Kamis, 20 September 2018

Part 2: Papua, Geografi dan Transportasi

Kali pertamaku datang ke Papua, dengan penerbangan terlama dan terjauh ku selama ini, dari Jakarta ke Jayapura. Keberangkatan pesawat Garuda pukul 10 malam dari terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta yang luas bukan main. Pesawat akan transit ke Makassar dan sampai di tujuan kami Jayapura pada pagi hari. Bayangan akan indahnya alam Papua dari ketinggian ditambah latar matahari terbit membuat mataku tidak bisa terpejam. Untungnya pesawat dilengkapi fasilitas layar yang dapat dinikmati untuk menonton film. Kutonton hingga 2 buah film selama perjalanan.

Ekspektasi keindahan yang kubayar dengan tidak tidur ternyata terlalu besar. Ketika matahari muncul, ketinggian pesawat masih berada pada ribuan kaki diatas permukaan sehingga yang terlihat hanyalah langit, langit dan hanya langit berwarna jingga. Pemandangan mulai terlihat ketika mendekati Jayapura dengan kekhasan alam di danau Sentani, namun tidak kunikmati maksimal karena kepala yang mulai mengeras akibat tidak tidur semalaman.

Kami sampai pukul 7 WIT yang berarti di Jakarta baru pukul 5 subuh. Di waktu yang sama, teman kami yang lain akan bertolak dari bandara yang sama, Bandara Sentani Jayapura, menuju ibukota kabupaten Pegunungan Bintang menggunakan pesawat perintis, kapasitas 30-an penumpang. Kami sempat bertemu sebentar dan menitipkan barang titipan melalui celah-celah pintu waiting-room bandara.

Selamat Datang di Papua.

Setelah menunggu barang, kami keluar bandara dijemput salah seorang teman. Barang kami taruh di tujuan penginapan lalu bergegas lagi menuju kantor penerbangan AMA Air yang pesawatnya akan kami tumpangi ke distrik Bime, Pegunungan Bintang.

Cerita-cerita yang pernah kudengar dan kubaca terkait ketidakpastian transpotasi menuju pedalaman Papua ternyata benar. Untuk menuju Bime, hanya ada beberapa maskapai yang menyediakan jasanya. Itupun dengan pesawat kecil seperti caravan, cessna atau lebih kecil lagi pesawat capung. Karena kapasitas penumpang yang sedikit itu, ditambah jumlah penerbangan yang sedikit dan tidak tentu, mengharuskan kami untuk menunggu beberapa hari lagi.

Informasi awal yang kami peroleh sewaktu masih di Jakarta bahwa kami akan bertolak ke Bime di hari Senin, sela 2 hari sejak kedatangan kami di Jayapura. Namun setelah mengobrol dengan petugas maskapai, ternyata jadwal pesawat tercepat baru bisa setelah 17 Agustus. Itu berarti paling cepat di tanggal 18 Agustus, satu minggu sejak kedatangan kami. Katanya, karena mendekati 17an banyak pesawat yang harus digunakan merata ke semua daerah-daerah untuk mengangkut keperluan ulangtahun negara. Padahal kalau tidak sesibuk ini, pesawat yang nganggur akan segera diberangkatkan ke daerah tujuan jika penumpang daerah yang dituju sudah memenuhi kapasitas. Kalau kurang harus menunggu penumpang lain hingga hari dimana penumpang penuh. Layaknya angkot yang tidak mau bergerak kalau penumpang belum cukup, kejar setoran.

Yang ku pikirkan saat itu, apa yang akan kulakukan selama seminggu di Jayapura? Tidak ada.
Kalian pasti berpikir, ya habiskan waktu dengan jalan-jalan dong. Mumpung di Papua, mumpung di Jayapura.

Setelah memenuhi perbekalan-perbekalan yang akan kami bawa ke Bime, hari sabtu depan jadwal keberangkatan masih juga lama. Kami dijanjikan ketidakpastian oleh maskapai. Jadi, kami tidak berani pergi jauh untuk sekedar jalan-jalan. Lagian tugas kami belum juga dimulai, malah sudah berpikir lain. Pasalnya, setiap hari kami harus follow-up ketersediaan pesawat, bisa jadi ada kemajuan hari keberangkatan. Betul saja di hari kamis 2 hari sebelum jadwal yang sesuai, pagi-pagi setelah mandi, kuterima telepon dari Pak Windi, petugas maskapai AMA Air yang selalu melayani kami, katanya kemungkinan hari itu akan ada pesawat ke Bime pada flight ketiga, sekitar jam 11an. Itu baru kemungkinan, bisa saja tidak jadi karena berbagai alasan seperti cuaca dan lainnya. Apalagi flight ketiga itu cukup rawan, soalnya di pegunungan hampir tiap siang hujan akan turun tanpa mengerti musim. Kalau cuaca tidak bersahabat, bisa-bisa kami harus menunggu beberapa hari lagi.

Keberangkatan menuju Bime di mulai dari kantor Ama Air, bukan di bandara layaknya penerbangan pada umumnya. Beberapa maskapai berjejer di samping bandara, masih dalam kompleks lapangan terbang, mendirikan kantor masing-masing. Check-in dan boarding tidak seperti biasanya. Kami hanya menyetor nama dan memasukkan barang ke bagasi. Belum ada kepastian keberangkatan, sehingga pembayaran belum bisa dilakukan. Katanya, akan ribet dan mudah memunculkan masalah jika pembayaran sudah dilakukan padahal gagal berangkat.

Syukurnya, setelah capek berdiri dan lama menunggu, kepastian keberangkatan akhirnya kami pegang. Ongkos yang kami bayarkan sebesar 1,7 juta perorang dengan jatah bagasi masing-masing hanya 10 kg. Padahal total bagasi yang kami berdua bawa kurang lebih 150 kg, maklum itu semua jatah makan dan ngemil selama disana yang katanya tidak ada warung, kalaupun ada tidak lengkap dan mahal. Makanya ongkos overweight 130 kg sebesar 3,55 juta dengan rincian 25 ribu per kg nya (ini cerita perjalanan atau belajar matematika?). Sungguh ironi, betapa mahalnya ongkos transportasi menuju sana. Padahal hanya itu satu-satunya moda transportasi penakluk pegunungan. Tol Trans Papua yang presiden Jokowi banggakan sayangnya belum menembusi belantara rawa hingga ke pegunungan tengah Papua.

Sejauh mata memandang, ditemani peluh yang berkucur deras karena tegang pertama kali menaiki pesawat kecil jenis cessna, hanya warna hijau hutan dan kelok coklat sungai menemani rawa dan pegunungan khas Papua. Pesawat kecil yang ditumpangi terbang tidak terlalu tinggi, tepat di langit letak awan terbawah, menimbulkan turbulensi kuat. Penumpang yang hanya berjumlah sembilan orang ditemani tumpukan barang yang sepertinya lebih berat dibanding total manusia di pesawat. Manusia disebelah kanan, logistik di sebelah kiri.

Satu jam perjalanan, pesawat berkelok kiri-kanan beberapa kali kemudian terlihat lapangan terbang Bime yang disambut warga yang berkumpul mencari hiburan. Lapangan terbang Bime baru saja selesai diaspal, lapangan terbang yang lebih baik jika dibandingkan dengan lapangan terbang di daerah lain yang hanya beralaskan tanah berbatu khas pegunungan. Di ujung landasan sebelum menabrak tebing, pesawat berbelok 100 derajat dilanjutkan berputar 360 derajat untuk parkir pesawat.

Rame sekali warga berkerumun, bisik-bisik siapa gerangan keluarga yang bergabung kembali ke kampung dan siapakah pendatang baru berambut panjang itu? Pesawat kembali terbang setelah menurunkan seluruh penumpang dan barang berkwintal-kwintal.

Selamat datang di Bime, perjuangan sebenarnya baru di mulai!

