Sabtu, 31 Desember 2016

[Last Part: Cerita Bonggol]

Menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan. Mengenang seminggu yang lalu, dikala suka dan duka kita lewati bersama. Juga sebagai penutup dari tahun spektakuler 2016. Welcome 2017

Close-up setelah upacara 


---

Gelap malam mulai digantikan cahaya yang terdifusi ke segala arah. Pagi menghampiri. Namun kami berempat masih setia menunggu aba-aba panitia untuk keluar dari bivak dan kemudian mengikuti instruksi selanjutnya. Dingin. Dinginnya dua malam terakhir yang kami berempat lalui, sama dengan dinginnya perasaan yang senang karena akan menyelesaikan yang harus diselesaikan, sekaligus meninggalkan sebuah kenangan yang tertanam terus hingga suatu masa kelak akan diceritakan kembali. 

Instruksi itu mangatakan untuk mengemasi peralatan dan berangkat menuju tujuan selanjutnya. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, aku bersyukur bahwa semalam tidak ada pem-bangun-an secara paksa untuk berkeliling di hutan. Doa yang kupanjatkan terus ketika terbangun karena dinginnya malam, ternyata terkabul. Barang-barang yang sedikit ini selesai kami kemasi, saatnya melanjutkan perjalanan.

Perberhentian pertama kami yaitu ditempat tim lain, dan bergabung menjadi satu tim (baru). Tas carrier yang kemarin kami serahkan ke panitia dikembalikan dan kami kenakan kembali dipunggung masing-masing walaupun bukan kepunyaan kami sendiri. Alhamdulillah, kami mendapatkan jatah sarapan. Syaratnya, kami harus menutup mata dan mengadahkan tangan kedepan. Ketika mendapatkan apa yang diberikan, kami disuruh hadap kanan dan mengunyah seluruh yang ada ditangan kami tanpa tersisa sedikitpun.

--

Pikiranku melayang pada Diklat dan Pelantikanku ketika masih di mapala sebelum ini. Kala itu, sebelum pelantikan kami diceburkan kedalam kolam berisi air yang sangat dingin hingga menyisakan kepala saja yang tak terendam. Saat itu, dengan menyanyikan nyanyian-nyanyian ibu pertiwi dan dengan mata tertutup kami diperintahkan menengadahkan tangan hingga sesuatu diletakkan di tangan kami. Kami mengira apa yang diletakkan pada tangan adalah sebuah kumpulan liur dari kakak-kakak tingkat yang berada di lokasi. Bagaimana tidak, semua panitia yang ada di sekitar berpura-pura meludah  mengeluarkan seluruh serak yang ada di tenggorakan. Pikiran kami melayang saat itu, karena mata kami tertutup dan tidak tahu apa yang benar-benar terjadi.

Dalam hitungan mundur, kami disuruh bergegas menyantap hidangan yang ada di tangan kami. Masih berfikir bahwa itu adalah kumpulan serak-ludah, tanpa banyak tanya dengan sejuta pikiran di otak langsung kami telan sesuatu yang berlendir ditangan kami. Hmmm rasanya campur aduk. Namun ternyata yang kami telan hanyalah telur mentah yang dicampur dengan serbuk kopi dan seekor kecebong. hahaha kami diberitahu setelah upacara pelantikan.

--

Kembali ke cerita.

Setelah kami diberikan sesuatu untuk dimakan, tanganku langsung "berpikir" cepat mengenai benda lonjong bulat yang dipegangnya. Otakku langsung mengatakan bahwa itu terong, makanan kesukaanku (tapi kalau digoreng atau disambel), namun mulutku berkata lain setelah benda itu kumasukkan dan kukunyah. Lezat sekali, ternyata sebuah pisang. Walaupun harus mengunyah seluruh buah dan kulitnya, namun masa bodoh, kami sedang kelaparan. Dilanjutkan seteguk air minum, segarrrr. Fisik kami kembali normal setelah 2 malam terakhir tidak menyentuh sesuatu yang mengenyangkan dan menyegarkan dalam arti sebenar-benarnya.

Sebelum menikmati burjo, yel-yel duluu
Perjalanan kami berlanjut dengan santai karena salah satu biji dalam tim kami sedang dalam kondisi drop. Lanjutan perjalanan memperoleh 2 kali pemberhentian untuk mendapatkan tambahan asupan gizi. Yang pertama kami mendapatkan sepotong roti selai dan yang kedua segelas burjo (bubur kacang ijo) yang masing-masing mendapatkan 1 bagian. Namun sepertinya akumulasi burjo yang kumakan hampir bernilai 2 gelas. Bagaimana tidak, teman-temanku kewalahan menghabiskan rejeki ini dengan alasan entah apa, padahal kemarin mereka merasakan kelaparan yang luar biasa, tidak bersyukur sekali wkwkw.



Perjalanan selesai dan kami seangkatan Arutedja dikumpulkan dalam suatu tempat sebelum upacara pelantikan dimulai. Kami bercerita banyak hal, memperbaiki yang harus diperbaiki, mengobati yang harus diobati, menertawai 5 hari kami, merenungkan yang telah terlewati, dan menghapalkan dan membuat lagu-lagu yang akan kami nyanyikan setelah upacara. Momen yang indah tentu saja, yang semoga kejelekan memori ingatanku tidak melupakannya.

Memasuki lapangan upacara
Momen itu kami usaikan dan berbaris yang rapi untuk menuju lokasi pelantikan. Masih dengan nomor urut satu, yang membuatku selalu menjadi yang pertama dalam rangkaian ini. Selalu mempertemukanku dengan Dekan Fakultas Geografi dalam upacara pembukaan dan penutupan. Dekan yang mengikat slayerku lebih banyak, semoga berkesan buatku. 






Lapor, nama alias Bonggol dengan nomor slayer satu, siap dilanttik menjadi anggota wiramuda.

Baris dengan rapi
Sial, sebelum dilantik masih saja harus laporan. Namun, 5 hari 4 malam cukup untukku akhirnya menghapalkannya tanpa mengulanginya pada kesempatan kedua atau ketiga. Dengan sedikit perubahan pada teks laporan, cukup dua kali saja bagiku mengulanginya tanpa hukuman. Itupun aku disuruh mengulangi laporan karena aku orang pertama yang sedang laporan, tentu harus menunjukkan semangat yang lebih besar dibanding teriakan laporan pertamaku. Sekuat mungkin laporan kuteriakkan, dan menghasilkan slayer orannye dengan nomor satu berubah menjadi slayer merah dengan tulisan anggota wiramuda.



Laporan, Siap Dilantik
Foto bersama Dekan Geografi menjadi yang istimewa buat seorang dengan nomor urut satu. Kemudian teman-temanku secara berurutan bergantian dilantik oleh alumni-alumni yang berbeda. Satu calon anggota dilantik satu alumni. Lama sekali prosesi penggantian slayer yang harus menunggu hingga biji ke 27. Kata alumni, biasanya prosesi ini tidak terlalu lama karena anggota jaman dulu paling hanya berapa orang. hahaha Angkatan kami memang sebuah rekor, semoga tidak berkurang biji-biji ini.

Bersama Pak Dekan


Upacara selesai, kami berkumpul membuat lingkaran dan menyanyikan apa yang seharusnya kami nyanyikan, menikmati momen-momen kemarin dan saat itu. Selepas itu, saatnya makan siang dengan menu nasi pecel. Kulahap dua bungkus nasi, nasinya berlebih sih. Tapi perutku tetap tidak mau kalah, buang air ke limaku kulaksanakan di basecamp utama panitia setelah berlari secepat mungkin melewati beberapa panitia dan berteriak sebisa mungkin dimana toiletnya, Akhirnya keluar semua, wkwkw.
Sebuah nyanyian sederhana

Perjalanan kami benar-benar selesai. Selepas membongkar barang-barang yang menjadi kepunyaan masing-masing, juga menghabiskan dagangan penthol rasa terigu sebelum menaiki truk, kami kembali ke Jogja dengan keadaan cemong dan hati yang bersedih karena 5 hari 4 malam sempurna betul membentuk kami sebagai keluarga Arutejda 34 GEGAMA UGM.

---

Perjalanan kami untuk 5 hari 4 malam mungkin telah selesai, namun itu hanyalah permulaan untuk kejutan-kejutan hebat selanjutnya untuk Fakultas Geografi UGM. 

Selamat tinggal 2016, dan yang terbaik untuk 2017.


[TAMAT]



Keluarga Baru GEGAMA UGM









Jumat, 30 Desember 2016

[Part IV: Cerita Bonggol]

"Tulis sendiri kata mutiaramu"
-Tulis Sendiri Namamu

---

Waktu kami untuk mengemas barang-barang dan membongkar bivak yang telah sempurna jadi hanya sepuluh menit. Dengan kerja tim yang solid, kami selesaikan semuanya dengan cepat walau beberapa barang tak terdeteksi keberadaannya. Kami berbaris dalam kegelapan, menunggu nama lapangan kami dipanggil satu persatu. 

BONGGOL!

Namaku dipanggil, bergegas, menaiki tanjakan yang gelap kucari sumber suara dan berbelok ke arah kiri mengikuti instruksi panitia. Tim (baru lagi) kami lengkap, 2 biji jantan dan 2 biji betina. Keperhatikan muka-muka lusuh yang akan menemaniku entah berapa malam kedepan, semoga mereka tidak terlalu merepotkan.

Sebelum menuju tempat peristirahatan, kami dibawa menuju Prasasti In Memoriam pendaki yang pernah hilang di lokasi yang akan kami tinggali. Kami di briefing, disemangati, diingatkan, jikalau malam itu adalah malam terakhir kami maka apa yang ingin kami sampaikan, apa yang ingin kami sampaikan kepada kedua orang tua kami, yang telah membesarkan dan menyayangi kami selama ini.

Walau harus menunggu beberapa menit karena pendamping kami lupa dimana tempat seharusnya kami menginap, akhirnya sampai juga di sebuah tempat antah-berantah. Kami harus merelakan semua barang-barang yang wajib disita dan hanya menyisakan sebagian kecil peralatan yang berguna, serta tanpa minuman dan makanan.

