Kamis, 29 Desember 2016

[Part III: Cerita Bonggol]

Setelah bangun, mandi, buka laptop, mejeng facebook instagram line, nonton film, baca buku, sholat, makan, boker, dan kembali tidur. Tidak ada aktivitas andalan yang dapat dilakukan di masa liburan seperti sekarang. Terlebih lagi ketika teringat masa perjuangan minggu lalu. Benar juga, dari pada nganggur, mending kulanjutkan ceritaku. Kali ini melanjutkan apa yang seharusnya dilanjutkan.

---

"Bedakan antara membantu dengan memanjakan teman"
-Mas-mas Pendamping di Malam Pertama

[Hari Ketiga]

Adzan subuh selesai berkumandang bersamaan dengan gerakan tanganku yang cekatan mengubur aib yang kukeluarkan dalam kegelapan. Dengan bekal sebotol air, parang dan senter, kutelusuri semak-belukar yang sekiranya jauh dari peradaban bivak tim lain dan basecamp panitia. Setelah puas mengeluarkan semuanya, aku kembali ke bivak tim kami sambil memperhatikan sekeliling, bertebaran kayu-kayu pohon yang siap dipotong-potong. Sial, kutemukan sebuah cangkul. Tau gitu kenapa harus bersusah-susah menggali dan mengubur mengunakan parang. Biarlah, mungkin suatu saat cangkulnya dapat berguna. 

Aku kembali tidur dengan posisi berdesakan, kutempati saja bagian kaki yang kosong. Tidur melintang dibawah kaki-kaki bau. Ada yang menendang-nendang kepalaku, ada juga yang menaikkan kedua kakinya diperutku, untung saja kaos kaki mereka sudah dilepaskan sebelum tidur. Tak bisa kubayangkan rasanya kaki-kaki yang terbungkus kain apak bercampur beceknya tanah dan air hujan yang belum diganti selama 2 hari. Mataku terpejam, lalu kembali terjaga setelah hitungan mundur sepuluh diteriakkan panitia yang datang. 

Sial, tambahan 1 bungkus beras lagi. Total ada 5 bungkus beras yang kami simpan. Semalam kami tidak memasak beras. Jadi kami harus berpikir ulang bagaimana memanajemen 5 bungkus beras ini untuk 2 kali makan. Sebenarnya gampang saja jika semua beras ini dimasak, tidak ada salahnya. Lagian kami memang sedang mendambakan makanan yang mengenyangkan dan berkalori tinggi. Sayangnya masalah dari kemarin adalah susahnya paraffin untuk terbakar. Butuh berbatang-batang parafin untuk memulai sebuah api yang benar-benar membara, belum lagi mentransfer apinya ke paraffin lain agar api terus menyala dan menanak nasi. Untung saja banyak ranting-ranting kecil yang dapat terbakar, cukup membantu tanakan nasi ku. 

Dua kompor yang kami gunakan untuk menanak nasi menghasilkan hasil yang berbeda. Tanakan nasiku menghasilkan nasi yang pulem dibagian bawah dan agak keras dibagian atas sedangkan tanakan satunya menghasilkan bubur yang kaya akan rasa beras. Ingat, kami memasak untuk makan pagi dan siang. Sehingga kami akan membungkus sebagian masakan kami pagi ini untuk kemudian dimakan di siang hari.

Sialnya, teman-temanku mengajukan untuk memakan bubur beras untuk sarapan sedangkan nasi yang pulem disimpan untung siang. Dugaanku tepat, kami tidak mendapatkan nasi yang kami buat sendiri melainkan jatah nasi dari kelompok lain (lagian kelompok kembali diubah). Berkat bubur beras yang kami nikmati dengan mie kuah sayur dan ikan sarden, sempurna membuatku buang air untuk kedua kalinya,

Kali ini kubawa sebotol air saja, aku hapal kemana aku harus berpetak umpet. Otakku mengatakan gunakan saja cangkul yang kutemukan sebelumnya. Benarkan, cangkul itu berguna sekarang. Tidak beruntung, tempat berhajat pagi-pagi buta tadi ternyata sangat dekat dengan bivak tim lain. Dengan pandangan yang terang benderang pagi ini, mereka dengan mudah melihatku. Kucari posisi yang berbeda, agak sedikit jauh. Sempurna, kali ini mereka tidak melihatku lagi. SOP (Standard Operational Prosedure) Buang Hajar di hutan kulakukan satu persatu dengan teliti. Kuusakan kali ini yang terakhir, jangan sampai rasa ingin ini terus terasa. Jangan sampai.
  
Aku nyaman di dalam hutan

Itu yang teman-teman katakan padaku. Kata mereka, jika kita berhasil buang air besar di "rumah" orang lain maka artinya kita nyaman di "rumah" itu. Aku senang bahwa aku nyaman di "rumah" (hutan) ini, namun sepertinya momennya sangat tidak pas. Terlebih, definisi nyaman ini sepertinya sangat tidak menguntungkan kapanpun, momen apapun, dan di hutan manapun. 

Perjalanan berlanjut, di hari ketiga ini kami melanjutkan navigasi darat yang kemarin sedikit banyak tersendat karena kabut. Kali ini kabut tidak menghantui pagi kami, kami mulai menembak beberapa puncak yang telah kami ketahui melalui orientasi medan (ormed). Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan mengikuti pendamping, masih sambil memperhatikan medan yang kami lewati.

Kabut dan badai mulai menghantui setelah kami selesai sholat dzuhur yang digabung ashar sekaligus makan siang dengan hidangan nasi setengah beras dicampur gurihnya sarden. Diareku masih saja menyerang, ditambah lagi gurih-gemurih beras dan pedasnya cabe sarden menambah desakan mules perutku. Hm, teman se-tim (baru lagi) ku juga tidak mau menghabiskan gurih beras. Dengan terpaksa kumasukkan saja kedalam perutku, apapun resikonya. Resikonya jelas, 6 biji norit adalah saksi diareku.

Kami berada di ketinggian. Puncak yang agak landai harus ditaklukkan untuk menuju pemberhentian selanjutnya. Derasnya badai, (di dalam hati aku selalu bergumam "oh ini yang namanya badai"), terus mengikuti. Tingginya ilalang yang harus di sabit dengan parang, serta curamnya jurang dikanan-kiri yang menganga lebar. Ya, akhirnya kami berhenti di hutan yang sangat lebat dan mulai mendirikan bivak untuk malam selanjutnya.

Panitia ternyata sedang bercanda, tim ku sempurna benar telah membuat bivak yang bagus dan aman. Aku sampai harus sedikit berdiam menahan ego, karena ketika hendak menggunakan parang, hampir saja parangnya terlempar kearah temanku. Aku syok, berhenti bekerja. Namun ketika semua temanku sempurna masuk kedalam bivak, tinggal aku sendirian diluar. Panitia tiba-tiba datang dan menyuruh segera beres-beres untuk meninggalkan tempat ini.

Nama kami dipanggil satu persatu, menyisakan 4 orang berbeda setiap tim. Perjalanan survival kami untuk 2 malam selanjutnya dimulai saat itu, setelah berhening cipta di In Memoriam 2 pendaki senior yang "hilang". Kami siap melaksanakan survival dengan keadaan dan peralatan serba terbatas dan dibatasi.

Bersama Randu, perjalananku untuk 2 malam berikutnya akan berlanjut.


Bersambung....

---

Liburan masih panjang.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar