Sabtu, 16 September 2017

[Menjadi Seorang Mapala]

Kata Chairil Anwar,
"HIDUP
Cuman sekali,
Beri arti,
Kemudian Mati".

Teman-teman dikalangan pegiat alam bebas entah itu dikampus ataupun di dunia maya sedang dihebohkan oleh sebuah film dokumenter yang menampilkan perjalanan 7 buah mata lensa dalam penaklukan 7 puncak tertinggi di Nusantara.

Lensa, yang kemudian tercetak sebagai karya fotografi maupun videografi yang terdokumentasi dalam perjalanan menembus rimba, menyusur sungai, mendaki puncak, dan menaklukkan ego dalam film Negeri Dongeng, ternyata membuka kembali mata tentang indahnya Indonesia dengan berbagai kekayaan sekaligus masalah yang Tuhan berikan kepada tanah air ini.

Dalam percakapan line yang sepintas kubaca dalam grup mapala angkatanku di kampus, ternyata beberapa teman antusias terhadap film ini karena kata mereka film nya 'mapala banget'.

Tidak berselang lama dari percakapan tersebut, muncul juga japri dari seorang calon pengelana tentang hakikat mencintai, mengeksplorasi alam yang katanya tidak harus diaktualisasikan dengan mengikuti komunitas pecinta alam.

Fakta dari hasil analisis ngaco yang kubuat ternyata alasan orang-orang untuk bergabung dengan kelompok (mahasiswa) pecinta alam bermacam-macam.
1. Ada yang merasa dapat menjadi lebih eksis karena berpeluang dapat berjalan-jalan ke antah berantah yang orang awam sulit untuk menjangkaunya. Padahal, berpergian ke antah berantah membutuhkan persiapan dan tujuan yang harus jelas. Perlengkapan, survey dan riset, akomodasi serta berbagai macam hal teknis dan non-teknis yang dibutuhkan.
2. Ada juga yang merasa akan (sedikit) lebih macho karena berpotensi meng-gondrongkan rambut dengan kebulan asap berseliweran dimana-mana. Percayalah, rambut gondrong akan menghabiskan banyak uang untuk shampoo (penulis curhat) dan akumulasi asap malah mencipta lingkungan yang tidak sehat (katanya mencintai alam).

Padahal jika melihat sejarah, kata Mapala pertama kali eksis setelah beberapa mahasiswa Fakultas Sastra UI mengemukakan keresahan nya terhadap kultur organisasi saat itu yang sudah tidak lagi sehat (beriklim politik).

Dalam tulisannya di Bara Eka (13 Maret 1966), Soe Hok Gie mengatakan bahwa, “Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme dapat ditanamkan hanya melalui slogan-slogan dan jendela-jendela mobil. Mereka percaya bahwa dengan mengenal rakyat dan tanah air Indonesia secara menyeluruh barulah seseorang dapat menjadi patriot-patriot yang baik.”

Opini dan gagasan terkait mapala yang Soe Hok Gie paparkan bisa jadi masih berlaku atau bahkan mungkin sudah basi di jaman dimana orang-orang dapat mempertontonkan dan 'berbagi' (mem-pamer) kegiatan pariwisata alam terbuka yang telah dikunjunginya.

Namun, apapun pilihan dan alasan kalian, entah itu bergabung atau tidak dalam kegiatan pecinta alam bahwa sadarlah kuliah hanya sementara, hidup juga hanya sementara.

Gunakan sebaik mungkin, gapai sebanyak mungkin mimpi yang harus dicapai di masa kuliah, tentang kota, desa, pantai, gunung, gua, tebing, sungai, rawa yang ingin dikunjungi.

Karena kuliah hanya lima tahun, beri arti, jelajah negeri, kemudian mengabdi.

Travelikay
16 September 2017
Yang terobsesi akan suatu hal