurna itupun dengan resiko suatu waktu kameranya dapat ambruk karena angin yang begitu kencang menghantam tripod. 

Relakan saja, lagi pula TIDUR NYENYAK JUGA ADALAH ALASANKU UNTUK NAIK GUNUNG.

Golden Sunrise dari Pasar Bubrah. Pendaki menghabiskan momen dengan berfoto-foto atau sekedar melamun bersama teman perjalanan.


Tidak ada hambatan berarti dalam penghabisan malam yang kami lakukan di dalam tenda. Tidur nyenyak, walau kadang terbangun akibat rembesan air yang terkondesi, ataupun alarm JANCUK DALAM ARTI YANG SEBENARNYA.

Aku lupa mematikan alarm ku, alarm pagi yang paling pertama akan berbunyi pada pukul 03.00. Sebenarnya bukan masalah pukul 3 dini hari-nya, toh orang-orang yang persiapan summit juga cukup ribut. Masalahnya yaitu backsound yang kupakai sepertinya tidak cocok untuk daerah seperti gunung. Pasangan tidurku krasak-krusuk mencari hape yang berada ditumpukan laci-laci tas, aku yang setengah sadar malas-malas untuk bangun hingga akhirnya sempurna terbangun karena sadar dengan bunyi itu.

(Kalian cari saja bunyi itu, di hapeku judulnya ENDANK SOEKAMTI cut, sepertinya itu salah satu cuplikan lagu ES yang cukup populer untuk anak muda. Yang pernah kulihat di videonya, seorang bapak-bapak mengamuk di radio yang on-air dan berucap sangat kasar menantang pendengar).

Alarm sudah kumatikan, sekaligus alarm-alarm lainnya yang akan menyusul. Kembali ke SB-ku, sambil sesekali berbincang pendek dengan Kuaci, pasangan tendaku. Katanya, dia sangat kedinginan. Kutolak argumennya, tentu saja karena aku menggunakan perlengkapan lengkap yang menutupi seluruh tubuhku mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah ku konfirmasi ulang apa yang dia katakan, ternyata dia tidak membawa SB. Sial, kukira perlengkapannya sudah lengkap. Tahu gitu kan bisa dipersiapkan bersama ketika masih di kampus. Namun, karena sudah PeWe, kupura-pura tidur sajalah. Toh sedikit lagi subuh.

Subuh adalah waktu tersulit bagiku untuk melawan. Di pasar Bubrah, bukan hanya setan namun dingin juga harus ditaklukkan. Karena niatku untuk menikmati golden sunrise, kupaksakan untuk bangun. Persiapanku untuk mencari sunrise selesai, SB-ku kuberikan ke Kuaci yang masih terlelap kedinginan.

Atap pertama Officialy dengan plang #ekspedisiatapjawa #travelikay


Aku berjalan sendirian melewati bebatuan besar-besar tanpa menggunakan headlamp, kulatih insting penglihatan gelapku. Tidak gelap-gelap amat sih, tapi cukup untuk menabrak beberapa batu dan memelankan langkah ketika ingin menaiki tanjakan menuju plang Pasar Bubrah. Rame sekali orang-orang yang ingin mendokumentasikan momen ataupun para summiter yang melewatiku. Hasil briefing semalam, kami tidak jadi summit attack subuh-subuh. Alasanku, ngapain dingin-dingin lalu menghabiskan waktu hanya sekedar sunrise di puncak mending sunrise-an di Bubrah. Tapi entahlah, itu sekedar alasanku saja karena aku tidak yakin dapat bergegas dalam dinginnya subuh untuk menapaki puncak. Lagipula sama saja, sunrise di ketinggian. Pikirku, tapi entahlah mungkin suatu saat akan berbeda lagi.

Ternyata, skenario untuk tidak Summit di kala subuh akan mengubah skenario awal. Mungkin karena saat itu adalah Summit pertamaku, sehingga sudut pandang terkait kemoloran skenario belum pernah kupikirkan. Karena Summit yang kami lakukan baru pukul 6.12 pagi, ditambah perjalanan naik, foto-foto dipuncak, turun dan sampai lagi di pasar Bubrah pukul 8.11, sehingga skenario-skenario awal dan baru tetap saja salah. Inilah yang kucari dalam setiap perjalanan, 

PENGALAMAN AKAN MENAMBAH SUDUT PANDANG.

Sudut pandang baru tentang summit attack dan skenarionya. Di skenario awal keputusan Summit subuh-subuh memang karena alasan ingin menghabiskan sunrise di puncak. Namun setelah mengubah skenario dan menjalaninya dengan segala kemoloran, ternyata pelajaran yang dapat dipetik untuk sebuah summit attack adalah menjaga sebuah run-down perjalanan agar tetap sesuai.

Puncak Merapi kutapaki pada tanggal yang cukup unik, 1717 alias 1 Juli 2017. Perjalanan satu jam ke puncak cukup melelahkan namun dapat terbayar untuk sebuah penantian ketinggian yang sudah lama ditunggu.

Perjalanan menuruni puncak ternyata sangat seru. Hanya menghabiskan 24 menit karena setelah menemui jalur pasir, kita tinggal bermain prosotan saja. Berbeda dengan perjalanan naik yang menghabiskan 1 jam perjalanan karena setiap naik 3 langkah di jalur pasir maka kaki kembali terperosok 1 hingga 2 langkah. Capek.

Perut sangat keroncongan setelah telah kembali di Pasar Bubrah. Untung saja Kuaci yang tidak ikut Summit telah membuat nasi matang (tanpa keras, perutku bakalan aman), jadinya kami hanya perlu mempersiapkan lauk untuk sarapan (atau ini makan siang?). Semua konsumsi yang bisa dihabiskan kami kuras dan coba masak, hm sangat banyak jadinya. Sampai-sampai abang yang dari Purbalingga kami persilahkan ikut makan bersama.

Semua bahan makanan yang bisa dimasak kumasukkan dalam resep makanan. Setelah semua jadi, nafsu makanku begitu tinggi dengan bahkan sisa-sisa teman lain yang menurutku sayang karena mubazir coba kumakan juga. Alhasil, gejolak di perut yang tadinya membaik seketika kembali menyerang dengan begitu parah.

Sebelumnya beberapa butir diapet telah kuhabiskan tapi ternyata tetap tidak mempan. Aku berteriak untuk dicarikan tissue basah sekaligus segera berbenah dengan seragam yang cocok untuk buang air besar.

Seragam yang kugunakan berupa sarung untuk menutupi badan, jangan sampai tubuhku terlihat mencolok. Buff untuk menutupi muka, jangan sampai orang-orang mengenali wajahku. Ditambah dengan perlengkapan seperti parang untuk menggali dan mengubur kembali tanah, tissue basah untuk kalian tau lah, serta sedikit air untuk bebersih.

Tapi jangan bayangkan aku sedang berada di hutan dengan vegetasi yang rapat. Jangankan rapat, vegetasi saja tidak ada sama sekali. Pasar Bubrah adalah hamparan padang pasir dan batu luas yang setiap sudutnya dapat ditengok. Alhasil sambil menahan buang air, pikiranku terus bekerja untuk mencari tempat yang paling aman dan tidak terlihat orang-orang.

Kutemukan lembah kecil, kumasuki lalu kususuri hingga ujungnya. Buset, ujungnya berupa jurang yang sangat dalam. Kuliat dan perhatikan sekitar dengan sungguh-sungguh. Setelah berhitung dengan keadaan, tentang titik dimana harus kutanam ranjau yang sudah tak tahan untuk dilepas maka tanpa berlama-lama posisiku berubah menjadi mode-on siap menghempaskan bumi. Lima menit lebih sedikit perutku selesai bergejolak.

Pasir, batu dan tanah kususun sedemikian rupa agar tidak meninggalkan tanda-tanda aktivitas yang mencurigakan. Aku kembali ke tenda dengan perasaan lega, dengan sedikit berlari-lari kecil karena sangat puas dengan apa yang telah kulakukan. Bayangkan saja, banyak orang dengan susah payah mendaki dan menginap di Pasar Bubrah. Namun, hanya sedikit sekali orang yang berhasil melepaskan ranjau di datarannya. SEDIKIT ORANG ITU ADALAH AKU.

Bersambung...




Jumat, 21 Juli 2017

Ekspedisi Atap Jawa Edisi Jawa Tengah

Atap Yogyakarta melalui Bumi Jawa Tengah, yang masih dalam ingatan.

Pertayaan kapan ke Merapi akhirnya terjawab. Tepat pada 1717 puncak yang sejak 6 tahun lalu selalu kulihat dari arah timur laut, dan 3 tahun terakhir dari arah selatan. Merapi memang bukan atap Jawa Tengah pertama yang kuinjak, namun dalam projek pribadi bertema #EkspedisiAtapJawa edisi #JawaTengah Merapi mendapat posisi pertama yang harus ditaklukkan.

Susah betul memplotting kapan ke Merapi. Setelah kegagalan keberangkatan pada akhir april kemarin, karena ada seorang teman yang sok pengen ikut lalu tidak berani melanjutkan perjalanan karena intervensi dari beberapa orang entah siapa. Lalu debat panjang tentang kapan enaknya dan sama siapa harusnya ke Merapi, akhirnya kesimpulan itu tertuju kepada beberapa srikandi angkatan Mapala Kampusku. Tanggal 30 Juni 2017, beberapa hari setelah lebaran Idul Fitri menjadi tanggal pembuka perjalanan panjangku.

Lalu mengapa projek pribadi #ekspedisiatapjawa ini muncul?

Apakah ini sebuah keputusan karena kecewa terhadap suatu hal?

Untuk melupakan seseorang?

Atau adakah hal lain?

Sempat terbersit, perjalanan ini memang untuk mengakselerasi kemampuan Hutan-Gunung ku agar tidak kalah dengan seseorang. Namun mengapa harus membandingkan dengan orang itu? Toh ternyata bukan itu jawabannya. Namun kemampuan Hutan-Gunung ku harusnya terakselerasi selama perjalanan ini.

Sempat terlintas dipikiranku untuk menambah jam terbang dokumentasiku pada tema landscape namun kemalasanku untuk memagang kamera selama perjalan ternyata masih harus dilatih lagi agar makin telaten. Namun angle pengambilan gambarku semakin bervariasi.

Sempat terlintas dipikiranku untuk menginjakkan kaki di atas awan, namun untuk apa? Setelah menginjak awan lantas?

Atau tentang penaklukan diri, namun adakah rasa sombong yang sudah luntur?

Aku berjalan, dan menambah tanda tanya dipikiranku.

Bersambung.....

