Rabu, 28 Desember 2016

[Part II: Cerita Bonggol]


Sebelumnya, perkenalkan nama lapanganku Bonggol. Sepertinya kata itu berasal dari bahasa Jawa yang hingga sekarang entah apa arti sebenarnya. Ada 2 versi arti kata Bonggol yang kutemukan dari 2 teman yang berbeda. Versi yang pertama mengatakan Bonggol itu Telo yang padat, sedangkan versi satunya lagi mengatakan Bonggol itu pucuk tunas segala tanaman. Entahlah, tak ada niatan untuk menanyakan ke mbah Gugel mengenai arti Bonggol sebenarnya.

Nama lapangan adalah nama yang akan terus tertandai sebagai identitas kami, hingga kelak nanti sampai kapanpun. Di lapangan, kami diwajibkan menggunakan nama lapangan dan memanggil teman-teman yang lain dengan nama lapangan masing-masing. Sangat susah bagiku yang mempunyai ingatan jangka pendek yang buruk untuk menghapal nama-nama baru yang tersematkan ke kami. Jangankan nama lapangan, nama asli dari kami semua saja sangat susah kuhapalkan. Butuh upaya yang keras dan beberapa candaan yang garing untuk menghapalkan nama-nama mereka. Namaku saja sering kulupai.

Nama aliasku Bonggol, dengan nomor urut satu. Calon Anggota Wiramuda Diklatsar 34 Gegama, siap mengikutiiiiiiiiiiiiiii, eh kok malah laporan. Nomor urutku, nomor keramat yang selalu mempertemukanku dengan Dekan Fakultas Geografi ketika upacara pembukaan dan pelantikan. Nomor keramat yang juga selalu mendebarkan lubang pantat ku karena harus menjadi yang pertama untuk melakukan laporan remeh temeh yang melatih mental. Padahal aku selalu salah dikesempatan pertama. Aku lebih senang berada di tengah-tengah tim ketika sedang melakukan laporan, kuulangi dengan suara pelan terlebih dahulu mengikuti temanku yang sedang laporan. Walaupun tetap tak berhasil hingga kesempatan kedua bahkan ketiga. Setidaknya minimal 1 seri untuk kesalahan tiap laporan.

Hal yang menarik lainnya dalam rangkaian ini adalah tidak boleh menggunakan bahasa daerah, katanya. Kuartikan bahasa daerah disini yaitu bahasa yang tidak dimengerti orang non daerah. Bagaimana tidak, kata "jeglongan" yang merupakan bahasa Jawa dari kata "Lubang" berulang kali kami ulangi dan tidak menghasilkan hukuman bahkan teguran. Panitia pun berulang kali menggunakan kata "Tak" yang berarti "Ku-" (contoh: tak ambil=kuambil) yang tentu saja termasuk bahasa daerah. Namun definisi bahasa daerah ternyata bahasa sehari-hari yang tak akan dimengerti orang non-daerah.

Kasihannya, ada beberapa teman yang selalu menggunakan bahasa Jawa sehari-hari ketika beraktivitas disekitar panitia dan selalu mendapat teguran dan hukuman karena kecoplosan, karena memang kesehariaannya masih menggunakan bahasa Jawa, susah katanya untuk tidak berbahasa Jawa. Sengon dan Rendeng, yang sama-sama berasal dari Surakarta masih sering kecoplosan menggunakan bahasa daerah. Sialnya, karena perbedaan gender Sengon selalu dihukum dengan 1 seri push-up setiap kecoplosan sedangkan Rendeng hanya diteriaki dan dimaki untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia. Lebih sialnya mereka tetap mengulangi kesalahan yang sama dan berulang terus menerus dimaki dan dihukum. 

Sudah cukup, pengantar untuk cerita selanjutnya. Saksikan saja besok....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar