Sabtu, 31 Desember 2016

[Last Part: Cerita Bonggol]

Menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan. Mengenang seminggu yang lalu, dikala suka dan duka kita lewati bersama. Juga sebagai penutup dari tahun spektakuler 2016. Welcome 2017

Close-up setelah upacara 


---

Gelap malam mulai digantikan cahaya yang terdifusi ke segala arah. Pagi menghampiri. Namun kami berempat masih setia menunggu aba-aba panitia untuk keluar dari bivak dan kemudian mengikuti instruksi selanjutnya. Dingin. Dinginnya dua malam terakhir yang kami berempat lalui, sama dengan dinginnya perasaan yang senang karena akan menyelesaikan yang harus diselesaikan, sekaligus meninggalkan sebuah kenangan yang tertanam terus hingga suatu masa kelak akan diceritakan kembali. 

Instruksi itu mangatakan untuk mengemasi peralatan dan berangkat menuju tujuan selanjutnya. Seperti yang kuceritakan sebelumnya, aku bersyukur bahwa semalam tidak ada pem-bangun-an secara paksa untuk berkeliling di hutan. Doa yang kupanjatkan terus ketika terbangun karena dinginnya malam, ternyata terkabul. Barang-barang yang sedikit ini selesai kami kemasi, saatnya melanjutkan perjalanan.

Perberhentian pertama kami yaitu ditempat tim lain, dan bergabung menjadi satu tim (baru). Tas carrier yang kemarin kami serahkan ke panitia dikembalikan dan kami kenakan kembali dipunggung masing-masing walaupun bukan kepunyaan kami sendiri. Alhamdulillah, kami mendapatkan jatah sarapan. Syaratnya, kami harus menutup mata dan mengadahkan tangan kedepan. Ketika mendapatkan apa yang diberikan, kami disuruh hadap kanan dan mengunyah seluruh yang ada ditangan kami tanpa tersisa sedikitpun.

--

Pikiranku melayang pada Diklat dan Pelantikanku ketika masih di mapala sebelum ini. Kala itu, sebelum pelantikan kami diceburkan kedalam kolam berisi air yang sangat dingin hingga menyisakan kepala saja yang tak terendam. Saat itu, dengan menyanyikan nyanyian-nyanyian ibu pertiwi dan dengan mata tertutup kami diperintahkan menengadahkan tangan hingga sesuatu diletakkan di tangan kami. Kami mengira apa yang diletakkan pada tangan adalah sebuah kumpulan liur dari kakak-kakak tingkat yang berada di lokasi. Bagaimana tidak, semua panitia yang ada di sekitar berpura-pura meludah  mengeluarkan seluruh serak yang ada di tenggorakan. Pikiran kami melayang saat itu, karena mata kami tertutup dan tidak tahu apa yang benar-benar terjadi.

Dalam hitungan mundur, kami disuruh bergegas menyantap hidangan yang ada di tangan kami. Masih berfikir bahwa itu adalah kumpulan serak-ludah, tanpa banyak tanya dengan sejuta pikiran di otak langsung kami telan sesuatu yang berlendir ditangan kami. Hmmm rasanya campur aduk. Namun ternyata yang kami telan hanyalah telur mentah yang dicampur dengan serbuk kopi dan seekor kecebong. hahaha kami diberitahu setelah upacara pelantikan.

--

Kembali ke cerita.

Setelah kami diberikan sesuatu untuk dimakan, tanganku langsung "berpikir" cepat mengenai benda lonjong bulat yang dipegangnya. Otakku langsung mengatakan bahwa itu terong, makanan kesukaanku (tapi kalau digoreng atau disambel), namun mulutku berkata lain setelah benda itu kumasukkan dan kukunyah. Lezat sekali, ternyata sebuah pisang. Walaupun harus mengunyah seluruh buah dan kulitnya, namun masa bodoh, kami sedang kelaparan. Dilanjutkan seteguk air minum, segarrrr. Fisik kami kembali normal setelah 2 malam terakhir tidak menyentuh sesuatu yang mengenyangkan dan menyegarkan dalam arti sebenar-benarnya.

Sebelum menikmati burjo, yel-yel duluu
Perjalanan kami berlanjut dengan santai karena salah satu biji dalam tim kami sedang dalam kondisi drop. Lanjutan perjalanan memperoleh 2 kali pemberhentian untuk mendapatkan tambahan asupan gizi. Yang pertama kami mendapatkan sepotong roti selai dan yang kedua segelas burjo (bubur kacang ijo) yang masing-masing mendapatkan 1 bagian. Namun sepertinya akumulasi burjo yang kumakan hampir bernilai 2 gelas. Bagaimana tidak, teman-temanku kewalahan menghabiskan rejeki ini dengan alasan entah apa, padahal kemarin mereka merasakan kelaparan yang luar biasa, tidak bersyukur sekali wkwkw.



Perjalanan selesai dan kami seangkatan Arutedja dikumpulkan dalam suatu tempat sebelum upacara pelantikan dimulai. Kami bercerita banyak hal, memperbaiki yang harus diperbaiki, mengobati yang harus diobati, menertawai 5 hari kami, merenungkan yang telah terlewati, dan menghapalkan dan membuat lagu-lagu yang akan kami nyanyikan setelah upacara. Momen yang indah tentu saja, yang semoga kejelekan memori ingatanku tidak melupakannya.

Memasuki lapangan upacara
Momen itu kami usaikan dan berbaris yang rapi untuk menuju lokasi pelantikan. Masih dengan nomor urut satu, yang membuatku selalu menjadi yang pertama dalam rangkaian ini. Selalu mempertemukanku dengan Dekan Fakultas Geografi dalam upacara pembukaan dan penutupan. Dekan yang mengikat slayerku lebih banyak, semoga berkesan buatku. 






Lapor, nama alias Bonggol dengan nomor slayer satu, siap dilanttik menjadi anggota wiramuda.

Baris dengan rapi
Sial, sebelum dilantik masih saja harus laporan. Namun, 5 hari 4 malam cukup untukku akhirnya menghapalkannya tanpa mengulanginya pada kesempatan kedua atau ketiga. Dengan sedikit perubahan pada teks laporan, cukup dua kali saja bagiku mengulanginya tanpa hukuman. Itupun aku disuruh mengulangi laporan karena aku orang pertama yang sedang laporan, tentu harus menunjukkan semangat yang lebih besar dibanding teriakan laporan pertamaku. Sekuat mungkin laporan kuteriakkan, dan menghasilkan slayer orannye dengan nomor satu berubah menjadi slayer merah dengan tulisan anggota wiramuda.



Laporan, Siap Dilantik
Foto bersama Dekan Geografi menjadi yang istimewa buat seorang dengan nomor urut satu. Kemudian teman-temanku secara berurutan bergantian dilantik oleh alumni-alumni yang berbeda. Satu calon anggota dilantik satu alumni. Lama sekali prosesi penggantian slayer yang harus menunggu hingga biji ke 27. Kata alumni, biasanya prosesi ini tidak terlalu lama karena anggota jaman dulu paling hanya berapa orang. hahaha Angkatan kami memang sebuah rekor, semoga tidak berkurang biji-biji ini.

Bersama Pak Dekan


Upacara selesai, kami berkumpul membuat lingkaran dan menyanyikan apa yang seharusnya kami nyanyikan, menikmati momen-momen kemarin dan saat itu. Selepas itu, saatnya makan siang dengan menu nasi pecel. Kulahap dua bungkus nasi, nasinya berlebih sih. Tapi perutku tetap tidak mau kalah, buang air ke limaku kulaksanakan di basecamp utama panitia setelah berlari secepat mungkin melewati beberapa panitia dan berteriak sebisa mungkin dimana toiletnya, Akhirnya keluar semua, wkwkw.
Sebuah nyanyian sederhana

Perjalanan kami benar-benar selesai. Selepas membongkar barang-barang yang menjadi kepunyaan masing-masing, juga menghabiskan dagangan penthol rasa terigu sebelum menaiki truk, kami kembali ke Jogja dengan keadaan cemong dan hati yang bersedih karena 5 hari 4 malam sempurna betul membentuk kami sebagai keluarga Arutejda 34 GEGAMA UGM.

---

Perjalanan kami untuk 5 hari 4 malam mungkin telah selesai, namun itu hanyalah permulaan untuk kejutan-kejutan hebat selanjutnya untuk Fakultas Geografi UGM. 

Selamat tinggal 2016, dan yang terbaik untuk 2017.


[TAMAT]



Keluarga Baru GEGAMA UGM









Jumat, 30 Desember 2016

[Part IV: Cerita Bonggol]

"Tulis sendiri kata mutiaramu"
-Tulis Sendiri Namamu

---

Waktu kami untuk mengemas barang-barang dan membongkar bivak yang telah sempurna jadi hanya sepuluh menit. Dengan kerja tim yang solid, kami selesaikan semuanya dengan cepat walau beberapa barang tak terdeteksi keberadaannya. Kami berbaris dalam kegelapan, menunggu nama lapangan kami dipanggil satu persatu. 

BONGGOL!

Namaku dipanggil, bergegas, menaiki tanjakan yang gelap kucari sumber suara dan berbelok ke arah kiri mengikuti instruksi panitia. Tim (baru lagi) kami lengkap, 2 biji jantan dan 2 biji betina. Keperhatikan muka-muka lusuh yang akan menemaniku entah berapa malam kedepan, semoga mereka tidak terlalu merepotkan.