Pembuka: KKL-1 [Kuliah Kerja-Lan-jalan]


Perkenalkan, bukan namaku tapi asal daerahku. Namaku pasti sudah kalian tau semua, buktinya kalian yang memanggilku untuk naik menyatakan kesan dan pesan yang entah apa yang kukatakan saat itu, mengecewakan bukan? Tapi perkenalkan daerahku, aku berasal dari pulau Solo, alias Solowesi (Sulawesi-red) tepatnya di kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang pas KKL kemarin kulihat di google maps salah satu gugusan kepulauannya lebih dekat dari NTB daripada pulau utama Solowesi.

Liburan lebaran kemarin aku tidak pulang, liburanku kali ini sempurna kuhabiskan di Jawa bagian tengah, tepat, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Keputusan besar yang akhirnya berkesimpulan menuntaskan atap-atap Jawa tengah kulakukan untuk melupakan berbagai hal, entah apa. Dan kemarin lengkap betul ditambah jalan-jalan mengelilingi bumi-bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah, tanpa melupakan atapnya.

Kuliah Kerja-Lan-jalan

Sejujurnya tidak ada persiapan khusus yang kupersiapkan untuk kegiatan ini. Grup kelompok saja tidak kumasuki berhubung kemarin selama liburan kuputuskan untuk menghapus sosial media Line. Malam sebelum keberangkatan pun kuhabiskan dengan nongkrong dan masak-masak berkumpul dengan teman se-Solo-wesi Selatan. Implikasinya, tidur tengah malam mengantarkanku untuk terlambat bangun. Mandi dan bersiap akhirnya aku sampai dikampus lewat dari 6.30 melebihi kesepatakan awal. Untung saja hukumannya hanya menyanyikan Indonesia Raya, bapak Guruh masih meragukan nasionalisme anak muda seperti kami sepertinya. (kalau nasionalisme memang hanya diukur dengan Indonesia Raya).

Mungkin segini dulu untuk pembuka KKL-1-nya, bingung mau nulis apa.

Jumat, 28 April 2017

Waktuku Se-pekan (Last)

[Me-manage perasaan]



Aku sungguh menyesal karena di pekan keempat dan kelima ku aku memutuskan untuk menjauh. Di pekan-pekan itu malah aku kehilangan momen yang menurutku sangat penting, setelah mendengar pengakuannya.
Sekarang Langit sedang tidak berada di Jogja selama sepekan karena harus menyelesaikan kewajiban akademik. Dan tugasku sekarang, mencari tahu bagaimana aku harus bersikap terhadapnya setelah ini, dan setelah sepekan ini. WAKTUKU HANYA SEPEKAN

Selesai

Waktuku Se-pekan (6)

[Me-manage perasaan]



Dia menghubungiku, katanya kami perlu ngobrol lebih banyak lagi. Dia kembali menekankan hubungan kami, sebagai sedikit lebih dari teman biasa.
Katanya aku tidak bisa menjadi orang spesialnya. Selain karena alasan prinsip hidup, ternyata selama ini hubungannya bersama Langit sangat complicated. Dia bilang tidak dapat membuka banyak terkait hubungan mereka kepadaku, dia sudah jauh masuk ke kehidupan Langit dan mereka punya janji bersama entah apa aku tidak tau.
Sungguh aku bingung sekarang dimana posisiku dan siapa aku setelah ini dimatanya.

Bersambung

Waktuku Se-pekan (5)

[Me-manage perasaan]



Saatnya kita kembali ke masa sekarang. Masa dimana berarti pekan keenam sedang berlangsung. Diakhir pekan nanti kami akan berangkat ke Merapi bersama teman-teman UKESMA ku, dia sendiri yang meminta ikut setelah kuberi tahu rencanaku.
Saat ini Kamis, sehari setelah kami makan berdua dan mengkomunikasikan banyak hal. Kemudian kembali complicated di malam hari karena dia membuka semuanya, tentang hubungan yang akan kujalani bersamanya dan hubungan yang sedang dia jalani bersama Langit.

Bersambung

Waktuku Se-pekan (4)

[Me-manage perasaan]



Kecemburuan di pekan ketiga mengantarkanku untuk menjauh di pekan keempat dan kelima. Kegiatan diluar fakultas juga mendukungku untuk menjauh. Kontemplasi-kontemplasi yang kulakukan di lereng gunung Merapi membawaku berfikir keras untuk banyak hal.
Aku mendengar kabar baru selepas kegiatanku. Mereka yang diakhir pekan keempat latihan SRT terlihat begitu sangat dekat. Aku sebenarnya sudah tidak terlalu memikirkan itu dan memang aku sedikit banyak dapat melupakannya. Yang ingin kuberi tahukan pada bagian ini, mereka ternyata jauh lebih dekat daripada yang kubayangkan. Semoga kalian dapat menarik benang merah untuk lanjutan kisah selanjutnya.

Bersambung

Waktuku Se-pekan (3)

[Me-manage perasaan]


Akan ku ceritakan mengapa aku cemburu pada pekan ketiga. Akan ku masukkan satu lagi tokoh: Langit.
Aku mendengar gosip itu di hari Rabu pekan ketiga, seketika hatiku langsung hancur. Sebenarnya gosip itu mudah saja untuk tidak kupercaya, namun di hari sebelumnya yaitu Selasa kami beberapa orang sempat makan siang bersama dan melanjutkan jajan es krim di McD. Sebelum makan siang aku mengajaknya untuk naik motor bersamaku, namun ternyata dia dengan tegas menjawab bahwa dia akan bersama Langit. Oke aku biasa saja pas itu, soalnya memang aku cuman org yang ikut-ikutan acara makan siang mereka. Sesampainya di warung soto tempat makan, kuambil posisi didekatnya agar Langit tidak mengambil jatahku. Pokoknya pekan itu kurasa dia sedikit lebih diam dari biasanya. Aku tidak terlalu banyak berinteraksi dengannya saat itu. Kami melanjutkan perjalanan untuk membeli es krim di McD. Kami ber-6 orang, dengan rasio 1:1 lelaki-wanita, sehingga kami para lelaki (termasuk aku dan Langit) menunggu di lantai atas. Para wanita masing-masing membawa 2 eskrim Seasalt, dan harapanku aku diberi eskrim oleh dia. Ekspektasiku terlalu tinggi, ternyata eskrimnya di berikan ke Langit, kepalaku memanas. Itu sebabnya gosip itu termakan olehku begitu saja di hari Rabu pekan ketiga.