Badai terus mengoyak kawasan itu. Tempat bertemunya angin, kata temanku. Tempat yang memang terkenal akan angin kencangnya. Ditambah jatuhnya air hujan dengan sangat deras, membuat otak kami harus berpikir lebih keras, tangan kami yang harus bekerja lebih cepat untuk menyiapkan apa saja yang kami butuhkan untuk menginap di malam yang dingin itu.

Kedua biji betina yang kami peroleh masih terlalu manja, menurutku. Sebiji masih pilah-pilih barang yang harus digunakan, sebiji lagi masih sangat jauh dari kata mandiri. Dipikirannya (menurutku), tidak bergantung pada teman adalah hal yang baik. Namun bagiku, merepotkan adalah ketika kau tidak mau mendengar nasehat dan kemudian kau bener-benar sakit pada akhirnya. Mending ikuti nasehat temanmu, jangan paksakan dirimu, kami siap membantumu kapan saja, takkan kami biarkan nyawamu terbuang dengan percuma. Dan satu lagi, jangan banyak alasan untuk pilih-pilih sesuatu, nikmati saja sesuatu itu kalautidak kau kesulitan bertahan.

 [HARI KEEMPAT]

Kami melewati malam yang sangat menyiksa. Derasnya hujan dan kencangnya angin selalu menerobos bagian kaki kami. Apalagi posisiku dibagian pinggir yang langsung terkena genangan air. HUAW, sangat menyiksa. Namun masa bodoh, tetap kupejamkan mataku dengan posisi tidur senyaman mungkin, hingga cahaya pagi hari mulai membangunkan.

Hal pertama yang harus kelakukan, dan terpikirkan setelah aku sempurna bangun adalah BOKER. Sial, aku tetap diare dengan intensitas perut mules yang makin meningkat. Masih dengan senjata andalan yaitu parang (kali ini tanpa air karena kami tidak diberi air), kusisir semak yang tak terjamah kelompok lain. Kutemukan tempat yang pas, ritual yang sama seperti hari sebelumnya kulaksanakan. Belasan daun basah yang kucabuti menjadi saksi sejarah mereka digosokkan kepantatku agar bersih mengkilap. Ritual selesai,  saatnya kembali melanjutkan aktivitas.

Hari itu memang materi terkait survival, bagaimana caranya bertahan hidup dengan kondisi serba terbatas. Mulai dari cara menampung air di hutan, mencari makanan, membuat api, membuat bivak alami, serta berbagai materi yang berkaitan. Kami menampung air dari tetesan air yang jatuh pada lumut di sebuah pohon. Airnya cukup segar dan bersih, kami batasi pola minum kami agar airnya dapat bertahan selama mungkin. 

Setelah gagal menggunakan api dengan berbagai cara, akhirnya kami ditemani untuk mencari makanan. Kami menemukan banyak sekali buah yang tadi pagi sering kami temui. Buahnya ternyata dapat dimakan, takut sekali tadi pagi kami keracunan karena memakannya. Kami cari sebanyak mungkin buah seperti itu agar kekosongan di lambung dapat teratasi. Hei, kami menemukan beberapa buah strawberry hutan. Walaupun kecut, tentu saja dapat mengobati rasa rindu kami akan makanan "dunia". Hanya beberapa biji strawberry saja, tidak banyak.

Hari itu berjalan dengan sangat lambat dan penuh dingin. Kami lupa bahwa itu adalah hari jumat yang harusnya untuk lelaki menunaikan sholat jumat, namun bagaimana cara mendirikannya, ingat pun tidak, bersihpun tidak. Sudahlah, jumat itu kami lewati hanya dengan sholat dzuhur dilanjut ashar. Semoga Tuhan mengampuni kami.

Sore harinya, kukeluarkan isi perutku untuk keempat kalinya. Oralit dan diapet NR yang panitia bawa kuminum menggunakan sisa air lumut tampungan kami yang kuhabiskan hingga tetes terakhir. Belum sempurna gelap menyelimuti, kami malah sempurna bersarang pada bivak yang sudah kami pindahkan dan modifikasi sedemikian mungkin agar terhindar dari dinginnya air hujan dan badai di malam hari. Untung saja tidak ada kegiatan pada malam hari itu, itulah malam terpanjang kami yang hanya dihabiskan untuk tidur.

Kami terbangun untuk hari terakhir. Entah apa yang akan kami lalui setelah ini, pelantikan macam apa yang akan kami lewati. Ataukah seberapa susah jalan yang harus kami lalui sebelum benar-benar menyelesaikan perjalanan ini. Entahlah, mungkin butuh ruang yang berbeda untuk menuliskannya.

---

Sejujurnya ingin kutuliskan ceritaku bersama Randu pada bagian ini, namun entah mengapa kulupakan begitu saja cerita-cerita bersama Randu, bersamaan dengan kulupanya janjiku yang selalu Randu tagih untuk membayarinya makan di warung SS, warung yang kami impikan setelah melewati "kesenangan" ini. Terima kasih Randu, akan raungan melodi indah yang kau dengarkan kepada kami.
Ohuwowoowoo Uhowowooowooowo


Bersambung...

Kamis, 29 Desember 2016

[Part III: Cerita Bonggol]

Setelah bangun, mandi, buka laptop, mejeng facebook instagram line, nonton film, baca buku, sholat, makan, boker, dan kembali tidur. Tidak ada aktivitas andalan yang dapat dilakukan di masa liburan seperti sekarang. Terlebih lagi ketika teringat masa perjuangan minggu lalu. Benar juga, dari pada nganggur, mending kulanjutkan ceritaku. Kali ini melanjutkan apa yang seharusnya dilanjutkan.

---

"Bedakan antara membantu dengan memanjakan teman"
-Mas-mas Pendamping di Malam Pertama

[Hari Ketiga]

Adzan subuh selesai berkumandang bersamaan dengan gerakan tanganku yang cekatan mengubur aib yang kukeluarkan dalam kegelapan. Dengan bekal sebotol air, parang dan senter, kutelusuri semak-belukar yang sekiranya jauh dari peradaban bivak tim lain dan basecamp panitia. Setelah puas mengeluarkan semuanya, aku kembali ke bivak tim kami sambil memperhatikan sekeliling, bertebaran kayu-kayu pohon yang siap dipotong-potong. Sial, kutemukan sebuah cangkul. Tau gitu kenapa harus bersusah-susah menggali dan mengubur mengunakan parang. Biarlah, mungkin suatu saat cangkulnya dapat berguna. 

Aku kembali tidur dengan posisi berdesakan, kutempati saja bagian kaki yang kosong. Tidur melintang dibawah kaki-kaki bau. Ada yang menendang-nendang kepalaku, ada juga yang menaikkan kedua kakinya diperutku, untung saja kaos kaki mereka sudah dilepaskan sebelum tidur. Tak bisa kubayangkan rasanya kaki-kaki yang terbungkus kain apak bercampur beceknya tanah dan air hujan yang belum diganti selama 2 hari. Mataku terpejam, lalu kembali terjaga setelah hitungan mundur sepuluh diteriakkan panitia yang datang. 

Sial, tambahan 1 bungkus beras lagi. Total ada 5 bungkus beras yang kami simpan. Semalam kami tidak memasak beras. Jadi kami harus berpikir ulang bagaimana memanajemen 5 bungkus beras ini untuk 2 kali makan. Sebenarnya gampang saja jika semua beras ini dimasak, tidak ada salahnya. Lagian kami memang sedang mendambakan makanan yang mengenyangkan dan berkalori tinggi. Sayangnya masalah dari kemarin adalah susahnya paraffin untuk terbakar. Butuh berbatang-batang parafin untuk memulai sebuah api yang benar-benar membara, belum lagi mentransfer apinya ke paraffin lain agar api terus menyala dan menanak nasi. Untung saja banyak ranting-ranting kecil yang dapat terbakar, cukup membantu tanakan nasi ku. 

Dua kompor yang kami gunakan untuk menanak nasi menghasilkan hasil yang berbeda. Tanakan nasiku menghasilkan nasi yang pulem dibagian bawah dan agak keras dibagian atas sedangkan tanakan satunya menghasilkan bubur yang kaya akan rasa beras. Ingat, kami memasak untuk makan pagi dan siang. Sehingga kami akan membungkus sebagian masakan kami pagi ini untuk kemudian dimakan di siang hari.

Sialnya, teman-temanku mengajukan untuk memakan bubur beras untuk sarapan sedangkan nasi yang pulem disimpan untung siang. Dugaanku tepat, kami tidak mendapatkan nasi yang kami buat sendiri melainkan jatah nasi dari kelompok lain (lagian kelompok kembali diubah). Berkat bubur beras yang kami nikmati dengan mie kuah sayur dan ikan sarden, sempurna membuatku buang air untuk kedua kalinya,

Kali ini kubawa sebotol air saja, aku hapal kemana aku harus berpetak umpet. Otakku mengatakan gunakan saja cangkul yang kutemukan sebelumnya. Benarkan, cangkul itu berguna sekarang. Tidak beruntung, tempat berhajat pagi-pagi buta tadi ternyata sangat dekat dengan bivak tim lain. Dengan pandangan yang terang benderang pagi ini, mereka dengan mudah melihatku. Kucari posisi yang berbeda, agak sedikit jauh. Sempurna, kali ini mereka tidak melihatku lagi. SOP (Standard Operational Prosedure) Buang Hajar di hutan kulakukan satu persatu dengan teliti. Kuusakan kali ini yang terakhir, jangan sampai rasa ingin ini terus terasa. Jangan sampai.
  
Aku nyaman di dalam hutan

Itu yang teman-teman katakan padaku. Kata mereka, jika kita berhasil buang air besar di "rumah" orang lain maka artinya kita nyaman di "rumah" itu. Aku senang bahwa aku nyaman di "rumah" (hutan) ini, namun sepertinya momennya sangat tidak pas. Terlebih, definisi nyaman ini sepertinya sangat tidak menguntungkan kapanpun, momen apapun, dan di hutan manapun. 

Perjalanan berlanjut, di hari ketiga ini kami melanjutkan navigasi darat yang kemarin sedikit banyak tersendat karena kabut. Kali ini kabut tidak menghantui pagi kami, kami mulai menembak beberapa puncak yang telah kami ketahui melalui orientasi medan (ormed). Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan mengikuti pendamping, masih sambil memperhatikan medan yang kami lewati.

Kabut dan badai mulai menghantui setelah kami selesai sholat dzuhur yang digabung ashar sekaligus makan siang dengan hidangan nasi setengah beras dicampur gurihnya sarden. Diareku masih saja menyerang, ditambah lagi gurih-gemurih beras dan pedasnya cabe sarden menambah desakan mules perutku. Hm, teman se-tim (baru lagi) ku juga tidak mau menghabiskan gurih beras. Dengan terpaksa kumasukkan saja kedalam perutku, apapun resikonya. Resikonya jelas, 6 biji norit adalah saksi diareku.

Kami berada di ketinggian. Puncak yang agak landai harus ditaklukkan untuk menuju pemberhentian selanjutnya. Derasnya badai, (di dalam hati aku selalu bergumam "oh ini yang namanya badai"), terus mengikuti. Tingginya ilalang yang harus di sabit dengan parang, serta curamnya jurang dikanan-kiri yang menganga lebar. Ya, akhirnya kami berhenti di hutan yang sangat lebat dan mulai mendirikan bivak untuk malam selanjutnya.

Panitia ternyata sedang bercanda, tim ku sempurna benar telah membuat bivak yang bagus dan aman. Aku sampai harus sedikit berdiam menahan ego, karena ketika hendak menggunakan parang, hampir saja parangnya terlempar kearah temanku. Aku syok, berhenti bekerja. Namun ketika semua temanku sempurna masuk kedalam bivak, tinggal aku sendirian diluar. Panitia tiba-tiba datang dan menyuruh segera beres-beres untuk meninggalkan tempat ini.

Nama kami dipanggil satu persatu, menyisakan 4 orang berbeda setiap tim. Perjalanan survival kami untuk 2 malam selanjutnya dimulai saat itu, setelah berhening cipta di In Memoriam 2 pendaki senior yang "hilang". Kami siap melaksanakan survival dengan keadaan dan peralatan serba terbatas dan dibatasi.

Bersama Randu, perjalananku untuk 2 malam berikutnya akan berlanjut.


Bersambung....

---

Liburan masih panjang.......

Rabu, 28 Desember 2016

[Part II: Cerita Bonggol]


Sebelumnya, perkenalkan nama lapanganku Bonggol. Sepertinya kata itu berasal dari bahasa Jawa yang hingga sekarang entah apa arti sebenarnya. Ada 2 versi arti kata Bonggol yang kutemukan dari 2 teman yang berbeda. Versi yang pertama mengatakan Bonggol itu Telo yang padat, sedangkan versi satunya lagi mengatakan Bonggol itu pucuk tunas segala tanaman. Entahlah, tak ada niatan untuk menanyakan ke mbah Gugel mengenai arti Bonggol sebenarnya.

Nama lapangan adalah nama yang akan terus tertandai sebagai identitas kami, hingga kelak nanti sampai kapanpun. Di lapangan, kami diwajibkan menggunakan nama lapangan dan memanggil teman-teman yang lain dengan nama lapangan masing-masing. Sangat susah bagiku yang mempunyai ingatan jangka pendek yang buruk untuk menghapal nama-nama baru yang tersematkan ke kami. Jangankan nama lapangan, nama asli dari kami semua saja sangat susah kuhapalkan. Butuh upaya yang keras dan beberapa candaan yang garing untuk menghapalkan nama-nama mereka. Namaku saja sering kulupai.

Nama aliasku Bonggol, dengan nomor urut satu. Calon Anggota Wiramuda Diklatsar 34 Gegama, siap mengikutiiiiiiiiiiiiiii, eh kok malah laporan. Nomor urutku, nomor keramat yang selalu mempertemukanku dengan Dekan Fakultas Geografi ketika upacara pembukaan dan pelantikan. Nomor keramat yang juga selalu mendebarkan lubang pantat ku karena harus menjadi yang pertama untuk melakukan laporan remeh temeh yang melatih mental. Padahal aku selalu salah dikesempatan pertama. Aku lebih senang berada di tengah-tengah tim ketika sedang melakukan laporan, kuulangi dengan suara pelan terlebih dahulu mengikuti temanku yang sedang laporan. Walaupun tetap tak berhasil hingga kesempatan kedua bahkan ketiga. Setidaknya minimal 1 seri untuk kesalahan tiap laporan.

Hal yang menarik lainnya dalam rangkaian ini adalah tidak boleh menggunakan bahasa daerah, katanya. Kuartikan bahasa daerah disini yaitu bahasa yang tidak dimengerti orang non daerah. Bagaimana tidak, kata "jeglongan" yang merupakan bahasa Jawa dari kata "Lubang" berulang kali kami ulangi dan tidak menghasilkan hukuman bahkan teguran. Panitia pun berulang kali menggunakan kata "Tak" yang berarti "Ku-" (contoh: tak ambil=kuambil) yang tentu saja termasuk bahasa daerah. Namun definisi bahasa daerah ternyata bahasa sehari-hari yang tak akan dimengerti orang non-daerah.