Sebelum menuju tempat peristirahatan, kami dibawa menuju Prasasti In Memoriam pendaki yang pernah hilang di lokasi yang akan kami tinggali. Kami di briefing, disemangati, diingatkan, jikalau malam itu adalah malam terakhir kami maka apa yang ingin kami sampaikan, apa yang ingin kami sampaikan kepada kedua orang tua kami, yang telah membesarkan dan menyayangi kami selama ini.

Walau harus menunggu beberapa menit karena pendamping kami lupa dimana tempat seharusnya kami menginap, akhirnya sampai juga di sebuah tempat antah-berantah. Kami harus merelakan semua barang-barang yang wajib disita dan hanya menyisakan sebagian kecil peralatan yang berguna, serta tanpa minuman dan makanan.

Badai terus mengoyak kawasan itu. Tempat bertemunya angin, kata temanku. Tempat yang memang terkenal akan angin kencangnya. Ditambah jatuhnya air hujan dengan sangat deras, membuat otak kami harus berpikir lebih keras, tangan kami yang harus bekerja lebih cepat untuk menyiapkan apa saja yang kami butuhkan untuk menginap di malam yang dingin itu.

Kedua biji betina yang kami peroleh masih terlalu manja, menurutku. Sebiji masih pilah-pilih barang yang harus digunakan, sebiji lagi masih sangat jauh dari kata mandiri. Dipikirannya (menurutku), tidak bergantung pada teman adalah hal yang baik. Namun bagiku, merepotkan adalah ketika kau tidak mau mendengar nasehat dan kemudian kau bener-benar sakit pada akhirnya. Mending ikuti nasehat temanmu, jangan paksakan dirimu, kami siap membantumu kapan saja, takkan kami biarkan nyawamu terbuang dengan percuma. Dan satu lagi, jangan banyak alasan untuk pilih-pilih sesuatu, nikmati saja sesuatu itu kalautidak kau kesulitan bertahan.

 [HARI KEEMPAT]

Kami melewati malam yang sangat menyiksa. Derasnya hujan dan kencangnya angin selalu menerobos bagian kaki kami. Apalagi posisiku dibagian pinggir yang langsung terkena genangan air. HUAW, sangat menyiksa. Namun masa bodoh, tetap kupejamkan mataku dengan posisi tidur senyaman mungkin, hingga cahaya pagi hari mulai membangunkan.

Hal pertama yang harus kelakukan, dan terpikirkan setelah aku sempurna bangun adalah BOKER. Sial, aku tetap diare dengan intensitas perut mules yang makin meningkat. Masih dengan senjata andalan yaitu parang (kali ini tanpa air karena kami tidak diberi air), kusisir semak yang tak terjamah kelompok lain. Kutemukan tempat yang pas, ritual yang sama seperti hari sebelumnya kulaksanakan. Belasan daun basah yang kucabuti menjadi saksi sejarah mereka digosokkan kepantatku agar bersih mengkilap. Ritual selesai,  saatnya kembali melanjutkan aktivitas.

Hari itu memang materi terkait survival, bagaimana caranya bertahan hidup dengan kondisi serba terbatas. Mulai dari cara menampung air di hutan, mencari makanan, membuat api, membuat bivak alami, serta berbagai materi yang berkaitan. Kami menampung air dari tetesan air yang jatuh pada lumut di sebuah pohon. Airnya cukup segar dan bersih, kami batasi pola minum kami agar airnya dapat bertahan selama mungkin. 

Setelah gagal menggunakan api dengan berbagai cara, akhirnya kami ditemani untuk mencari makanan. Kami menemukan banyak sekali buah yang tadi pagi sering kami temui. Buahnya ternyata dapat dimakan, takut sekali tadi pagi kami keracunan karena memakannya. Kami cari sebanyak mungkin buah seperti itu agar kekosongan di lambung dapat teratasi. Hei, kami menemukan beberapa buah strawberry hutan. Walaupun kecut, tentu saja dapat mengobati rasa rindu kami akan makanan "dunia". Hanya beberapa biji strawberry saja, tidak banyak.

Hari itu berjalan dengan sangat lambat dan penuh dingin. Kami lupa bahwa itu adalah hari jumat yang harusnya untuk lelaki menunaikan sholat jumat, namun bagaimana cara mendirikannya, ingat pun tidak, bersihpun tidak. Sudahlah, jumat itu kami lewati hanya dengan sholat dzuhur dilanjut ashar. Semoga Tuhan mengampuni kami.

Sore harinya, kukeluarkan isi perutku untuk keempat kalinya. Oralit dan diapet NR yang panitia bawa kuminum menggunakan sisa air lumut tampungan kami yang kuhabiskan hingga tetes terakhir. Belum sempurna gelap menyelimuti, kami malah sempurna bersarang pada bivak yang sudah kami pindahkan dan modifikasi sedemikian mungkin agar terhindar dari dinginnya air hujan dan badai di malam hari. Untung saja tidak ada kegiatan pada malam hari itu, itulah malam terpanjang kami yang hanya dihabiskan untuk tidur.

Kami terbangun untuk hari terakhir. Entah apa yang akan kami lalui setelah ini, pelantikan macam apa yang akan kami lewati. Ataukah seberapa susah jalan yang harus kami lalui sebelum benar-benar menyelesaikan perjalanan ini. Entahlah, mungkin butuh ruang yang berbeda untuk menuliskannya.

---

Sejujurnya ingin kutuliskan ceritaku bersama Randu pada bagian ini, namun entah mengapa kulupakan begitu saja cerita-cerita bersama Randu, bersamaan dengan kulupanya janjiku yang selalu Randu tagih untuk membayarinya makan di warung SS, warung yang kami impikan setelah melewati "kesenangan" ini. Terima kasih Randu, akan raungan melodi indah yang kau dengarkan kepada kami.
Ohuwowoowoo Uhowowooowooowo


Bersambung...

Kamis, 29 Desember 2016

[Part III: Cerita Bonggol]

Setelah bangun, mandi, buka laptop, mejeng facebook instagram line, nonton film, baca buku, sholat, makan, boker, dan kembali tidur. Tidak ada aktivitas andalan yang dapat dilakukan di masa liburan seperti sekarang. Terlebih lagi ketika teringat masa perjuangan minggu lalu. Benar juga, dari pada nganggur, mending kulanjutkan ceritaku. Kali ini melanjutkan apa yang seharusnya dilanjutkan.

---

"Bedakan antara membantu dengan memanjakan teman"
-Mas-mas Pendamping di Malam Pertama

[Hari Ketiga]

Adzan subuh selesai berkumandang bersamaan dengan gerakan tanganku yang cekatan mengubur aib yang kukeluarkan dalam kegelapan. Dengan bekal sebotol air, parang dan senter, kutelusuri semak-belukar yang sekiranya jauh dari peradaban bivak tim lain dan basecamp panitia. Setelah puas mengeluarkan semuanya, aku kembali ke bivak tim kami sambil memperhatikan sekeliling, bertebaran kayu-kayu pohon yang siap dipotong-potong. Sial, kutemukan sebuah cangkul. Tau gitu kenapa harus bersusah-susah menggali dan mengubur mengunakan parang. Biarlah, mungkin suatu saat cangkulnya dapat berguna. 

Aku kembali tidur dengan posisi berdesakan, kutempati saja bagian kaki yang kosong. Tidur melintang dibawah kaki-kaki bau. Ada yang menendang-nendang kepalaku, ada juga yang menaikkan kedua kakinya diperutku, untung saja kaos kaki mereka sudah dilepaskan sebelum tidur. Tak bisa kubayangkan rasanya kaki-kaki yang terbungkus kain apak bercampur beceknya tanah dan air hujan yang belum diganti selama 2 hari. Mataku terpejam, lalu kembali terjaga setelah hitungan mundur sepuluh diteriakkan panitia yang datang. 

Sial, tambahan 1 bungkus beras lagi. Total ada 5 bungkus beras yang kami simpan. Semalam kami tidak memasak beras. Jadi kami harus berpikir ulang bagaimana memanajemen 5 bungkus beras ini untuk 2 kali makan. Sebenarnya gampang saja jika semua beras ini dimasak, tidak ada salahnya. Lagian kami memang sedang mendambakan makanan yang mengenyangkan dan berkalori tinggi. Sayangnya masalah dari kemarin adalah susahnya paraffin untuk terbakar. Butuh berbatang-batang parafin untuk memulai sebuah api yang benar-benar membara, belum lagi mentransfer apinya ke paraffin lain agar api terus menyala dan menanak nasi. Untung saja banyak ranting-ranting kecil yang dapat terbakar, cukup membantu tanakan nasi ku. 

Dua kompor yang kami gunakan untuk menanak nasi menghasilkan hasil yang berbeda. Tanakan nasiku menghasilkan nasi yang pulem dibagian bawah dan agak keras dibagian atas sedangkan tanakan satunya menghasilkan bubur yang kaya akan rasa beras. Ingat, kami memasak untuk makan pagi dan siang. Sehingga kami akan membungkus sebagian masakan kami pagi ini untuk kemudian dimakan di siang hari.