Bersambung

Waktuku Se-pekan (2)

[Me-manage perasaan]



Sekarang waktuku tinggal sepekan untuk berusaha mencari tahu seberapa serius dan respon dia terhadapku. Aku harus maju kedepan, walaupun pikiranku terus terngiang-ngiang ke beberapa pekan belakangan terutama di pekan-pekan yang aku sempurna menjauh darinya.

Di pekan keenam aku memberitahunya semua yang harus kuberi tahu. Tentang sikapku terhadapnya di pekan pertama dan kedua, perhatian-perhatian ku di diklat-diklat yang kami jalani, kecemburuanku karena sebuah gosip di pekan ketiga, penghapusan kontak sosmednya dan kekhawatiranku setelah mendengar kabar kecelakaannya di pekan kelima, kekecewaan ku karena tidak berboncengan bersamanya dan kecemburuanku terhadapnya ketika pulang bersama seorang  senior ketika Diklat Climbing.
Dia membalas, memberitahu bahwa dia juga merespon ku ketika pekan pertama dan kedua namun belum yakin tentang keseriusanku, mencari-cari ku ketika aku mulai jauh di pekan ketiga, berniat menghubungiku ketika dia kecelakaan di pekan kelima, gregetannya tentang plottingan boncengan yang katanya ingin bareng denganku serta perhatianku yang dia mulai imbangi ketika diklat, serta ingatan akan momen malam ketika aku memboncengnya selepas makan malam sehabis Diklat di hari Minggu.

Hubungan kami kembali cair di pekan keenam, tidak ada lagi curiga ataupun cemburu. Setelah bercerita, berkomunikasi panjang lebar untuk mengkonfirmasi segala kesalahan yang kami tinggalkan di pekan-pekan kemarin. Aku menangkap sinyal bahwa dia mengkonfirmasi keinginanku untuk dekat dengannya, namun tidak ada kesepakatan sebagai apa.
----


Bersambung

Waktuku Se-pekan

[Me-manage Perasaan]


Ceritaku bermula kurang lebih 6 pekan hitungan mundur kala ini. Keberanian ku menghubungi nya saat itu ketika pembagian boncengan yang kudapati tidak semenarik yg kubayangkan. Kuhubungi dia, meminta bertukar pasangan boncengan agar kami berbarengan. Obrolan kami melalui gawai berlanjut hingga tengah malam, dan malam-malam selanjutnya. Kebetulan sekali, 2 pekan pertama kedekatan kami bersamaan dengan ujian tengah semester. Telepon-menelpon menyelingi obrolan-obrolan agar tetap terjaga untuk mengejar materi yang di ujikan.
Pelatihan-pelatihan yang kami lewati dimana kami saling menjaga dan saling mengingatkan dengan jelas menunjukkan kedekatan kami. Aku sempurna percaya bahwa dia merespon ku dengan baik. Pekan ketiga kedekatan masih berlanjut, namun aku akhirnya menjauh pada pertengahan pekan karena termakan gosip yang kebenarannya tentu saja belum terbukti. Aku sangat kecewa mendengar gosip itu, entah mengapa padahal hanya sekedar gosip. Akhirnya kuputuskan untuk fokus ke program kerja organisasi lainku yang tidak ada dia.
Menghilang dari satu organisasi ke organisasi lain adalah salah satu keuntungan mempunyai banyak organisasi. Melupakan sejenak hiruk pikuk kejenuhan, mencari sumber inspirasi baru.
Pekan keempat dan kelima aku sempurna betul menjauh, mulai dari frekuensi obrolan di sosial media yang tidak pernah lagi hingga menghapus akun-akun sosmed nya yang ada di akunku.
Hingga akhirnya aku telat mengetahui bahwa dia telah mengalami kecelakaan. Aku kaget, bagaimana mungkin dia tidak memberitahu ku. Padahal dalam beberapa hari kami akan menjalani pelatihan panjat tebing yang notabene membutuhkan kondisi fisik yang prima. Akhirnya aku kembali memikirkannya, berjanji berusaha sebisa mungkin menjaga nya ketika di lapangan.
Hari lapangan tiba, aku bingung mengapa aku di plot berangkat bersama cowok sedangkan dia bersama cewek. Bukankah bisa di tuker sehingga ada dua pasang cowok-cewek yang berboncengan? Pikiranku terus berpikir keras namun tidak mau menyangga ketentuan kordinatoor lapangan. Untung dia tidak berboncengan dengan cowok, aku tidak tahu betapa kusutnya mukaku karena cemburu.
Aku menjaganya sebisa yang kubisa, masih dengan jarak yang telah kami buat di 2 pekan terakhir. Namun sikapku benar-benar terlihat  masih sangat perhatian, walaupun tetap kujaga agar tidak seperhatian seperti diklat-diklat sebelumnya.
Diklat Climbing selesai di hari Minggu sore, namun dia pulang terlebih dahulu bersama salah satu senior kami di pagi hari. Aku cemburu, aku cemburu melihat mereka pulang bersama dalam satu motor. Tapi kenapa aku cemburu?
Setelah sampai di kampus dan beres mencuci alat, aku mengajaknya makan malam. Kami makan malam bertiga bersama sahabatnya, kuputuskan untuk tidak terlalu berinteraksi ketika menunggu hidangan tersaji, berpura-pura tidur karena kecapean. Sehabis makan, aku ingat momen itu, aku kangen momen dimana aku memboncengnya dan tertawa sepuas mungkin bersamanya.