Kasihannya, ada beberapa teman yang selalu menggunakan bahasa Jawa sehari-hari ketika beraktivitas disekitar panitia dan selalu mendapat teguran dan hukuman karena kecoplosan, karena memang kesehariaannya masih menggunakan bahasa Jawa, susah katanya untuk tidak berbahasa Jawa. Sengon dan Rendeng, yang sama-sama berasal dari Surakarta masih sering kecoplosan menggunakan bahasa daerah. Sialnya, karena perbedaan gender Sengon selalu dihukum dengan 1 seri push-up setiap kecoplosan sedangkan Rendeng hanya diteriaki dan dimaki untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia. Lebih sialnya mereka tetap mengulangi kesalahan yang sama dan berulang terus menerus dimaki dan dihukum. 

Sudah cukup, pengantar untuk cerita selanjutnya. Saksikan saja besok....

Selasa, 27 Desember 2016

[Part I: Cerita Bonggol]



"Biarkan aku saja yang merasakannya, kalian jangan. Dengarkan dengan seksama apa yang kuceritakan, cukup dengarkan dan petik hikmahnya"

-Anonim

 ---

Perjalanan terus berlanjut. Mempertemukanku dengan banyak sekali keluarga baru. Orang-orang baru, dari latar belakang yang benar-benar baru. Aku hanya berbeda beberapa tahun saja, atau mungkin beberapa bulan. Sedikit pengalaman jam terbang yang kupunya setidaknya harus bermanfaat untuk kalian.

Sebuah titik dimana 5 hari 4 malam kita habiskan bersama, 27 punggawa Arutedja. Arutedja yang berasal dari 3 kata sanskrit yaitu ardi, utyana dan tedja yang berurutan berarti gunung, hutan dan cahaya. Secara filosofis (penulis), Arutedja berarti cahaya yang menyinari alam raya. Arutedja yang bersinar terang di kawasan Gunung Lawu dalam seminggu terakhir mengantarkanku bertemu dengan keluarga baru (lagi).

Titik itu bermula kala hari minggu dimana seharusnya ulangtahun kampus kami rayakan, namun kami diwajibkan mengikuti sebuah rangkaian guna mengikat benang-benang yang terpisah. Pengikatan benang-benang itu dimulai dengan pembagian nama lapangan kepada kami, yang dilanjutkan dengan sesi games-games yang melatih kekompakan. Sayang, kami yang awalnya berjumlah 28 biji harus berkurang sebiji karena suatu hal.

Maka 27 biji (biji: merujuk nama lapangan kami yang berhubungan dengan tumbuhan, entah apa artinya) dari kami memulai petualangan dan berkumpulkan mengatur strategi bersama didepan ikon kampus, Gedung Rektorat. Strategi yang picik tentu saja, yang tidak akan diceritakan disini, namun sangat membantu untuk keberlangsungan hidup kami kelak (dilapangan) wkwkw.

Setelah serangkaian screening peralatan yang menghasilkan ribuan hukuman karena keteledoran bersama, akhirnya kami mulai berangkat pukul 4 sore menuju lokasi menggunakan truk.

Sekitar pukul 9 malam truk berhenti, petualangan kami untuk 4 malam 5 hari kedepan dimulai.

[Malam Pertama]

Sial, memori jangka pendekku yang jelek mengharuskan ku terus meraba-raba kalimat laporan yang harus terus diteriakkan di malam pertama. Malam yang tidak kusenangi. Perjalanan yang super jauh diiringi kerasnya badai yang terus berembus, ditambah kalimat-kalimat tidak penting yang tak kunjung berhasil kuhapal dalam kesempatan pertama. Akhirnya entah pukul berapa saat itu, saatnya berhenti dan mempersiapkan bivak dan makan malam.

Duh, ternyata tidak satupun dari kami telah menunaikan ibadah. Setelah bivak jadi, dan makanan setengah matang dan mentah kami lahap, kuposisikan diriku dalam posisi senyaman mungkin menghadap keatas dan mulai memejamkan mata. Hei, sudah kubilang kan sebelumnya, aku belum beribadah. Kupaksakan diriku membuka kelopak mata dan mulai bertayammum. Allahu Akbar, Allahu akbar. Kumulai tiga rakaat sholat magrib dan 2 rakaat sholat isya, namun belum selesai salam, sepertinya kesadaranku menghiilang. Kubangun lagi, bertayammum lagi, Allahu Akbar, kesadaranku hilang lagi. Entah hampir tiga kali kulakukan hal yang sama, bahkan sampai harus terbawa ke alam mimpi. Namun entah selesai atau tidak selesai, aku sudah terbangun kembali dalam keadaan langit yang sudah membiru terang. YaALLAH ampunilah hamba-Mu jika malam itu kulewatkan tanpa beribadah hingga selesai.

[Hari Kedua]

Karakter-karakter teman yang selama satu semester belum terlihat akhirnya terlihat hanya dalam waktu semalam. Hebat betul si alam, membuka seluruh jeruji-jeruji yang masing-masing orang tutupi dari orang lain. Alam memperlihatkanku, karakter-karakter kami yang ada di dalam tim semalam. Mulai dari diriku yang entahlah kulihat seperti apa, namun kuartikan sendiri bahwa "Sangat Sensitif ketika Baru Bangun Tidur". Ada juga yang ternyata cerewetnya setengah mati, ataupun dia yang masih egois membantu mengurangi beban yang ada didalam tas teman (tidak peka lah ya).