Sialnya, teman-temanku mengajukan untuk memakan bubur beras untuk sarapan sedangkan nasi yang pulem disimpan untung siang. Dugaanku tepat, kami tidak mendapatkan nasi yang kami buat sendiri melainkan jatah nasi dari kelompok lain (lagian kelompok kembali diubah). Berkat bubur beras yang kami nikmati dengan mie kuah sayur dan ikan sarden, sempurna membuatku buang air untuk kedua kalinya,

Kali ini kubawa sebotol air saja, aku hapal kemana aku harus berpetak umpet. Otakku mengatakan gunakan saja cangkul yang kutemukan sebelumnya. Benarkan, cangkul itu berguna sekarang. Tidak beruntung, tempat berhajat pagi-pagi buta tadi ternyata sangat dekat dengan bivak tim lain. Dengan pandangan yang terang benderang pagi ini, mereka dengan mudah melihatku. Kucari posisi yang berbeda, agak sedikit jauh. Sempurna, kali ini mereka tidak melihatku lagi. SOP (Standard Operational Prosedure) Buang Hajar di hutan kulakukan satu persatu dengan teliti. Kuusakan kali ini yang terakhir, jangan sampai rasa ingin ini terus terasa. Jangan sampai.
  
Aku nyaman di dalam hutan

Itu yang teman-teman katakan padaku. Kata mereka, jika kita berhasil buang air besar di "rumah" orang lain maka artinya kita nyaman di "rumah" itu. Aku senang bahwa aku nyaman di "rumah" (hutan) ini, namun sepertinya momennya sangat tidak pas. Terlebih, definisi nyaman ini sepertinya sangat tidak menguntungkan kapanpun, momen apapun, dan di hutan manapun. 

Perjalanan berlanjut, di hari ketiga ini kami melanjutkan navigasi darat yang kemarin sedikit banyak tersendat karena kabut. Kali ini kabut tidak menghantui pagi kami, kami mulai menembak beberapa puncak yang telah kami ketahui melalui orientasi medan (ormed). Lalu kami kembali melanjutkan perjalanan mengikuti pendamping, masih sambil memperhatikan medan yang kami lewati.

Kabut dan badai mulai menghantui setelah kami selesai sholat dzuhur yang digabung ashar sekaligus makan siang dengan hidangan nasi setengah beras dicampur gurihnya sarden. Diareku masih saja menyerang, ditambah lagi gurih-gemurih beras dan pedasnya cabe sarden menambah desakan mules perutku. Hm, teman se-tim (baru lagi) ku juga tidak mau menghabiskan gurih beras. Dengan terpaksa kumasukkan saja kedalam perutku, apapun resikonya. Resikonya jelas, 6 biji norit adalah saksi diareku.

Kami berada di ketinggian. Puncak yang agak landai harus ditaklukkan untuk menuju pemberhentian selanjutnya. Derasnya badai, (di dalam hati aku selalu bergumam "oh ini yang namanya badai"), terus mengikuti. Tingginya ilalang yang harus di sabit dengan parang, serta curamnya jurang dikanan-kiri yang menganga lebar. Ya, akhirnya kami berhenti di hutan yang sangat lebat dan mulai mendirikan bivak untuk malam selanjutnya.

Panitia ternyata sedang bercanda, tim ku sempurna benar telah membuat bivak yang bagus dan aman. Aku sampai harus sedikit berdiam menahan ego, karena ketika hendak menggunakan parang, hampir saja parangnya terlempar kearah temanku. Aku syok, berhenti bekerja. Namun ketika semua temanku sempurna masuk kedalam bivak, tinggal aku sendirian diluar. Panitia tiba-tiba datang dan menyuruh segera beres-beres untuk meninggalkan tempat ini.

Nama kami dipanggil satu persatu, menyisakan 4 orang berbeda setiap tim. Perjalanan survival kami untuk 2 malam selanjutnya dimulai saat itu, setelah berhening cipta di In Memoriam 2 pendaki senior yang "hilang". Kami siap melaksanakan survival dengan keadaan dan peralatan serba terbatas dan dibatasi.

Bersama Randu, perjalananku untuk 2 malam berikutnya akan berlanjut.


Bersambung....

---

Liburan masih panjang.......

Rabu, 28 Desember 2016

[Part II: Cerita Bonggol]


Sebelumnya, perkenalkan nama lapanganku Bonggol. Sepertinya kata itu berasal dari bahasa Jawa yang hingga sekarang entah apa arti sebenarnya. Ada 2 versi arti kata Bonggol yang kutemukan dari 2 teman yang berbeda. Versi yang pertama mengatakan Bonggol itu Telo yang padat, sedangkan versi satunya lagi mengatakan Bonggol itu pucuk tunas segala tanaman. Entahlah, tak ada niatan untuk menanyakan ke mbah Gugel mengenai arti Bonggol sebenarnya.

Nama lapangan adalah nama yang akan terus tertandai sebagai identitas kami, hingga kelak nanti sampai kapanpun. Di lapangan, kami diwajibkan menggunakan nama lapangan dan memanggil teman-teman yang lain dengan nama lapangan masing-masing. Sangat susah bagiku yang mempunyai ingatan jangka pendek yang buruk untuk menghapal nama-nama baru yang tersematkan ke kami. Jangankan nama lapangan, nama asli dari kami semua saja sangat susah kuhapalkan. Butuh upaya yang keras dan beberapa candaan yang garing untuk menghapalkan nama-nama mereka. Namaku saja sering kulupai.

Nama aliasku Bonggol, dengan nomor urut satu. Calon Anggota Wiramuda Diklatsar 34 Gegama, siap mengikutiiiiiiiiiiiiiii, eh kok malah laporan. Nomor urutku, nomor keramat yang selalu mempertemukanku dengan Dekan Fakultas Geografi ketika upacara pembukaan dan pelantikan. Nomor keramat yang juga selalu mendebarkan lubang pantat ku karena harus menjadi yang pertama untuk melakukan laporan remeh temeh yang melatih mental. Padahal aku selalu salah dikesempatan pertama. Aku lebih senang berada di tengah-tengah tim ketika sedang melakukan laporan, kuulangi dengan suara pelan terlebih dahulu mengikuti temanku yang sedang laporan. Walaupun tetap tak berhasil hingga kesempatan kedua bahkan ketiga. Setidaknya minimal 1 seri untuk kesalahan tiap laporan.

Hal yang menarik lainnya dalam rangkaian ini adalah tidak boleh menggunakan bahasa daerah, katanya. Kuartikan bahasa daerah disini yaitu bahasa yang tidak dimengerti orang non daerah. Bagaimana tidak, kata "jeglongan" yang merupakan bahasa Jawa dari kata "Lubang" berulang kali kami ulangi dan tidak menghasilkan hukuman bahkan teguran. Panitia pun berulang kali menggunakan kata "Tak" yang berarti "Ku-" (contoh: tak ambil=kuambil) yang tentu saja termasuk bahasa daerah. Namun definisi bahasa daerah ternyata bahasa sehari-hari yang tak akan dimengerti orang non-daerah.

Kasihannya, ada beberapa teman yang selalu menggunakan bahasa Jawa sehari-hari ketika beraktivitas disekitar panitia dan selalu mendapat teguran dan hukuman karena kecoplosan, karena memang kesehariaannya masih menggunakan bahasa Jawa, susah katanya untuk tidak berbahasa Jawa. Sengon dan Rendeng, yang sama-sama berasal dari Surakarta masih sering kecoplosan menggunakan bahasa daerah. Sialnya, karena perbedaan gender Sengon selalu dihukum dengan 1 seri push-up setiap kecoplosan sedangkan Rendeng hanya diteriaki dan dimaki untuk tetap menggunakan bahasa Indonesia. Lebih sialnya mereka tetap mengulangi kesalahan yang sama dan berulang terus menerus dimaki dan dihukum. 

Sudah cukup, pengantar untuk cerita selanjutnya. Saksikan saja besok....

Selasa, 27 Desember 2016

[Part I: Cerita Bonggol]



"Biarkan aku saja yang merasakannya, kalian jangan. Dengarkan dengan seksama apa yang kuceritakan, cukup dengarkan dan petik hikmahnya"

-Anonim

 ---

Perjalanan terus berlanjut. Mempertemukanku dengan banyak sekali keluarga baru. Orang-orang baru, dari latar belakang yang benar-benar baru. Aku hanya berbeda beberapa tahun saja, atau mungkin beberapa bulan. Sedikit pengalaman jam terbang yang kupunya setidaknya harus bermanfaat untuk kalian.

Sebuah titik dimana 5 hari 4 malam kita habiskan bersama, 27 punggawa Arutedja. Arutedja yang berasal dari 3 kata sanskrit yaitu ardi, utyana dan tedja yang berurutan berarti gunung, hutan dan cahaya. Secara filosofis (penulis), Arutedja berarti cahaya yang menyinari alam raya. Arutedja yang bersinar terang di kawasan Gunung Lawu dalam seminggu terakhir mengantarkanku bertemu dengan keluarga baru (lagi).

Titik itu bermula kala hari minggu dimana seharusnya ulangtahun kampus kami rayakan, namun kami diwajibkan mengikuti sebuah rangkaian guna mengikat benang-benang yang terpisah. Pengikatan benang-benang itu dimulai dengan pembagian nama lapangan kepada kami, yang dilanjutkan dengan sesi games-games yang melatih kekompakan. Sayang, kami yang awalnya berjumlah 28 biji harus berkurang sebiji karena suatu hal.

Maka 27 biji (biji: merujuk nama lapangan kami yang berhubungan dengan tumbuhan, entah apa artinya) dari kami memulai petualangan dan berkumpulkan mengatur strategi bersama didepan ikon kampus, Gedung Rektorat. Strategi yang picik tentu saja, yang tidak akan diceritakan disini, namun sangat membantu untuk keberlangsungan hidup kami kelak (dilapangan) wkwkw.

Setelah serangkaian screening peralatan yang menghasilkan ribuan hukuman karena keteledoran bersama, akhirnya kami mulai berangkat pukul 4 sore menuju lokasi menggunakan truk.

Sekitar pukul 9 malam truk berhenti, petualangan kami untuk 4 malam 5 hari kedepan dimulai.

[Malam Pertama]

Sial, memori jangka pendekku yang jelek mengharuskan ku terus meraba-raba kalimat laporan yang harus terus diteriakkan di malam pertama. Malam yang tidak kusenangi. Perjalanan yang super jauh diiringi kerasnya badai yang terus berembus, ditambah kalimat-kalimat tidak penting yang tak kunjung berhasil kuhapal dalam kesempatan pertama. Akhirnya entah pukul berapa saat itu, saatnya berhenti dan mempersiapkan bivak dan makan malam.

Duh, ternyata tidak satupun dari kami telah menunaikan ibadah. Setelah bivak jadi, dan makanan setengah matang dan mentah kami lahap, kuposisikan diriku dalam posisi senyaman mungkin menghadap keatas dan mulai memejamkan mata. Hei, sudah kubilang kan sebelumnya, aku belum beribadah. Kupaksakan diriku membuka kelopak mata dan mulai bertayammum. Allahu Akbar, Allahu akbar. Kumulai tiga rakaat sholat magrib dan 2 rakaat sholat isya, namun belum selesai salam, sepertinya kesadaranku menghiilang. Kubangun lagi, bertayammum lagi, Allahu Akbar, kesadaranku hilang lagi. Entah hampir tiga kali kulakukan hal yang sama, bahkan sampai harus terbawa ke alam mimpi. Namun entah selesai atau tidak selesai, aku sudah terbangun kembali dalam keadaan langit yang sudah membiru terang. YaALLAH ampunilah hamba-Mu jika malam itu kulewatkan tanpa beribadah hingga selesai.

[Hari Kedua]

Karakter-karakter teman yang selama satu semester belum terlihat akhirnya terlihat hanya dalam waktu semalam. Hebat betul si alam, membuka seluruh jeruji-jeruji yang masing-masing orang tutupi dari orang lain. Alam memperlihatkanku, karakter-karakter kami yang ada di dalam tim semalam. Mulai dari diriku yang entahlah kulihat seperti apa, namun kuartikan sendiri bahwa "Sangat Sensitif ketika Baru Bangun Tidur". Ada juga yang ternyata cerewetnya setengah mati, ataupun dia yang masih egois membantu mengurangi beban yang ada didalam tas teman (tidak peka lah ya).

Sejak pagi, kabut terus terkonsentrasi, sangat pekat. Padahal materi yang kami jalani dihari ini adalah Navigasi Darat. Kami harusnya menembak objek-objek disekitar dengan kompas dan memperhatikan sekeliling, sayang, kabut begitu tidak berbaik hati. Akhirnya kami hanya diberi tahu posisi yang harus kami plotting dan melanjutkan perjalanan dengan mengikuti pendamping.

Yang kusuka hari ini adalah tidak perlu mengeluarkan energi terlalu banyak untuk menghapal remeh temeh kalimat laporan yang masih sulit kuteriakkan. Cukup ikuti pendamping, hapal jalur apa saja yang telah dilewati, tedeng, selesai, cukup mudah. Ya walaupun harus dihukum beberapa kali karena beberapa barang harus terjatuh di tempat-tempat yang tidak kami kira.

Perjalanan selesai tepat ketika adzan magrib berkumandang. Langkah kami cukup santai karena salah satu dari tim kami mengalami cedera pada tempurung lutut kanannya. Ditambah diareku yang mulai memaksa untuk dikeluarkan. Tim di hari ini yaitu orang-orang yang berbeda dari tim sebelumnya, berisi 2 biji jantan yang membuat bivak dan 4 biji betina yang berkutat dengan bumbu dapur. BIvak selesai, mie instan juga selesai.

Sebenarnya banyak sekali bahan makan yang diberikan kepada kami. Kami diberi persediaan untuk makan tiga kali. Malam ini, besok pagi dan siang. Kami disuruh memasak untuk makan siang sekaligus dengan alasan akan berjalan sangat jauh esok hari, yasudah besok pagi saja dipikirkan. Tapi karena paraffin yang sangat sulit terbakar, sehingga malamnya kami memutuskan untuk bersantap hanya dengan mie instan plus mie dan sedikit sayur. Itu saja telah menambah daya dorong lambungku untuk mengeluarkan isi-isinya.

Kuputuskan mengeluarkan isi lambungku persis ketika adzan subuh terdengar dari bivak kami yang berdesakan. Gila aja, sesak sekali bivak yang kami buat. Kesesakan itu yang menghambatku untuk buang air ketika malam masih panjang, susah untuk bergerak. Hingga akhirnya adzan subuh berkumandang dengan syahdu, menemaniku mengeluarkan apa yang bisa kukeluarkan, mumpung masih gelap dan tak dilihat oleh orang-orang. Buang air besar pertamaku. Lega rasanya, dugaanku untuk dapat melanjutkan perjalanan dengan tenang semoga benar.

---

Lalu apakah dugaanku akan ketenangan perjalanan selanjutnya benar? Lalu perjalanan panjang seperti apa yang esoknya dijalani? Apakah tidak ada babi seukuran mio yang kami temui? Hahaha maap-maap intinya tunggu aja Part II nya.

Bersambung.

Minggu, 11 Desember 2016

[TERUNTUK KALIAN SEMUA]


Aku tidak ingin kaya. Aku hanya ingin hidup. Aku ingin melihat banyak tempat... Aku ingin menghirup seribu satu bau kehidupan.”
― Seno Gumira Ajidarma


Kehidupan SD dan SMP ku ketika masih di Pangkep, membawaku menuju perantauan. Sebuah titik awal, dari sekian kali kerutan dikeningku muncul. Kerutan untuk semua mimpi-mimpi hebat yang hingga saat ini masih menjadi mimpi. Hei, aku mengkhatamkan pulau Jawa dalam 3 tahun pertamaku (dan kulengkapi lagi 2 tahun setelahnya). Tiga tahun pertama, benar-benar memperlihatkanku dunia sesungguhnya. Pengalaman berburu ilmu di beberapa kota besar di pulau Jawa. Pengalaman menyaksikan lukisan alam titisan surga. 

Modal besar yang kudapatkan semasa SMA membawaku menuju pintu gerbang kehidupan yang nyata, kehidupan yang kelak akan kujalani.

Tidak tanggung-tanggung, jurusan terbaik dari universitas terbaik. Aku diterima. Betapa bangganya orang-orang disekitar terhadapku. Tapi, apakah aku juga bangga?

Selama menjalani proses akademik tidak sedetikpun aku bangga. Saat memperkenalkan diri di berbagai forum, saat kembali ke kampung halaman dan ditanyai teman lama, untuk bercerita tentang jurusanku, biasa saja rasanya. Mungkin karena aku dibesarkan tidak dengan rasa kebanggaan yang berlebih, tapi jujur aku merasakan hal sebaliknya, tertekan. Aku tidak menemukan jati diriku di dalam kelas, hilang, pikiranku selalu terbang entah kemana. Aku selalu berusaha berpikir positif mengenai jurusan hebat ini. 

Kata mereka (teman sesama anggota UKM Kampus) jurusanku luar biasa banyak dicari perusahaan-perusahaan. Tentu saja, itu sebabnya aku ingin sekali bergabung ketika diakhir masa SMA, mengalahkan teman sekolahku, lulus tanpa tes. Bahkan kata dosenku ketika hari pertama, 1 bangku yang kami duduki mengalahkan 50 lebih anak Indonesia yang bermimpi meraih kesuksesan, diperusahaan-perusahaan hebat dengan gaji tinggi, melalui tempat ini.

Seiring berjalannya waktu, idealisme mengenai gaji-gaji tinggi kelak ketika lulus luntur begitu saja dari pikiranku. Ada yang salah dengan pilihanku kemarin, 4 semester ku tidak memberikan apa-apa. Melalui kegiatan-kegiatan yang kuikuti diluar akademik, aku sadar bahwa duniaku yang sekarang bukanlah duniaku seharusnya. Apa yang kuhadapi sekarang tidak akan bersinggungan langsung dengan mimpi-mimpi ku ketika masih bocah ingusan. Dan keterpaksaan yang kujalani tidak akan berarti bagiku dan orang lain jika memang tetap terpaksa. Aku mulai melihat dunia bukan sebagai seorang materialis yang ingin uang sebanyak mungkin, kulihat dunia lebih dari itu.