#papua
#festivalpuncakpapua
#indonesiamengajar

Jumat, 07 September 2018

Bime, Masih Indonesia!



“Namun bagiku, ujian pertama dalam perjalanan adalah pembuktian kesabaran”
Titik Nol – Agustinus Wibowo


Take-off pesawat di Lapangan Terbang Bime
(Dokumentasi Pribadi)

Sebagai seorang mahasiswa, momen seremoni semacam upacara memperingati kelahiran republik sangat jarang dilakukan. Tapi kali ini, betapa beruntungnya diriku. Sebab sehari sebelum peringatan tahunan ini dihelat, kami datang menggunakan pesawat jenis caravan yang hanya muat 9 penumpang. Penerbangan kami tiba setelah menunggu sekian hari. Distrik Bime adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Pegunungan Bintang. Di daerah tingkat satu ini, serta beberapa daerah tetangganya, diakses hanya melalui jalur udara. Di setiap distrik (baca: kecamatan) pasti ada lapangan terbang yang hanya muat untuk pesawat-pesawat kecil yang datang langsung dari Jayapura, lalu ketika pulang bahkan kadang harus singgah di distrik sebelah untuk mencari penumpang, layaknya angkot kalau di kota-kota.

Kedatangan pesawat membuat anak-anak yang bermain di lapangan terbang Bime segera menyingkir. Orang-orang yang datang dari berbagai desa (disini disebut/setara dengan kampung) bergerombol layaknya keramaian di pasar malam, sekedar ingin mencari hiburan. Kalau beruntung, terselip nama mereka pada barang-barang bongkar muat yang dibawa pesawat. “Kiriman raskin dan supermi itu” kata mereka, merujuk pada beras dan mie instan kiriman keluarga mereka di kota.

Ada cerita lucu ketika pertama kali kedatanganku. Warga yang berkerumun di luar pesawat bergosip ria tentang siapakah gerangan Kaka' yang rambutnya panjang itu. Rambutku yang kubiarkan terjuntai memang sering dikira rambut wanita, warga Bime juga mengira demikian. Tapi kekecewaan mereka cepat sekali datang setelah aku turun dan mereka tidak menemukan tonjolan di dadaku. Kata mereka, karena aku tidak berbuah dada makanya mereka langsung mengerti kalau aku seorang lelaki. Kelak Itu kudengar dari seorang gadis kelas 2 SD bernama Apioka.

Pesawat kembali terbang, ditonton sebagian kerumunan warga yang masih terkesima walaupun setiap minggu melihat beberapa pesawat datang dan pergi. Sebagian lagi bisik-bisik bertanya tentang kehadiran kami. Mungkin karena trauma masa lalu terhadap pendatang yang hanya sekedar lewat, datang tanpa memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada masyarakat, ditambah sulitnya akses ke daerah mereka, menambah rasa penasaran itu. Untungnya kedatangan kami telah ditunggu oleh seorang teman yang sudah disana beberapa minggu sebelumnya. Kami diajak memperkenalkan diri ke masyarakat, menjelaskan maksud kedatangan kami guna ikut dalam membantu-bantu proses belajar-mengajar di sekolah, khususnya Sekolah Dasar. Sayangnya kehadiran kami tidak lama, hanya dua minggu.

Masih sekitar pukul 2 siang di hari kedatangan, kami berbincang-bincang dengan beberapa orang penting kampung, lanjut sedikit beristirahat sambil menyesuaikan kondisi lingkungan disana.