Sejak pagi, kabut terus terkonsentrasi, sangat pekat. Padahal materi yang kami jalani dihari ini adalah Navigasi Darat. Kami harusnya menembak objek-objek disekitar dengan kompas dan memperhatikan sekeliling, sayang, kabut begitu tidak berbaik hati. Akhirnya kami hanya diberi tahu posisi yang harus kami plotting dan melanjutkan perjalanan dengan mengikuti pendamping.

Yang kusuka hari ini adalah tidak perlu mengeluarkan energi terlalu banyak untuk menghapal remeh temeh kalimat laporan yang masih sulit kuteriakkan. Cukup ikuti pendamping, hapal jalur apa saja yang telah dilewati, tedeng, selesai, cukup mudah. Ya walaupun harus dihukum beberapa kali karena beberapa barang harus terjatuh di tempat-tempat yang tidak kami kira.

Perjalanan selesai tepat ketika adzan magrib berkumandang. Langkah kami cukup santai karena salah satu dari tim kami mengalami cedera pada tempurung lutut kanannya. Ditambah diareku yang mulai memaksa untuk dikeluarkan. Tim di hari ini yaitu orang-orang yang berbeda dari tim sebelumnya, berisi 2 biji jantan yang membuat bivak dan 4 biji betina yang berkutat dengan bumbu dapur. BIvak selesai, mie instan juga selesai.

Sebenarnya banyak sekali bahan makan yang diberikan kepada kami. Kami diberi persediaan untuk makan tiga kali. Malam ini, besok pagi dan siang. Kami disuruh memasak untuk makan siang sekaligus dengan alasan akan berjalan sangat jauh esok hari, yasudah besok pagi saja dipikirkan. Tapi karena paraffin yang sangat sulit terbakar, sehingga malamnya kami memutuskan untuk bersantap hanya dengan mie instan plus mie dan sedikit sayur. Itu saja telah menambah daya dorong lambungku untuk mengeluarkan isi-isinya.

Kuputuskan mengeluarkan isi lambungku persis ketika adzan subuh terdengar dari bivak kami yang berdesakan. Gila aja, sesak sekali bivak yang kami buat. Kesesakan itu yang menghambatku untuk buang air ketika malam masih panjang, susah untuk bergerak. Hingga akhirnya adzan subuh berkumandang dengan syahdu, menemaniku mengeluarkan apa yang bisa kukeluarkan, mumpung masih gelap dan tak dilihat oleh orang-orang. Buang air besar pertamaku. Lega rasanya, dugaanku untuk dapat melanjutkan perjalanan dengan tenang semoga benar.

---

Lalu apakah dugaanku akan ketenangan perjalanan selanjutnya benar? Lalu perjalanan panjang seperti apa yang esoknya dijalani? Apakah tidak ada babi seukuran mio yang kami temui? Hahaha maap-maap intinya tunggu aja Part II nya.

Bersambung.

Minggu, 11 Desember 2016

[TERUNTUK KALIAN SEMUA]


Aku tidak ingin kaya. Aku hanya ingin hidup. Aku ingin melihat banyak tempat... Aku ingin menghirup seribu satu bau kehidupan.”
― Seno Gumira Ajidarma


Kehidupan SD dan SMP ku ketika masih di Pangkep, membawaku menuju perantauan. Sebuah titik awal, dari sekian kali kerutan dikeningku muncul. Kerutan untuk semua mimpi-mimpi hebat yang hingga saat ini masih menjadi mimpi. Hei, aku mengkhatamkan pulau Jawa dalam 3 tahun pertamaku (dan kulengkapi lagi 2 tahun setelahnya). Tiga tahun pertama, benar-benar memperlihatkanku dunia sesungguhnya. Pengalaman berburu ilmu di beberapa kota besar di pulau Jawa. Pengalaman menyaksikan lukisan alam titisan surga. 

Modal besar yang kudapatkan semasa SMA membawaku menuju pintu gerbang kehidupan yang nyata, kehidupan yang kelak akan kujalani.

Tidak tanggung-tanggung, jurusan terbaik dari universitas terbaik. Aku diterima. Betapa bangganya orang-orang disekitar terhadapku. Tapi, apakah aku juga bangga?

Selama menjalani proses akademik tidak sedetikpun aku bangga. Saat memperkenalkan diri di berbagai forum, saat kembali ke kampung halaman dan ditanyai teman lama, untuk bercerita tentang jurusanku, biasa saja rasanya. Mungkin karena aku dibesarkan tidak dengan rasa kebanggaan yang berlebih, tapi jujur aku merasakan hal sebaliknya, tertekan. Aku tidak menemukan jati diriku di dalam kelas, hilang, pikiranku selalu terbang entah kemana. Aku selalu berusaha berpikir positif mengenai jurusan hebat ini. 

Kata mereka (teman sesama anggota UKM Kampus) jurusanku luar biasa banyak dicari perusahaan-perusahaan. Tentu saja, itu sebabnya aku ingin sekali bergabung ketika diakhir masa SMA, mengalahkan teman sekolahku, lulus tanpa tes. Bahkan kata dosenku ketika hari pertama, 1 bangku yang kami duduki mengalahkan 50 lebih anak Indonesia yang bermimpi meraih kesuksesan, diperusahaan-perusahaan hebat dengan gaji tinggi, melalui tempat ini.

