Selasa, 21 Maret 2017

Chapter One: Bagian 1 Kisah SMA (1)

CHAPTER ONE

Part 1
Kisah SMA (1)

            Titik ini adalah titik yang akan menentukan titik-titik selanjutnya. Ragaku terdampar di sebuah desa bernama Gemolong, sekitar 30 menit-an dari Kota Surakarta (alias Solo) lebih dekat daripada pusat ibukota kabupaten yang berjarak hampir sejam.
Gemolong masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Benar sekali, aku melanjutkan SMA tidak di daerah asal melainkan merantau jauh ke tempat orang. Pulau yang bernama Jawa dihuni oleh sekitar hampir 60 persen dari total penduduk Indonesia. Pulau yang sangat padat, kalau menurut teori kepadatan penduduk sudah tidak memenuhi untuk menampung semua jiwa-jiwa yang ada.
            Lalu bagaimana mungkin aku sekarang ada disini? Bagaimana caranya?
            Singkat cerita ketika masa-masa akhir SMP, setiap selesai beribadah kusampaikan do’a-do’a yang kurasa sangat mustahil. PIkiranku saat itu hanya berdo’a tanpa melihat realitas. Bukankah skenario hidup sudah di tentukan Tuhan? Jalanku setelah ini sudah ditulis oleh Tuhan jauh sebelum aku dilahirkan. Dan ternyata Tuhan mengabulkan do’a ku. Tanpa pernah kusangka-sangka.
            Sekolahku bernama SMA Negeri Sragen Bilingual Boarding School atau biasa dipanggil SBBS. Salah satu sekolah yang dikelola oleh yayasan yang berbasis di Turki. Sekolah-sekolah dari anak yayasan ini merupakan sekolah-sekolah favorit, pemenang banyak sekali medali olimpiade baik nasional maupun internasional. Lalu seorang yang sangat nakal bagaimana mungkin diterima? Begitulah takdir Tuhan, sampai saat ini pun aku selalu bertanya-tanya mengapa.
            Benar sekali, semenjak berada di daerah Jawa, terutama di Gemolong ini mau tidak mau siswa-siswa harus beradaptasi dengan budaya lokal. Shock-culture yang paling berpengaruh terkait bahasa. Walaupun di sekolah yang ber-asrama ini diwajibkan untuk menggunakan dwi-bahasa yaitu Inggris dan Turki, namun tetap saja 24 jam non-stop yang kudengar adalah bahasa Jawa. Mulai dari bangun pagi untuk bergegas sholat subuh hingga kembali terpaksa terlelap karena jam malam telah tiba.
            Makanya mulai dari bagian ini aku belajar menggunakan kata ganti “aku”, karena aku sudah tidak berada di wilayah yang menolak keras ke-“aku”-an. Walaupun bahasa Jawa mempunyai beberapa tingkat bahasa, dimana kata “saya” saja dapat berbeda-beda artinya sesuai strata sosial orang yang berbicara dan orang yang diajak berbicara.
            Secara umum tingkatan bahasa Jawa terbagi menjadi tiga yaitu Ngoko, Madya, dan Krama. Setiap tingkatan ini dibagi lagi menjadi beberapa tingkatan yang hingga sekarang aku tidak mengerti sepenuhnya. Misalnya saja kata “tidur” yang dalam tingkat bahasa Ngoko berarti “turu”, “tirem” dalam Madya, dan “sare” dalam Krama. Beuh, pusing tidak sih? Tidak seperti bahasa Makassar, dimanapun kapanpun, siapapun yang berbicara, sedang apapun pembicara maka kata “tidur” tetap diartikan sebagai “tinro”.

---

            Drama panjang yang membawaku menuju sekolah ini tidak akan selesai jika kusebutkan disini, makanya kalian cukup tahu saja kekuatan do’a.
            Dengan predikat sekolah unggulan nasional berorientasi juara olimpiade, mau tidak mau untuk menyeimbangi tekanan dari sekolah dan teman-teman lainnya kuputuskan untuk mengikuti Olimpiade mata pelajaran Kimia. Kebetulan Ibuku seorang guru kimia di SMAN 1 Pangkajene, namun tentu ditempat baruku aku tidak akan bisa belajar kimia dari ibuku.
            Usahaku belajar kimia sendiri sedikit menemukan titik terang setelah mengikuti Olimpiade Kimia Nasional di Universitas Gadjah Mada. Walaupun peringkatku sangat-sangat jauh dari harapan, namun aku berada pada urutan kedua diantara teman seangkatan yang juga ikut lomba tersebut. Tidak membanggakan memang, namun hasil itu cukup untuk guruku memilihku guna mengikuti pelatihan olimpiade atau biasa kami sebut Olimp-Camp di salah satu sekolah yang juga anak yayasan sekolahku yaitu Kharisma Bangsa Tangerang Selatan.
            Singkat cerita aku dilepas teman-temanku untuk mengikuti Olimp-Camp setelah merayakan ulangtahun pertamaku yang jauh dari orangtua. Walaupun sampai saat ini merayakan ulang tahun adalah hal yang tabu bagi ku, namun momen saat itu cukup mengungkapkan betapa ramahnya keluarga baruku di kelas 10A. Tesekkur ederim
            Selama masa Olimp-Camp, pikiranku terus melayang tidak jelas. Entah karena merasa tidak pantas dibandingkan kehebatan teman-teman  baru (lagi) yang kutemui, ataukah pelajaran-pelajaran yang tidak dapat kucerna langsung. Ataukah apa? Di hari yang kesekian aku drop, mengeluarkan segalanya dalam bentuk rengekan yang kucurahkan kepada orangtuaku didalam telepon genggam. Namun pembinaku saat itu meyakinkanku, bahwa saatnya untuk melanjutkan perjalanan.
            Tetap kulanjutkan masa pelatihanku hingga selesai, bahkan beberapa bulan kemudian untuk Olimp-Camp selanjutnya hingga ketiga dan keempat kutamati. Walaupun perkembanganku tidak begitu meyakinkan, namun cukuplah untuk mengantarkanku ke tingkat Provinsi Jawa Tengah. Sayangnya, persaingan di Jawa Tengah yang begitu ketat, apalagi peraturan bahwa hanya 2 delegasi yang dapat mewakili setiap sekolah maka setelah melihat pengumuman yang kutunggu-tunggu ketika berlibur di kampong halaman ternyata tidak kulihat namaku terpampang, Hanya ada nama teman seangkatanku yang memang sejak awal sangat prospektif ditambah adik kelasku yang pada akhirnya berhasil meraih Medali Perak ICho ( Int. Chemistry Olimpiad) 2 tahun beruntun. Hahah, penghargaan adik tingkatku sering kujadikan alasan mengapa aku kalah olehnya, karena jelas saja kemampuan dia telah terbukti sampai ketingkat internasional.
---


Tidak ada komentar:

Posting Komentar