Selama 2 tahun menggali-gali kembali keinginanku yang terpendam, aku tetap belajar dengan giat dikampus walaupun dengan nilai yang pas-pasan. Bukan pas-pasan sih, tapi sangat jelek. Namun diakhir tahun keduaku akhirnya kutemukan sebuah hidayah, sebuah tempat yang menurutku akan sangat cocok dengan orientasiku kelak sebagai sebenar-benarnya manusia dan bisa mengantarkanku menjelajahi dunia dalam arti sebenarnya, tepat seperti mimpiku.

Aku (kembali) diterima di jurusan berbeda pada universitas yang sama. Sebuah tempat yang jauh berbeda dengan yang kemarin. Pasti dalam hati kalian sekarang bertanya-tanya memangnya seberapa bagus prospeknya kedepan. Orang-orang yang berada disini saja masih sering minder dengan jurusan mereka, passing-grade rendahlah inilah itulah, sering dianggap sebelah mata oleh kebanyakan orang. Toh, kalau aku ingin prospek yang menjanjikan mengapa aku harus pindah haluan? Makanya dengan kepala yang terangkat kulawan semua argumen teman dan kakak tingkat yang masih minder. Kita jurusan yang hebat.

Belum selesai semester pertamaku, aku sempurna betul mencintai tempat baruku. Tempat dimana aku dapat belajar banyak hal, apapun dan dimanapun diriku, entah sedang kuliah, sedang jalan-jalan, sedang baca buku, sedang menonton, aku merasa setiap tarikan nafasku sangat berarti sebagai sebuah ilmu pengetahuan. 

Tulisan ini tidak menggurui, ataupun mengajak kalian beramai-ramai untuk berpindah jurusan. Namun, kaki yang berjalan di jalan yang benar akan menemukan langit biru yang indah, kerutan di keningku yang semakin kusut tidak ada artinya lagi. 
Karena jurusan yang kalian pilih tidak akan menentukan nasib kalian kelak, mau kaya ataupun miskin nantinya. Namun mengikuti apa kata hati kalian akan mengantarkan seonggok daging yang hanya punya nama menjadi manusia yang tepat dan berguna bagi orang lain.

Doaku untuk kalian.
Yogyakarta, 11 Desember 2016

AHMAD FIKRI




Sabtu, 03 Desember 2016

-Kata yang Tak Tersampaikan-

Kepalaku dipenuhi oleh jutaan kata yang tak tersampaikan
Berminggu-minggu sudah jemariku berhenti mengetik entah mengapa
Lantas, ketika ku menengok ke sebelah kanan ke arah tembok kamarku yang bertuliskan "Kepala Dua Lalu Apa?" apakah karena itu?

Rekor buku yang kuhabiskan dalam satu bulan ada pada bulan November kemarin
Begitu Spesial-kah bulan kemarin?
Ataukah jutaan kata itu yang menstimulus mataku untuk menemukan mereka disetiap halaman buku?
Kemudian membayangkan mereka, membayangkan untuk mencoba merangkai namun tak pernah terangkai?

Puluhan buku yang kubeli, tumpukan catatan-catatan kecil di dinding meja belajar, dan foto-foto yang baru saja kupajang bisa jadi menjadi saksi kebejatanku beberapa kurun waktu ini?
Lalu pantas kah aku?
Siapakah aku?

Aku selalu bermimpi agar dapat menaklukkan dunia
Cukup sendiri saja
Biarkan aku menemukan arti kehidupanku
Melalui proses-proses yang akan ku hadapi

Dirimu yang belum kutahu cukup berdiam 
Berdiam diri saja hingga kita dipertemukan
Ataukah kamu mau ikut denganku menjelajahi dunia?
Menjelajahi dalam arti sebenarnya

Karena aku akan memulai
Harus memulai dari diriku sendiri
Kemudian orang-orang terdekatku
Kemudian Negaraku, Agamaku, dan Dunia

Dan aku membutuhkanmu
Mendorongku dari belakang
Sekaligus berjalan bersamaku
Bersisian menghadapi dunia 


Yogyakarta, 3 Desember 2016
Di malam yang sunyi, dingin dan membingungkan

AHMAD FIKRI

Kamis, 10 November 2016

Kepala Dua, Lalu Apa?

Sejak kemarin, ada yang berbeda di pundaknya. Tepat 20 tahun yang lalu, disuatu rumah sakit lama yang tanahnya sekarang telah beralih fungsi. Tepat ketika adzan subuh berkumandang. Seorang bayi yang belum punya kekuatan, hanya bisa menangis ketika di telinganya di dengarkan suara adzan oleh ayahandanya tercinta. Ibunya subuh itu terharu setelah menunggu sekian lama akhirnya mempunyai anak lelaki. Anak lelaki yang cengeng kelak ketika dewasa.

Selain cengeng, juga belum mampu mengekspresikan dirinya. Yang ada cuman diam, marah, atau menangis.

Buktinya 20 tahun sejak terlahirkan, ketika teman-teman barunya memberikannya kejutan yang tidak mengejutkan, dia bungkam, Tidak tahu harus bersikap bagaimana. Sepertinya minta maaf darinya masih mengalir hingga sekarang, coba kita lihat alasan mengapa bungkam adalah ekspresi yang dikeluarkannya.

---

Di kartu keluarga, nama lengkapku AHMAD FIKRI. Namun sejak bayi entah siapa yang pertama kali memanggilku dengan IKKI. Nama yang hingga sekarang masih kugunakan dengan bangga. Dari SD hingga kuliah, hanya di masa-masa SMA aku lebih sering dipanggil dengan nama Fikri. Apalagi kalau dipanggil oleh adik kelas, tambahan kata mas bakalan bersarang di depan namaku, Mas Fikri.

Masa SMA, di sebuah desa kecil bernama Gemolong. Tiga tahun kurayakan umurku disana.

-8 November 2011-
Ulangtahunku yang ke 15 tahun, ketika itu tahun 2011. Tahun pertamaku meninggalkan rumah, merantau ke wilayah antah berantah. Surprise, kejutan dari teman-teman kelas dan Pak Emre Wali kelas kami selama tiga tahun membuatkanku sepiring gede kue yang kami puas menghabiskannya. Ditambah sebuah baju Barcelona, tim andalangue, yang ngepress jika dipakai memperlihatkan buncitnya perutku. Dan kabar gembira selanjutnya yaitu pengumuman terkait keberangkatanku menuju Olimpiad Camp antar sekolah-sekolah PASIAD di SMA Kharisma Bangsa, Tangerang Selatan. Semua itu adalah awal dari karierku dalam dunia olimpiade semasa SMA. Cukup membanggakan, setelah 15 tahun terlahir ke dunia.

-8 November 2012-
Tahun berikutnya, tidak ada yang spesial dari tanggal itu. Aku ingat bulan November tahun itu cukup menyenangkan karena diawal bulan sekelas kami berangkat ke Tawangmangu, ke berbagai spot wisata yang menarik seperti Danau Sarangan, Air Terjun (lupa namanya), terus main permainan tradisional sebelum memasak daging yang terenak yang pernah kumakan. Daging sisa Idul Adha yang entah sudah berapa bulan di frezeer dapur asrama, namun kami olah dengan bumbu Turki yang super menyengar rasanya, dengan bahan bakar kayu yang kami ambil dari hutan. Enak sekali

abaikan model, yummy dagingnya enak (*1)

Air terjun (lupa namanya) (*2)

Sehari setelah itu, ulangtahun pembina kami, Mukon abi, tanggal 2 November. Kami perankan adegan berkelahi untuk mengundangnya marah, dan setelah ketahuan akhirnya kami melemparkannya dengan tepung dan air sabun pakaian. Kami habiskan malam itu dengan bergembira dan suka cita. Minggu depannya, tepat 8 November 2012 tidak ada yang spesial buatku, palingan ulah jahat Rizky dkk mematikan lampu kelas kemudian mengejarku lalu mengotori mukaku dengan limbah penghapus papan tulis spidol. Perjalananku di dunia menginjak 16 tahun.

Ultah Mukon Abi (*3)

-8 November 2013-
Di tahun 2013, tahun terakhirku di SMA. Bertepatan dengan 17 tahunku, yang kata orang harusnya angka yang istimewa. Tapi tidak begitu istimewa denganku. 

Mungkin cerita mengecewakan bermula dari sini, dimana tahun-tahun berikutnya menimbulkan rasa sensitifku terhadap ulang tahun

Di titik dimana aku menginjak angka 17, tidak ada satupun dari teman-temanku (palingan 1-2 orang sih) yang mengingatku. Aku terlupakan karena waktu itu tertutupi oleh eforia mengerjai kembali Mukon Abi yang perayaannya diundur hampir seminggu, yang bertepatan dengan hariku, tahun ke 17 ku.

Teman-teman kelasku fokus ingin kembali mengerjai Mukon Abi. Awalnya Mukon Abi malah mengira malam itu teman-temanku ingin mengerjaiku, malam dimana umurku 17 tahun. Mukon Abi sempat menyalamiku dan mengucapkan selamat. Ucapannya tidak terlalu besar, sehingga teman-temanku tidak terlalu mendengar ucapannya. Pesta malam itu, mengeroyoki Mukon Abi berlanjut tanpa ku karena kupikir lebih baik kembali ke kamar menyendiri adalah hal terbaik bagiku. Tidak ada yang spesial ketika hari dimana umurku menginjak 17 tahun. Sama sekali tidak ada.