Bersambung

Senin, 10 April 2017

Chapter One: Bagian 3 Kisah SMA (2)

CHAPTER ONE

Part 3
Kisah SMA (2)

            Awalnya aku adalah seorang monster. Entah mengapa sifat penyabar yang kumiliki akan berubah menjadi super ganas ketika ada hal remeh-temeh yang tak kusukai. Tapi kata orang, memang seorang penyabar akan lebih ganas marahnya daripada orang yang sangat sering marah-marah? Haha tak tau itu kata siapa.
Pernah, hampir ku hantam muka teman yang baru kukenal hanya karena tidak berhenti menggerakan kakinya naik turun sehingga membuat kursi kami yang menyatu harus bergetar. Untung masih kutahun, namun mengapa harus marah?
            Aku ingat saat itu, kemarahan terakhirku kepada orang lain adalah kepada temanku yang berasal dari Salatiga. Ya ALLAH, kalau kuingat kembali kisah itu betapa parahnya aku. Entah super sepele apa yang menyebabkanku marah, namun aku sampai teriak-teriak dan meninju batok kepalanya. Maafkan aku. Sejak saat itu aku berjanji di dalam hati untuk tidak akan pernah marah lagi kepada orang lain, apapun alasannya.
            Tingkahku semakin hari semakin melunak. Aku mulai menemukan frekuensi yang sama dengan teman-temanku yang berasal dari Jawa, tidak seperti teman sedaerahku yang belum mampu terbuka. Aku memulai start terlebih dahulu, bercanda ria saling omel tanpa harus merasa sakit hati.
            Apalagi ketika Damar dan Bewok yang pada awal semester 2 mengajakku untuk jalan-jalan keliling Solo. Ya, pada akhir pekan itu juga kami akhirnya jalan-jalan berkeliling Solo, jangan lupa jalan dalam arti yang sebenarnya.
            Kami berangkat sabtu siang setelah memperoleh tanda tangan ijin di buku biru dari Pembina kelas. Niat kami mencari pengalaman, saat itu kami mencoba mencari tumpangan mobil pick-up. Di jalan poros Solo-Purwodadi, kami memposisikan tangan membentuk sebuah kelopak yang menghadap ke atas. Itu pertanda bahwa kami sedang mencari tumpangan.
            Sebuah mobil berhenti, setelah melobby driver-nya akhirnya kami dipersilakan naik. Saat itu gerimis melanda Gemolong hingga Solo, akibatnya kami di mobil dalam keadaan basah-basahan karena tak ada atap, namanya juga mobil pick-up . Mobil yang kami tumpangi hanya mampu mengantar sampai ke Proliman, akhirnya kami lanjutkan perjalanan ke kota Solo dengan naik bus berbayar lalu dioper lagi ke bus trans-batik Solo yang menghubungkan titik-titik penting kota Solo.
            Tujuan awal kami adalah Solo Grand Mall alias SGM. Biasanya, kami sekelas memang sering kesini, sekedar menyuci mata setelah santap bersama di Warung Spesial Sambel yang kalau nambah nasi geratis atau Pizza Paparons yang setiap hari senin beli 1 gratis 1.
            Malam itu, entah aku lupa apa yang kami lakukan di SGM, tapi kami segera keluar dan menghabiskan malam di warung-warung susu murni yang berjejeran di depan SGM. Warung kaki lima yang kontras dengan modernitas Mall diseberangnya.
            Dengan berjalan kaki kami lanjutkan perjalanan lurus kearah patung Slamet Riyadi yang berdiri kokoh entah berapa kilometer jauhnya. Lalu menikmati suasana malam Solo yang sebenarnya, kemudian berjalan kembali kearah SGM untuk mencari penginapan atau disini kami sebut sebagai masjid. Susah sekali menemukan masjid di pinggir jalan, kami karus blusuk-blusuk masuk ke gang-gang. Setelah menemukan masjid yang cocok dan bisa ditempati menginap, kami putuskan menggelar sleeping bag dan sarung yang kami bawa. Pulas sekali pokoknya malam itu setelah berjalan puluhan kilometer.
---

            Selain perjalanan jalan kaki yang selalu kuingat itu, hal lain yang kuingat adalah pernah juga aku ikut liburan akhir pekan di rumah kerabat temanku yang bernama Anis. Saat itu setelah menikmati suasana Car Free Day di depan Carefour Solo Baru, kami memutuskan naik sepeda menuju belakang SGM untuk membeli keperluan buku kimia Fessenden yang kucari-cari. Kalian cari di maps sekarang, pasang titik di sekitar jembatan Bengawan Solo, Solo Baru hingga ke Stadion Manahan Solo. Bayangkan seberapa jauhnya itu dan hanya ditempuh dengan naik sepeda.
             Menjelang sore kami kembali ke rumah kerabat Anis dengan tergesa karena langit begitu mendung. Takut sekali kami terkena hujan yang kelihatannya akan sangat deras.
---

            Perjalanan-perjalanan seperti itu yang sedikit membuka pikiranku, ditambah masih banyak kisah perjalanan liburan akhir pekan lainnya yang selalu kuhabiskan dan diskusi-diskusi yang menantang untuk mengevaluasi diri di atas becak ataupun bus kami gunakan. Membuka pikiranku untuk banyak hal kedepannya.
---



Rabu, 05 April 2017

Galau mulu bang!