Seiring berjalannya waktu, idealisme mengenai gaji-gaji tinggi kelak ketika lulus luntur begitu saja dari pikiranku. Ada yang salah dengan pilihanku kemarin, 4 semester ku tidak memberikan apa-apa. Melalui kegiatan-kegiatan yang kuikuti diluar akademik, aku sadar bahwa duniaku yang sekarang bukanlah duniaku seharusnya. Apa yang kuhadapi sekarang tidak akan bersinggungan langsung dengan mimpi-mimpi ku ketika masih bocah ingusan. Dan keterpaksaan yang kujalani tidak akan berarti bagiku dan orang lain jika memang tetap terpaksa. Aku mulai melihat dunia bukan sebagai seorang materialis yang ingin uang sebanyak mungkin, kulihat dunia lebih dari itu.

Selama 2 tahun menggali-gali kembali keinginanku yang terpendam, aku tetap belajar dengan giat dikampus walaupun dengan nilai yang pas-pasan. Bukan pas-pasan sih, tapi sangat jelek. Namun diakhir tahun keduaku akhirnya kutemukan sebuah hidayah, sebuah tempat yang menurutku akan sangat cocok dengan orientasiku kelak sebagai sebenar-benarnya manusia dan bisa mengantarkanku menjelajahi dunia dalam arti sebenarnya, tepat seperti mimpiku.

Aku (kembali) diterima di jurusan berbeda pada universitas yang sama. Sebuah tempat yang jauh berbeda dengan yang kemarin. Pasti dalam hati kalian sekarang bertanya-tanya memangnya seberapa bagus prospeknya kedepan. Orang-orang yang berada disini saja masih sering minder dengan jurusan mereka, passing-grade rendahlah inilah itulah, sering dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang. Toh, kalau aku ingin prospek yang menjanjikan mengapa aku harus pindah haluan? Makanya dengan kepala yang terangkat kulawan semua argumen teman dan kakak tingkat yang masih minder. Kita jurusan yang hebat.

Belum selesai semester pertamaku, aku sempurna betul mencintai tempat baruku. Tempat dimana aku dapat belajar banyak hal, apapun dan dimanapun diriku, entah sedang kuliah, sedang jalan-jalan, sedang baca buku, sedang menonton, aku merasa setiap tarikan nafasku sangat berarti sebagai sebuah ilmu pengetahuan. 

Tulisan ini tidak menggurui, ataupun mengajak kalian beramai-ramai untuk berpindah jurusan. Namun, kaki yang berjalan di jalan yang benar akan menemukan langit biru yang indah, kerutan di keningku yang semakin kusut tidak ada artinya lagi. 
Karena jurusan yang kalian pilih tidak akan menentukan nasib kalian kelak, mau kaya ataupun miskin nantinya. Namun mengikuti apa kata hati kalian akan mengantarkan seonggok daging yang hanya punya nama menjadi manusia yang tepat dan berguna bagi orang lain.

Doaku untuk kalian.
Yogyakarta, 11 Desember 2016

AHMAD FIKRI




Sabtu, 03 Desember 2016

-Kata yang Tak Tersampaikan-

Kepalaku dipenuhi oleh jutaan kata yang tak tersampaikan
Berminggu-minggu sudah jemariku berhenti mengetik entah mengapa
Lantas, ketika ku menengok ke sebelah kanan ke arah tembok kamarku yang bertuliskan "Kepala Dua Lalu Apa?" apakah karena itu?

Rekor buku yang kuhabiskan dalam satu bulan ada pada bulan November kemarin
Begitu Spesial-kah bulan kemarin?
Ataukah jutaan kata itu yang menstimulus mataku untuk menemukan mereka disetiap halaman buku?
Kemudian membayangkan mereka, membayangkan untuk mencoba merangkai namun tak pernah terangkai?

Puluhan buku yang kubeli, tumpukan catatan-catatan kecil di dinding meja belajar, dan foto-foto yang baru saja kupajang bisa jadi menjadi saksi kebejatanku beberapa kurun waktu ini?
Lalu pantas kah aku?
Siapakah aku?

Aku selalu bermimpi agar dapat menaklukkan dunia
Cukup sendiri saja
Biarkan aku menemukan arti kehidupanku
Melalui proses-proses yang akan ku hadapi

Dirimu yang belum kutahu cukup berdiam 
Berdiam diri saja hingga kita dipertemukan
Ataukah kamu mau ikut denganku menjelajahi dunia?
Menjelajahi dalam arti sebenarnya

Karena aku akan memulai
Harus memulai dari diriku sendiri
Kemudian orang-orang terdekatku
Kemudian Negaraku, Agamaku, dan Dunia

Dan aku membutuhkanmu
Mendorongku dari belakang
Sekaligus berjalan bersamaku
Bersisian menghadapi dunia 


Yogyakarta, 3 Desember 2016
Di malam yang sunyi, dingin dan membingungkan

AHMAD FIKRI