-8 November 2014-
Dua tahun yang lalu, di tahun 2014 ketika KTM ku belum berganti dan masih tertulis jurusan teknik kimia, umurku menginjak 18 tahun. Sensitifitasku mengenai ulangtahun bertambah, agak remeh temeh mungkin tapi bagiku sangat berpengaruh. Komandan Tingkat ku di Teknik Kimia 2014 terlalu cepat 4 hari, 4 November, memberikanku ucapan ulangtahun di grup line angkatan kami. Tentu saja grup menjadi heboh, diakhiri dengan ucapan minta maaf karena kesalahannya. Ketika tanggal 8 November 2014, bertepatan dengan malam inagurasi penyambutan angkatan kami. Tidak ada yang spesial, hanya ucapan selamat dari kawan yang sempat ku suka, yang kemudian di semester selanjutnya menjadi partner praktikumku. Umurku menginjak 18 tahun malam itu. 

Beberapa hari setelah itu, aku di asrama mahasiswa pogung baru f24a aku dijahili dengan disembunyikannya tablet kesayanganku. Aku tahu bahwa aku pasti dijahili. Aku sudah cukup sensitif dengan 2 tahun perayaanku yang tidak mengenakkan. Kukatakan pada teman-teman asrama (kebanyakan senior) bahwa tolong segera kembali sebelum jiwa monsterku kembali lagi. Sikap cepat emosiku sudah lama sekali kulupakan, aku takut di hari itu keluar lagi. Aku tidak suka dijahili. Keesokan harinya tablet ku kembali, entah siapa yang mengembalikannya. Sensitifitasku terhadap ulang tahun bertambah.

-8 November 2015-
Selanjutnya kala itu bertepatan dengan Makrab HIMAGAMA SULSEL 2016, ulangtahunku yang ke 19 tahun. Akhirnya ceritanya aku diceburkan ke kolam yang warnanya telah menjadi hijau, saking bau nya entahlah definisi apa yang dapat kuberikan tentang kolam itu. Tidak ada yang spesial selain itu, di hari itu ketika usiaku menginjak 19 tahun.

Bertepatan dengan Makrab 2015



---

Umurnya 20 tahun sejak tanggal 8 November 2016. Ia tidak berharap diberikan apapun oleh kalian, namun terima kasih sudah ingin menyempatkan hadir merayakan dan memberikannya rasa bahagia walaupun harusnya kalian mengerjakan tugas kalian masing-masing yang tentu saja menumpuk di meja belajar kalian. Muka cemberut datarnya kemarin adalah bentuk kebahagiannya, yang tidak dapat terekspresikan di hadapan kalian. 

Terima Kasih semuanya

Sekali lagi maaf, karena ekspresi yang tidak menunjukkan kebahagiaan hari itu, karena dipikirannya  ada beban. Bahwa umurnya menginjak kepala dua, lalu setelah itu apa yang harus dia perbuat lagi?


Sumber gambar:
*1-3 diambil dari album facebook Bagus Setyawan

Selasa, 08 November 2016

Tentang Hari Itu Dikala Pertama Kalinya Kulihat Matamu

Tidak akan kulupakan hari itu, hari dimana kulihat wajahmu secara nyata, bukan lewat dunia maya. Kelak akan kuceritakan kepada anakmu dan semoga juga anakku, tentang hari itu dikala pertama kalinya kulihat matamu.  

---

Salah satu perusahaan multimedia menggelar roadshow ke kampusku kala itu. Kuberitahu dia, yang berkuliah dikampus sebelah, tentang acara tersebut. Kami tak dapat janjian bertemu langsung sebab pukul 7 pagi aku ada kelas Geografi Manusia, terpaksa kami janjian bertemu di dalam gedung. Berulang kali kuperhatikan batang jam hape kamoniketer (Komunikasi dan Senter) ku. Ibu Dosen GeoMan yang sangat baik itu menjelaskan dengan sangat pelan dan lembut, sulit dimengerti teman-teman lain. Lama sekali rasanya kuliahku pagi itu selesai, mulutku buka-tutup mulai menguap karena kantuk.

Akhirnya kelas selesai. Kukebut langkahku agar tidak ketahuan teman kelasku yang rajin sekali mengajak mengerjakan tugas kelompok, tugas yang paling malas ku kerjakan. Kuputuskan berjalan kaki karena gedung tempat acara berlangsung tidak terlalu jauh. Sambil melangkah cepat melewati gedung-gedung berarsitek indah, kuhubungi dia dan menanyakan posisinya saat itu. Dia sudah berada di dalam gedung dan mendapatkan jejeran bangku terdepan di sayap timur. Kutanyakan apakah masih ada bangku kosong namun tentu saja jawabannya, tak ada lagi.

Setelah berkutat dengan panitia di pintu masuk mengenai administrasi acara, didalam gedung mulai kusisir penglihatanku agar dapat menemukannya diantara pengunjung yang penuh dijejeran terdepan. Tidak kulihat batang hidungnya hingga kuputuskan untuk mengambil tempat duduk yang masih tersedia dibagian belakang. Kuhubungi dia lagi ketika lagu Indonesia Raya dan Mars kampusku dinyanyikan semua peserta. Itu dia. Sepertinya wanita yang berpakaian loreng zebra adalah dia. Kutanyakan bahwa dia pasti berada di bangku kedua dari ujung kiri. Benar sekali tebakanku. Lanjut kukatakan bahwa posisiku berada di jarum jam 8 dari tempatnya duduk. Dia tidak mendapatkanku, katanya ketika memberitahuku lewat hape.

Sesi pertama bersama Menteri Luar Negeri Ibu Retno Marsudi selesai, dan dilanjutkan dengan sesi sharing mengenai jurnalistik, tentang bagaimana menjadi seorang jurnalis. Katanya, seorang jurnalis harus menangkap semua informasi yang diberikan oleh narasumber. Pembicara kemudian bertanya kepada peserta untuk menguji. Pertanyaannya mengenai di negara mana saja Ibu MenLu pernah menjadi Duta Besar?

Tanpa pikir panjang, entah mengapa tanganku tiba-tiba teracung sendiri. Batinku daritadi bertanya kapan tempat duduk disamping wanita itu kosong agar aku dapat maju kedepan kemudian menyapanya secara langsung untuk pertama kali. Kesadaranku kembali ketika panitia membawakanku sebuah mic agar dapat menjawab pertanyaan yang kuangkat tangani. 

Aku bingung, kenapa dengan bodohnya aku mengangkat tangan? Padahal aku tidak tahu apa jawabannya. Mukaku ditampilkan dilayar besar panggung yang dapat dilihat oleh seluruh peserta di dalam gedung. Kupandangi wanita itu, kulihat dia menoleh kearahku sambil tersenyum dan untuk pertama kalinya pandangan kami bertemu. 

Aku bersyukur karena kebodohanku mengantarkan adu pandang pertama kami, walaupun disisi lain membuatku malu ditatap ribuan pasang mata yang menertawakan kekonyolanku setelah menjawab ala kadarnya serta sedikit tersinggung dikatai oleh pemateri bahwa aku tidak berbakat menjadi seorang jurnalis. Tidak kupikirkan lebih lama mengenai rasa maluku dan perkataan itu, toh sesuatu yang kutunggu dari tadi akhirnya terjadi. Menatap sebuah mata yang semoga akan menemaniku kelak di hari tua.

---

Aku bergoyang-goyang diatas bangku kuliah, kemudian tersadar bahwa hanya aku dan teman yang membangunkanku yang berada di dalam kelas. Kutanyai dia mengenai apa yang terjadi. Dia hanya menjawab "Tidurmu di kelas Geografi Manusia terlalu nyenyak". Hm ternyata hanya mimpi yaALLAH. Ternyata hanya sebuah narasi angan-angan!

            


Sumber gambar: 
http://cdn1-a.production.images.static6.com/gPGTPrH3g05w0M50BTv0HnEEheo=/640x355/smart/filters:quality(75):strip_icc():format(jpeg)/liputan6-media-production/medias/1394053/original/042868500_1478161250-20161102AB_EGTC_01.jpg

Minggu, 30 Oktober 2016

Mimpi Siang Bolong

Aku terbangun dari tidur siang melelahkan setelah 2 harian penuh berolahraga untuk mengecek fisikku yg jauh menurun. Aku terbangun karena 2 mimpi yang abstrak (layaknya mimpi-mimpi biasanya). Namun sebelum 2 mimpi itu, ada satu skenario mimpi yang membuatku "terbawa perasaan" dari dunia mimpi. Haha entah aku tidak lagi merasakan hal yang sama beberapa bulan ini untuk sebuah mimpi yang "terbawa perasaan." 

Mimpi yang membawa perasaan pertama kali kualami ketika kelas 3 SMP, kala itu aku tergila-gila dengan adik kelas sekaligus adik dari sahabat perempuan beberapa minggu ku (kami mulai bersahabat ketika mendekati ujian nasional, dan kemudian saling melupakan seiring berpisahnya lokasi SMA). Seingatku, aku bermimpi memberikan, atau diberikan (?), sepatu untuk, oleh (?), adik itu (efek lupa, 5 tahun yang lalu coy). Aku terbangun seketika skenario mimpi tersebut berakhir dan senyum-senyum sendiri diatas tempat tidurku pada tengah malam dan langsung kuceritakan mimpi itu ke sahabatku yang lain (juga wanita).