Jangkrik bersuara dengan irama, langkahku semakin melemah diiringi nafas yang sejak tadi terangah-engah. Sudah 2 jam kesendirianku sejak berangkat naik motor ke Desa Turgo lalu mengelana sendiri menaiki bukit-bukit yang terpisah oleh lembah yang terjal. Kabut datang lalu pergi bersamaan dengan dinginnya udara pegunungan. Senja berkabar akan kembali lagi esok, lalu diganti gugusan gemintang yang sedang menemaniku. Kontras, kesendirianku diantara jagat raya malam ini.
Kuputuskan untuk menyendiri setelah merasa sangat kerdil diantara tumpukan tugas dan kisah cinta yang tak karuan. Tugas-tugas yang tak habis dikerjakan terus merengek minta digarap. Sejujurnya aku senang mengerjakan deadline-deadline yang harus kukumpulkan tepat esok hari, walaupun harus mengurangi jatah tidur yang sudah tak terkontrol lagi. Aku menjadi manusia dengan jam istirahat yang minim.
Apalagi perkara cinta? Aku bingung. Namun mengapa?
Lagi-lagi cinta. Adakah diksi lain yang dapat mengoreksi lima huruf itu? Selalu saja membuat rasa senang, semangat, sedih, cemburu, khawatir, rindu dan segala macamnya beraduk tak karuan.
Kuputuskan untuk berhenti di koordinat 436519 vs 9163350. Posisiku berada di ketinggian 1277 meter diatas permukaan laut, disebuah lembah cekungan yang dikelilingi tebing-tebing batuan vulkanik yang meninggi sekitar 8-10 meter. Kupasang tenda mini yang sebelumnya kuambil tergesa di sekre mapala ku di kampus. Segala persiapanku untuk menginap selesai, ketika sinyal telepon yang sebelumnya kucari-cari karena ingin mengetahui kabar seseorang menguat dan membuyarkan kesunyian dalam kegelapan.
Kabar yang kutunggu sejak tadi akhirnya datang. Tanpa pikir panjang akhirnya kukemas kembali barang-barangku dan kurelakan begitu saja waktu kontemplasi yang telah kujadwalkan. Seseorang menungguku dibawah sana. Tunggu aku, disampingmu, bersamamu.
---
Aku terbangun setelah sekian hari dirawat kritis di RSUP Sardjito Yogyakarta. Pandanganku masih kabur dan sedikit demi sedikit cahaya mulai membantu memantulkan spektrumnya. Kucari suara dentingan jam yang ternyata ada disebelah kiri atas kamar rawatku. Pukul 1.00 dini hari entah hari apa itu, hari terakhir yang kuingat adalah selasa ketika langkah cepatku menuruni bukit terhenti karena tersandung sesuatu, setelah itu aku sudah tak sadarkan diri.
Kuputar wajah kesebelah kanan, kulihat jilbab ungunya menjagaku entah sudah berapa lama. Tertidur pulas, entah bermimpi seberapa jauh. Namun dalam kedekatan yang begitu hangat itu aku berjanji dan juga bermimpi untuk tetap menunggumu yang telah berhasil menungguku, disampingmu yang mampu bertahan disampingku, dan bersamamu disaat bahkan kau tidak akan pernah tahu.



Jumat, 24 Maret 2017

Chapter One: Bagian 2 Kisah Cinta SMA (1)

CHAPTER ONE

Part 2
Kisah Cinta SMA (1)
           
            Baru sebulan lebih seminggu menjalani kehidupan baru, ternyata liburan Idul Fitri mengharuskan kami kembali ke kampung halaman. Pertemananku dengan teman-teman dan kakak seperantauan makin erat apalagi ditambah momen perjalanan pulang yang mengasyikan. Kami naik pesawat melalui Surabaya setelah melakukan perjalanan panjang dan melelahkan dari Sragen menuju Bandara Djuanda. Pilihan itu kami ambil setelah hitung-hitungan biaya, antara lewat Bandara Adisutjipto Yogyakarta ataukah Bandara Djuanda Surabaya yang ternyata lebih alternatif-ekonomis  untuk memilih pilihan kedua.
            Sebentar saja kami di perantauan, namun rasa rindu akan teman-teman SMP sangat bergelora. Akhirnya dengan sedikit inisiasi, dicetuskan membuat sebuah acara buka puasa sekaligus dalam rangka reuni beberapa bulan perpisahan. Kami semua bertemu, saling sapa dalam suasana menjelang hari kemenangan.
Dahsyat. SMP ku luar biasa. Padahal jika dipikir-pikir termasuk dalam kategori SMP terpencil, namun alumninya menyebar di mana-mana. Ada yang melanjutkan sekolah di SMA 1 dan 2 Pangkajene, yang selalu bermusuhan dalam arti positif. Lalu ada yang bersekolah di Kota Makassar dan Gowa yang banyak sekali sekolah favorit, ataukah ke negeri antah berantah Jawa yang kemudian tersebar lagi di beberapa kota, beberapa provinsi.
Pertemanan baik kami malah bermula ketika kami sudah tidak bersama-sama dalam atap sekolah yang sama. Namun dengan alasan sekolah baru kami yang saling berafiliasi, memberikan suatu ikatan yang kuat antara kami para perantau Pangkep. Walaupun mereka berada di Jogja dan Bandung, namun komunikasi kami sangat baik. Ditambah momen Olimp-Camp yang ternyata menyatukan mayoritas dari kami. Lengkap, saat itu Tangerang rasa Pangkep. Pecah!
Persahabatan terasa begitu erat, suka duka yang sering kami ceritakan ketika kembali berlibur ke Pangkep. Kalau sedang berlibur, palingan teman main yang paling sering adalah mereka. Bagaimana tidak? Tidak bersekolah di daerah asal sedikit memberikan kesan bahwa kami tidak terlalu memiliki banyak teman lain. Padahal masa-masa SMA adalah masa yang harusnya dihabiskan dengan membuat banyak sekali relasi pertemanan.