---

Futsal dilapanga tanah khas pegunungan
(Dokumentasi Tim Bime)

Sore hari selepas tidur siang singkat, masih dengan kepala yang pusing akibat jetlag, kulihat pemuda-pemudi sudah ramai di lapangan kantor distrik yang dekat sekali dari kediaman kami. Sehari sebelum peringatan 17 Agustus, mulai diadakan lomba futsal dan voli se-distrik. Laki-laki dan perempuan bertanding dalam kategorinya masing-masing. Betapa terkejutnya, bahwa tendangan perempuan-perempuan Papua begitu kuat layaknya tendangan pemuda lain. Padahal lomba futsal tidak dipertandingkan di lapangan bagus seperti di kota-kota dengan biaya sewa perjam yang lumayan. Melainkan lapangan tanah yang becek akibat genangan hujan yang turun tiap harinya ketika sore hari menyapa. Sebagian besar dari mereka yang tidak menggunakan alas kaki, tidak kalah keras dengan kombinasi tanah berbatu ataupun bola sepak yang mereka tendang.

Malam pertamaku di kampung Bime kuhabiskan dengan istirahat. Ditemani hawa dingin khas pegunungan, dan temaram lampu yang tidak begitu kuat menyala akibat terbatasnya pasokan listrik dari PLTA yang hanya datang saat malam. Satu-satunya PLTA disana, itupun baru selesai diperbaiki dua hari sebelum kedatangan kami, makanya hari-hari selanjutnya tidak begitu menyeramkan dan menyusahkan. Tapi jaringan telepon, sinyal hp seterkenal telkomsel pun tidak ada. Komunikasi kami ke dunia luar mungkin akan tertutup seandainya tidak ada telepon satelit yang kami bawa dengan harga pulsa yang mahal minta ampun. 

---

Suasana Upacara 17 Agustus
(Dokumentasi Tim Bime)

Hawa dingin ternyata tidak pergi-pergi sampai keesokan hari. Lapangan kantor distrik dijadwalkan akan melaksanakan upacara pukul 9, kami baru terjaga pukul setengah 9. Bergegas kami berganti pakaian tanpa perlu mandi, mengikuti kebiasaan masyarakat. Buat apa mandi dengan bersusah payah melawan dingin air hasil tampungan hujan yang menusuk sampai ke tulang. Apalagi tidak ada bau dan keringat yang tubuh kami produksi. 

Dari beranda rumah panggung kayu yang kami tinggali, belum ada tanda-tanda keramaian di lapangan upacara. Padahal setelanku sudah lengkap dengan amunisi action-cam untuk mengabadikan momen langka ini.

Setengah jam menunggu, sambil menyapa siapa saja yang lewat di depan rumah yang kebetulan menjadi salah satu jalan utama menuju lapangan. Kami diajari ucapan selamat pagi yang disana diucapkan dengan kata “Telebe”. 
Dengan percaya diri sejak pagi itu dan pagi-pagi selanjutnya kami menyapakan Telebe dengan siapa saja yang kami temui di jalan, walaupun kadang juga tetap dengan kata selamat pagi-nya Indonesia.

Rombongan perangkat pemerintah datang, disusul para pendatang yang mengabdi sebagai penyuluh pertanian dan tenaga kesehatan, lalu rombongan siswa SD yang imut dipimpin pak Gurunya. Warga sudah berkumpul di sekitar lapangan, tapi entah mengapa tidak ikut kedalam barisan. Mungkin upacara semacam ini hanya sekedar selebrasi seremonial yang diwajibkan kepada aparatur negara yang bersetelan rapi saja. 

Penyuluh pertanian asal Jatim menjadi pemimpin upacara yang diinspekturi oleh Sekretaris Distrik menggantikan kepala Distrik yang belum pernah kembali ke tempatnya bekerja. Para nona bidan yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Tenggara bertugas sebagai pembaca UUD 1945 dan protokoler. 

Panjat Pinang
(Dokumentasi Tim Bime)

Upacara bendera yang khidmat di pinggiran ibu pertiwi, tepat disebelah Papua Nugini. Dengan komposisi pelaksana upacara dari berbeda pulau, tidak membuat seremoni terganggu. Malahan, dipinggiran negara tanpa disentuh tangan negara, Indonesia kurasa tidak hadir secara fisik lagi namun sudah melekat dalam setiap hati masyarakat yang tinggal disini, tinggal di Bime yang masih bagian Indonesia.

---


Lomba Memanah
(Dokumentasi Tim Bime)