Kemudian beberapa mimpi "terbawa perasaan" selanjutnya yang benar-benar sudah kulupakan. Hingga akhirnya mimpi hari ini. 

Kucoba mengingat-ingat mimpi yang baru 30 menit lalu aku terbangun. Semoga dapat kubayangkan kembali dan menuliskannya.

Oke, mimpi itu berlatar belakang salah satu acara keluargaku yang entah acara apa, dan dimana. Layaknya abstraksi mimpi, aku tidak menemukan kejelasan mengenai acara apa yang berlangsung dan dimana lokasinya. Intinya, dalam mimpi itu selain aku kedatangan orang-orang yang memang ada disekitarku sekarang (di Jogja), aku juga kedatangan tamu spesial masa laluku yang datang dari Surabaya dan Makassar. Aku terkejut di dalam mimpi.

Acara abstrak yang berubah-ubah konsep itu hampir selesai, disertai tempat yang berpindah-pindah akhirnya kuberanikan memanggil tamuku yang berasal dari Makassar dan mulai kuinterogasi motif kedatangannya. (Tamu dari Surabaya ku juga sempat bersamanya, namun beberapa saat menghilang).

Entah apa yang kami bicarakan sebelum percakapan inti dari cerita ini terjadi. Inti cerita dari skenario mimpi ini, kami membicarakan tentang perjuanganku mencari cinta pada episode sebelum hari ini, bahwa perjuanganku adalah perjuangan yang sia-sia. Benar sekali, dia kembali mengingatkanku episode tersebut. Kemudian kami berjalan bersama hingga akhirnya sampai di daerah asalku, Pangkep, dan bertemu kakak tingkat organisasi kampus (kenapa dia ada di daerahku? serta kakak ini entah mengapa mengenal kami berdua, padahal hanya aku yang berkuliah di UGM), dan mencie-cie kami yang memutuskan kembali merajut asa.

Hm sangat "terbawa suasana." Padahal kami sudah lama memutuskan untuk tidak lagi melanjutkannya. Cerita kami berlangsung sebelum perjuangan sia-siaku terjadi.

Setelah skenario itu, skenario berubah dengan sesautu yang tidak jelas dan menakutkan, tak usah ku ceritakan.  

wkwkwkwkw

Setidaknya ada angin segar yang membuka pikiranku, bahwa perjuangan kemarin memang sia-sia dan kesia-siaan itu telah lama berakhir, tak terlanjutkan. Seperti pertanyaan yang ditanyakan adik tingkat ku tadi di Sunday Morning (SANMOR) UGM, kujelaskan kembali bahwa aku tidak lagi ingin menyia-nyiakan waktu.

Rabu, 26 Oktober 2016

Fieldtrip EGSA FAIR 2016

Kupaksakan badanku bangun pagi-pagi sekali, padahal kemarin kepalaku terasa sakit sehingga tidak dapat mengikuti rangkaian gladi kotor pelantikan Unit Kesehatan di kampusku. Pagi ini ada agenda fieldtrip alias belajar sambil jalan-jalan yang dilaksanakan oleh Environmental Geography Student Association (EGSA) alias Himpunan Mahasiswa Geografi Lingkungan UGM. 

Kukenakan perlengkapan lengkap lapanganku sekaligus tidak lupa kubawa jas hujan dan botol air minum yang sangat berguna pastinya. Sesampainya di kampus, ternyata peserta yang mendatar sebagai mahasiswa hanya aku berdua dengan temanku yang juga penasaran untuk ikut. Okelah, kami hanya berdua peserta mahasiswa yang dikelilingi belasan remaja SMA dari beberapa daerah.

Fieldtrip EGSA Fair 2016 ini ternyata baru taun ini terlaksanakan, itupun merupakan hibah dari dalah satu dosen. Tujuan pertama kami setelah memulai perjalanan yaitu SMAN 1 Wonosari, Gunungkidul. Baru kumengerti setelah berada di SMA itu, hubungan antara hibah dan fieldtrip ini terbayang di anganku setelah peserta fieldtrip mayoritas menunggu kami di sini. Oke, not bad. Setidaknya acara ini sangat berguna.

Fieldtrip Nasional 2016

Kukira fieldtrip  itu langsung saja kita ke lokasi yang tertuju sebagai bagian dari lapangan, ternyata terdapat sesi materi terlebih dahulu. OK, sangat menyenangkan bisa mendapat ilmu baru yang sangat berguna. Sesi pertama diisi oleh dosen Geografi UGM, dengan tema Geohidrologi di Kawasan Karst Gunung Sewu, Gunungkidul. Selanjutnya dilanjutkan dengan pembicara mahasiswa Pascasarjana Geografi UGM yang memaparkan tugas akhirnya yang intinya bertemakan mitigasi bencana tsunami di daerah pantai di Gunungkidul dengan metode foto udara. Dan berakhir setelah adzan dzuhur berkumandang dengan sesi terakhir diisi dengan materi Biodiversity dan Campaign Pemuda di sekitar Gunungkidul oleh mas Edi.

Setelah sholat dzuhur, akhirnya tujuan pertama kami yaitu Kawasan Karst Window Ngingrong yaitu merupakan amblesan karena adanya gua bawah tanah sehingga menimbulkan pemandangan yang cukup menarik.

Ngingrong Geopark

Setelah mendengarkan penjelasan mengenai terbentuknya amblesan ini serta sungai bawah tanah yang ada dibawahnya juga mengenai biodiversitas yang ada, akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju pantai dimana sungai bawah tanah itu berakhir, Pantai Baron.

Bersama seluruh peserta fieldtrip

Setelah penjelasan tentang muara sungai yang membentuk sungai yang berpindah-pindah tiap musin serta kehidupan burung-burung walet yang terbang diatas kami, saatnya sesi bebas selama 10 menit. Haha tidak disangka junior alias seniorku yang bernama Cahyadi menangkap momen sok candid ku, bagus sekali rasanya foto dibawah ini.

Kusukana deh wkwkwk

Setelah dari Pantai Baron kemudian sesi terakhir yaitu ke Pantai Kukup yang juga keduanya baru kudatangi selama 2 tahun lebih perjalananku di Jogja. Tidak ada sesi materi di Pantai Kukup, hanya menghabiskan senja yang masih malu-malu diufur barat negeri.

"Kakak-kakak" EGSA yang mengurusi perjalanan kami @Pantai Kukup

Kemudian matahari pergi begitu saja ditandai dengan adzan Magrib yang tak terdengar jelas dari jalanan sepi keluar dari kawasan pantai. Kami melanjutkan perjalanan kembali ke SMAN 1 Wonosari untuk memulangkan peserta yang berasal dari sekolah ini. Sekaligus menunaikan sholat Magrib serta Isya yang ternyata sebentar lagi akan dilaksanakan.

Akhirnya, dengan perjalanan sekitar 2 jam yang mulus-mulus saja ditemani pemandangan kerlap-kerlip cahaya lampu di sekitaran Yogyakarta yang terlihat dari Bukit Bintang, kami sampai di kampus tepat pukul 9 malam dan langsung kembali ke tempat asal masing-masing, melanjutkan kehidupan tanpa melupakan apa yang telah terjadi hari itu.

---





Senin, 17 Oktober 2016

Aneh, Belum Tengah Malam

Diiringi lantunan ayat suci yang berkumandang dar speaker tua menara mesjid di pinggiran Sleman, mulai ku menulis lagi, walaupun kutau pastinya setelah adzan berkumandang kutinggalkan tulisan ini untuk menyeru kepada panggilan-Nya. Maha Suci Engkau, yang membolak-balikkan hati manusia.

---


https://www.youtube.com/watch?v=2ep_5iOgtC0


Inilah Rumah Ibu
Inilah Rumah Kita 

Dengan segala keindahan untuk kita nikmati
Dengan segala kekurangan untuk kita perbaiki
Kita bisa pergi ke kota dan tinggal disana
Tapi sampai kapanpun

Kita akan tahu
Bahwa ada tempat dimana kita bisa pulang
Tempat dimana kita bisa diterima

Itu penggalan kalimat dari sebuah iklan AQUA yang sedang mengkampanyekan #TemukanIndonesiamu. Iklan diatas merupakan salah satu iklan dari beberapa kumpulan video pendek yang diciptakan pemuda kreatif bangsa. Video tersebut berlatarkan kampung Geo-wisata Rammang-Rammang di pedalaman Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Dengan memperlihatkan suasana kesunyian dan panorama yang tak terkalahkan ditambah narasi yang kuat tentang tempat dimana kita tinggal dan kembali, sang sutradara berhasil menggetarkan hati siapapun yang menontonnya. Terlebih lagi mereka yang berasal dari daerah Sulawesi Selatan yang langsung mengerti percakapan yang digunakan dalam video.

---

Pukul 23.16 malam ini kulanjutkan ceritaku setelah kutinggalkan tulisan diatas untuk sholat magrib, makan malam, sholat isya, sedikit mengaji dan menyelesaikan laporan praktikum yang dikumpul esok hari. Setelah mengeprint laporan ditemani sepiring indomie kakak asrama yang ditinggal karena tugas akhir, dan sisa-sisa martabak yang kubagi berdua dengan kakak asrama yang lain, kulanjutkan cerita ini.

Sepertinya harapan ikut PKM-K harus ku kubur tahun ini. Kemalas-malasan mereka terutama kemalasanku membuat rasa pesimis begitu saja memekar. PKM sebenarnya hanya menjadi alasanku agar dapat pulang ke Makassar karena PIMNAS 2017 kabarnya akan diadakan di Makassar, entah universitas mana. Alasan agar melanggar janjiku untuk tidak kembali sebelum ijazah berada ditangan.

Mengenai janji itu, telah kuputuskan sebelumnya bahwa aku berniat untuk tidak pulang ke kampung halaman sebelum menyelesaikan kuliahku. Namun diriku juga sering berfikir, namun untuk beberapa alasan bolehkah aku pulang? Kurasa pilihanku hanya menghabiskan liburan dengan sesuatu yang berguna. Seperti belajar bahasa inggris di kampung Inggris-Pare, Kediri. Atau tidak jika aku pulang setidaknya untuk sesuatu yang berguna seperti belajar banyak hal bersama kak Rahmat dan kak Dedy yang aktif dibidang kerelawanan pendidikan dan adventuring.

Setidaknya jikalau diijinkan untuk KKN di daerah Sulawesi Selatan, harusnya kuambil saja tawaran itu karena mengabdi untuk daerah sendiri adalah seuah kewajiban ditambah belajar kembali bahasa daerah asal yang lebih dari 5 tahun terlupakan dikarenakan jarak yang memisahkan.

Sebenarnya logika dan tekadku terus bertarung memikirkan siapa yang harus dipertahankan. Apakah prinsip untuk tidak kembali sebelum lulus harus dipegang erat tanpa pengecualian, ataukah logika pikirku yang mengatakan untuk mengabdi setiap kali ada kesempatan untuk mengabdi ke daerah asal? Entahlah, seiring berjalannya waktu harusnya akan ada yang mengalah.

"Pulang tonjeki itu pasti nanti"

Itulah kata-kata nyinyir dari seorang tak berperasaan yang tidak memiliki hati. Betapa dia tidak tahu gejolak yang sedang terjadi namun dengan mudahnya menyimpulkan suatu hal. Ya, kadang gegara pernyataan tersebut prinsipku semakin menggebu ingin membuktikan kepadanya bahwa lelaki harus berprinsip.

--- 

Kupandangi perut buncitku yang kenyang karena camilan tengah malam. Kata-kataku yang keluar dahulu tentang pasti kelak juga kembali kurus belum menemui kenyataan. Wacana saja setiap sore atau pagi untuk pergi jogging ataukah sabtu-minggu pagi berangkat berenang. Nyatanya tak sekalipun sudah.

Setelah kupandangi seluruh agenda di kamarku, aku hanya baru merampungkan sekian persen dari proyek perpustakaan ku dan belum memulai berbagai proyek lain seperti video, rompi bahkan target membaca buku-buku tebal bahan kulaihpun belum ku mulai. Belasan buku hasil hunting bukuku di gramedia gudang belum kubuka. 

Dengan sisa-sisa uang yang harus irit-irit ku atur agar tidak segera habis, kucoba mondar-mandir atm siapa tau ada rejeki dari om atau tanteku yang biasa mengirimkan uang namun ternyata nominal yang tampil hanya menunjukkan angka itu-itu saja bahkan terus berkurang setiap 3 hari karena terpaksanya ditarik untuk mengganjal gantong perut yang terus berbunyi.

---

Haha, kembali ke masalah asrama, eh asmara, Kuputuskan untuk berhenti berspekulasi aneh yang sepertinya tidak harus dengan cepat kutahu, Berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, waktu akan sangat tepat sebagai teman menunggu yang sabar. Tanpa memaksakan, tanpa berhenti berharap.

Jumat, 14 Oktober 2016

Pokok masalah ada di akhir artikel (Baca sampe habis)

Aku terbangun seperti hari-hari sebelumnya, sekitar pukul 5 pagi. Padahal jam 5 pagi Jogja sudah sangat terang dimana lalu lalang kendaraan sudah sangat ramai di jalan Kaliurang menuju Ringroad. Susah betul untuk dapat bangun subuh pukul 4.20. Biasanya saya terbangun di jam-jam sekitar itu, mataku saja yang berhasil terbuka tetapi seluruh badan tetap ciut karena dinginnya kamar dan kurangnya tekad untuk segera bangun.

Pukul 10 malam tadi, aku segera tidur di kasur empukku. Entah mengapa aku malas melakukan aktivitas belajar jika magrib hingga setelah isya kuhabiskan diluar kamar sumpek ku. Sudah berapa malam kuhabiskan dengan beradu nasib diluar kamar, namun tetap saja tempat tidur adalah suatu hal yang sangat dicari ketika memasuki ruangan 2,5x3 meter ini.

Semalam kudapati diriku kembali menemui masa orientasi bagi mahasiswa baru. Hm aku memang bukan mahasiswa baru dikampusku, namun aku mahasiswa baru di jurusanku sekarang. Entahlah, sudah berapa minggu pikiranku melayang mengenai egoku yang harus kuturunkan. Mungkin setelah ini, ketika melihat mereka-mereka angkatan 2014 dan 2015, kupanggil saja dengan namanya jika kutau namanya. Malas memanggil dengan nama mas/mbak padahal aku sendiri lebih tua atau sepantaran.

Bukan mengenai diriku, kali ini mengenai angkatanku yang bernama GEL16 yang dulu pernah kuceritakan. Kalian ingat dengan seorang yang menganggap dirinya boss diangkatan? Ya, mengapa aku harus bersusah-susah memikirkan dia? Semalam kuputuskan berhenti berfikiran buruk tentangnya. Dan juga sepertinya aku bakalan menjadi orang yang melihat saja dinamika yang terjadi di angkatan, biarkan "adik-adikku" menjalani masa awal kuliahnya dengan konflik yang harus mereka pecahkan sendiri solusinya.

Aku berhenti untuk membantu sebagai garda terdepan. Mungkin setelah ini aku akan membantu namun tidak secara langsung, melihat dari jauh saja sudah cukup. Namun tolong jangan lupakan aku.

Kemudian, mengenai PKM yang kuinginkan. Ha, niatku saja yang tidak bagus. Ingin mengiktuti PKM karena PIMNAS nya nanti di Makassar. Tujuan yang tidak salah, namun tidak begitu saja membulatkan tekad untuk serius membuat PKM. Haha aku perlu bantu kalian, namun sepertinya belum kali ini kalian dapat membantu, yasudah kubuang saja ide PKM itu dan kita lakukan ide itu diacara lain atau kita kerjakan saja sebagai project mandiri kita.

Hey, aku lupa dengan project perpustakaanku. Sudah berapa minggu mereka berserakan ya? Sepertinya setelah ini akan kucari lagi file yang memuat data buku-buku tsb dan segera ku print menggunakan printer kakak asrama. Kelihatannya buku-buku disana sudah berantakan tidak tau berada dikamar mana dasar kalian yang selalu kesana dan membaca buku namun tidak pernah berhasil mengembalikannya dengan rapi.

Heran juga, mengapa orang-orang kami (Sulsel) selalu penuh dengan ide-ide brilian. Namun tidak ada aksi yang kami buat untuk sekedar memulai. Aku merasakan hal itu ketika aku masih di daerah dan sekarang di Jogja bersama orang daerah. Ide brilian tanpa permulaan aksi sama saja nol (besar).

Ada beberapa list yang harus kukerjakan hari ini, mendaftarkan diri di fieldtrip Egsa Fair 2016, mengikuti Riset Class #1, mengeprint judul-judul buku perpustakaan dan entahlah hal apa lagi yang harus kulakukan, mungkin hanya membaca. 

---

Hahah apasih, setelah sedikit berfikir akhirnya kuputuskan dengan cepat untuk menulis yang ingin kusampaikan disini saja, di artkel tak bermutu yang menuliskan begitu saja apa yang ada dipikiranku.

Umurku tidak muda lagi, sekarang aku 19 tahun dan bulan depan (jika takdir masih menghendaki) aku resmi berkepala dua. Tidak muda untuk ukuran mahasiswa baru yang masih menempuh semester pertamanya. Hidup memng seperti ini, bakalan berputar saja kecuali kalian berani mengambil jalan yang berbeda.

Memangnya apa yang berputar? Kali ini akan kubahas saja tentang cinta. Cinta yang pergi begitu saja dan datang begitu saja (dasar "anaktua" yang selalu galau).

Kalau kalian pernah membaca tentang perjalananku menembus batas Yogya-Surabaya-Pangkep untuk mencari jawaban sesuatu, disitu ada percakapan antara aku dan teman SMA disebuah mesjid di kampus ITS Surabaya. Intinya tidak usahlah dulu berpacaran, ya intuisiku juga mengatakan demikian.


Suatu kebanggaan jika dapat mempertahankan sebuah prinsip. Namun apakah aku harus mempertahankannya? Bukan masalah berpacaran. Namun aku butuh seseorang yang dapat mengingatkanku terus, mengurusiku, dan membakar semangatku ketika kembali jatuh. Aku belum menemukan. Tapi semoga saja salah satu dari kalian yang membaca ini dapat terketuk pintu hatinya dan mau menjadi seseorang yang spesial untukku? WKWKWKW Berharap

Apasih, tdak jelasnah deh.

WKWKW Tulisan yang tidak karuan tertulis saja kemudian dibagikan agar kalimat terakhir dapat dibaca oleh para wanita.