---

Kisahku untuk bagian ini baru akan kuceritakan.
Bermula ketika liburan lebaran Idul Fitri pertama, ketika kulihat postingan foto salah satu temanku yang bersekolah di Jogja. Seketika disaat itu ku chat dia lalu bertanya tentang teman cewek yang berada difoto bersamanya.
Kesan pertama yang baik. Entah mengapa, kesan pertama untuk setiap orang yang kita temui akan selalu membekas bukan? Walaupun tidak semua pada akhirnya memiliki sifat seperti yang sudah kita judge pada kesan pertama, namun tetap saja perlakuan kita selanjutnya adalah manifestasi dari itu. Ataukah mungkin cuma aku saja yang seperti itu? Misalkan temanku yang kesan pertama kuliat songong, sombong, caper (cari perhatian) walaupun selanjutnya ternyata dia tidak seperti itu sepenuhnya, namun pikiranku selalu menasbihkan bahwa dia itu begini-begitu. Pemikiranku dangkal sekali saat itu.
Aku memperoleh kontak cewek tersebut setelah panjang sekali alibi kubuat kepada temanku agar dia dengan sukarela mau berbagi. Hei, aku direspon sangat baik, kesan-kesan yang menggembirakan. Percakapan-percakapan berlanjut terus hingga masa liburan selesai. Aku kembali ke Sragen, dan dia (temannya temanku) kembali ke Jogja. Karena peraturan tentang pelarangan penggunaan HP di lingkungan sekolah dan asrama di hari Senin hingga Jumat, kami hanya dapat berkomunikasi di hari Sabtu dan Minggu saja. Hari-hari itu kami maksimalkan komunikasi walaupun masih membahas hal-hal yang tidak jelas.
Periode belajar kembali rehat. Satu semester sudah kami berkomunikasi. Entah mengapa perasaanku merasa bahwa aku dan dia sangat cocok. Hobi membaca yang sama, serta cerpen-cerpen karyanya yang selalu meraih juara, melejitkan semangatku untuk terus menggali lebih dalam tentang dirinya.
Kuputuskan untuk berhenti mengharap pada adek teman SMP ku yang memang tidak pantas tuk diharap, karena pengharapanku terlihat hanya satu arah. Kubuang semua foto-foto tidak jelas tentangnya (adek teman SMP) di folder usangku, ku sembunyikan baju coretan kenangan kelulusan SMP yang di kerahnya tertulis lengkap namanya. Kubuang jauh-jauh, jauh sekali. Hingga tidak pernah terlihat lagi.
Aku punya motivasi baru. Walaupun sekian kali kunyatakan perasaan lewat telepon namun tetap tak diterima dengan alasan menjaga prinsip, namun hubungan kami malah bertambah baik. Sampai-sampai pikiran-pikiran untuk mengikuti kegiatan ekskul jurnalistik, meluangkan waktu menulis cerpen tak jelas, serta angan-angan untuk melanjutkan kuliah kelak di jurusan Sastra Indonesia muncul karena dia.



            

Selasa, 21 Maret 2017

Chapter One: Bagian 1 Kisah SMA (1)

CHAPTER ONE

Part 1
Kisah SMA (1)

            Titik ini adalah titik yang akan menentukan titik-titik selanjutnya. Ragaku terdampar di sebuah desa bernama Gemolong, sekitar 30 menit-an dari Kota Surakarta (alias Solo) lebih dekat daripada pusat ibukota kabupaten yang berjarak hampir sejam.
Gemolong masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Benar sekali, aku melanjutkan SMA tidak di daerah asal melainkan merantau jauh ke tempat orang. Pulau yang bernama Jawa dihuni oleh sekitar hampir 60 persen dari total penduduk Indonesia. Pulau yang sangat padat, kalau menurut teori kepadatan penduduk sudah tidak memenuhi untuk menampung semua jiwa-jiwa yang ada.
            Lalu bagaimana mungkin aku sekarang ada disini? Bagaimana caranya?
            Singkat cerita ketika masa-masa akhir SMP, setiap selesai beribadah kusampaikan do’a-do’a yang kurasa sangat mustahil. PIkiranku saat itu hanya berdo’a tanpa melihat realitas. Bukankah skenario hidup sudah di tentukan Tuhan? Jalanku setelah ini sudah ditulis oleh Tuhan jauh sebelum aku dilahirkan. Dan ternyata Tuhan mengabulkan do’a ku. Tanpa pernah kusangka-sangka.
            Sekolahku bernama SMA Negeri Sragen Bilingual Boarding School atau biasa dipanggil SBBS. Salah satu sekolah yang dikelola oleh yayasan yang berbasis di Turki. Sekolah-sekolah dari anak yayasan ini merupakan sekolah-sekolah favorit, pemenang banyak sekali medali olimpiade baik nasional maupun internasional. Lalu seorang yang sangat nakal bagaimana mungkin diterima? Begitulah takdir Tuhan, sampai saat ini pun aku selalu bertanya-tanya mengapa.
            Benar sekali, semenjak berada di daerah Jawa, terutama di Gemolong ini mau tidak mau siswa-siswa harus beradaptasi dengan budaya lokal. Shock-culture yang paling berpengaruh terkait bahasa. Walaupun di sekolah yang ber-asrama ini diwajibkan untuk menggunakan dwi-bahasa yaitu Inggris dan Turki, namun tetap saja 24 jam non-stop yang kudengar adalah bahasa Jawa. Mulai dari bangun pagi untuk bergegas sholat subuh hingga kembali terpaksa terlelap karena jam malam telah tiba.
            Makanya mulai dari bagian ini aku belajar menggunakan kata ganti “aku”, karena aku sudah tidak berada di wilayah yang menolak keras ke-“aku”-an. Walaupun bahasa Jawa mempunyai beberapa tingkat bahasa, dimana kata “saya” saja dapat berbeda-beda artinya sesuai strata sosial orang yang berbicara dan orang yang diajak berbicara.
            Secara umum tingkatan bahasa Jawa terbagi menjadi tiga yaitu Ngoko, Madya, dan Krama. Setiap tingkatan ini dibagi lagi menjadi beberapa tingkatan yang hingga sekarang aku tidak mengerti sepenuhnya. Misalnya saja kata “tidur” yang dalam tingkat bahasa Ngoko berarti “turu”, “tirem” dalam Madya, dan “sare” dalam Krama. Beuh, pusing tidak sih? Tidak seperti bahasa Makassar, dimanapun kapanpun, siapapun yang berbicara, sedang apapun pembicara maka kata “tidur” tetap diartikan sebagai “tinro”.

---

            Drama panjang yang membawaku menuju sekolah ini tidak akan selesai jika kusebutkan disini, makanya kalian cukup tahu saja kekuatan do’a.
            Dengan predikat sekolah unggulan nasional berorientasi juara olimpiade, mau tidak mau untuk menyeimbangi tekanan dari sekolah dan teman-teman lainnya kuputuskan untuk mengikuti Olimpiade mata pelajaran Kimia. Kebetulan Ibuku seorang guru kimia di SMAN 1 Pangkajene, namun tentu ditempat baruku aku tidak akan bisa belajar kimia dari ibuku.
            Usahaku belajar kimia sendiri sedikit menemukan titik terang setelah mengikuti Olimpiade Kimia Nasional di Universitas Gadjah Mada. Walaupun peringkatku sangat-sangat jauh dari harapan, namun aku berada pada urutan kedua diantara teman seangkatan yang juga ikut lomba tersebut. Tidak membanggakan memang, namun hasil itu cukup untuk guruku memilihku guna mengikuti pelatihan olimpiade atau biasa kami sebut Olimp-Camp di salah satu sekolah yang juga anak yayasan sekolahku yaitu Kharisma Bangsa Tangerang Selatan.
            Singkat cerita aku dilepas teman-temanku untuk mengikuti Olimp-Camp setelah merayakan ulangtahun pertamaku yang jauh dari orangtua. Walaupun sampai saat ini merayakan ulang tahun adalah hal yang tabu bagi ku, namun momen saat itu cukup mengungkapkan betapa ramahnya keluarga baruku di kelas 10A. Tesekkur ederim
            Selama masa Olimp-Camp, pikiranku terus melayang tidak jelas. Entah karena merasa tidak pantas dibandingkan kehebatan teman-teman  baru (lagi) yang kutemui, ataukah pelajaran-pelajaran yang tidak dapat kucerna langsung. Ataukah apa? Di hari yang kesekian aku drop, mengeluarkan segalanya dalam bentuk rengekan yang kucurahkan kepada orangtuaku didalam telepon genggam. Namun pembinaku saat itu meyakinkanku, bahwa saatnya untuk melanjutkan perjalanan.
            Tetap kulanjutkan masa pelatihanku hingga selesai, bahkan beberapa bulan kemudian untuk Olimp-Camp selanjutnya hingga ketiga dan keempat kutamati. Walaupun perkembanganku tidak begitu meyakinkan, namun cukuplah untuk mengantarkanku ke tingkat Provinsi Jawa Tengah. Sayangnya, persaingan di Jawa Tengah yang begitu ketat, apalagi peraturan bahwa hanya 2 delegasi yang dapat mewakili setiap sekolah maka setelah melihat pengumuman yang kutunggu-tunggu ketika berlibur di kampong halaman ternyata tidak kulihat namaku terpampang, Hanya ada nama teman seangkatanku yang memang sejak awal sangat prospektif ditambah adik kelasku yang pada akhirnya berhasil meraih Medali Perak ICho ( Int. Chemistry Olimpiad) 2 tahun beruntun. Hahah, penghargaan adik tingkatku sering kujadikan alasan mengapa aku kalah olehnya, karena jelas saja kemampuan dia telah terbukti sampai ketingkat internasional.
---