Jumat, 24 Maret 2017

Chapter One: Bagian 2 Kisah Cinta SMA (1)

CHAPTER ONE

Part 2
Kisah Cinta SMA (1)
           
            Baru sebulan lebih seminggu menjalani kehidupan baru, ternyata liburan Idul Fitri mengharuskan kami kembali ke kampung halaman. Pertemananku dengan teman-teman dan kakak seperantauan makin erat apalagi ditambah momen perjalanan pulang yang mengasyikan. Kami naik pesawat melalui Surabaya setelah melakukan perjalanan panjang dan melelahkan dari Sragen menuju Bandara Djuanda. Pilihan itu kami ambil setelah hitung-hitungan biaya, antara lewat Bandara Adisutjipto Yogyakarta ataukah Bandara Djuanda Surabaya yang ternyata lebih alternatif-ekonomis  untuk memilih pilihan kedua.
            Sebentar saja kami di perantauan, namun rasa rindu akan teman-teman SMP sangat bergelora. Akhirnya dengan sedikit inisiasi, dicetuskan membuat sebuah acara buka puasa sekaligus dalam rangka reuni beberapa bulan perpisahan. Kami semua bertemu, saling sapa dalam suasana menjelang hari kemenangan.
Dahsyat. SMP ku luar biasa. Padahal jika dipikir-pikir termasuk dalam kategori SMP terpencil, namun alumninya menyebar di mana-mana. Ada yang melanjutkan sekolah di SMA 1 dan 2 Pangkajene, yang selalu bermusuhan dalam arti positif. Lalu ada yang bersekolah di Kota Makassar dan Gowa yang banyak sekali sekolah favorit, ataukah ke negeri antah berantah Jawa yang kemudian tersebar lagi di beberapa kota, beberapa provinsi.
Pertemanan baik kami malah bermula ketika kami sudah tidak bersama-sama dalam atap sekolah yang sama. Namun dengan alasan sekolah baru kami yang saling berafiliasi, memberikan suatu ikatan yang kuat antara kami para perantau Pangkep. Walaupun mereka berada di Jogja dan Bandung, namun komunikasi kami sangat baik. Ditambah momen Olimp-Camp yang ternyata menyatukan mayoritas dari kami. Lengkap, saat itu Tangerang rasa Pangkep. Pecah!
Persahabatan terasa begitu erat, suka duka yang sering kami ceritakan ketika kembali berlibur ke Pangkep. Kalau sedang berlibur, palingan teman main yang paling sering adalah mereka. Bagaimana tidak? Tidak bersekolah di daerah asal sedikit memberikan kesan bahwa kami tidak terlalu memiliki banyak teman lain. Padahal masa-masa SMA adalah masa yang harusnya dihabiskan dengan membuat banyak sekali relasi pertemanan.

---

Kisahku untuk bagian ini baru akan kuceritakan.
Bermula ketika liburan lebaran Idul Fitri pertama, ketika kulihat postingan foto salah satu temanku yang bersekolah di Jogja. Seketika disaat itu ku chat dia lalu bertanya tentang teman cewek yang berada difoto bersamanya.
Kesan pertama yang baik. Entah mengapa, kesan pertama untuk setiap orang yang kita temui akan selalu membekas bukan? Walaupun tidak semua pada akhirnya memiliki sifat seperti yang sudah kita judge pada kesan pertama, namun tetap saja perlakuan kita selanjutnya adalah manifestasi dari itu. Ataukah mungkin cuma aku saja yang seperti itu? Misalkan temanku yang kesan pertama kuliat songong, sombong, caper (cari perhatian) walaupun selanjutnya ternyata dia tidak seperti itu sepenuhnya, namun pikiranku selalu menasbihkan bahwa dia itu begini-begitu. Pemikiranku dangkal sekali saat itu.
Aku memperoleh kontak cewek tersebut setelah panjang sekali alibi kubuat kepada temanku agar dia dengan sukarela mau berbagi. Hei, aku direspon sangat baik, kesan-kesan yang menggembirakan. Percakapan-percakapan berlanjut terus hingga masa liburan selesai. Aku kembali ke Sragen, dan dia (temannya temanku) kembali ke Jogja. Karena peraturan tentang pelarangan penggunaan HP di lingkungan sekolah dan asrama di hari Senin hingga Jumat, kami hanya dapat berkomunikasi di hari Sabtu dan Minggu saja. Hari-hari itu kami maksimalkan komunikasi walaupun masih membahas hal-hal yang tidak jelas.
Periode belajar kembali rehat. Satu semester sudah kami berkomunikasi. Entah mengapa perasaanku merasa bahwa aku dan dia sangat cocok. Hobi membaca yang sama, serta cerpen-cerpen karyanya yang selalu meraih juara, melejitkan semangatku untuk terus menggali lebih dalam tentang dirinya.
Kuputuskan untuk berhenti mengharap pada adek teman SMP ku yang memang tidak pantas tuk diharap, karena pengharapanku terlihat hanya satu arah. Kubuang semua foto-foto tidak jelas tentangnya (adek teman SMP) di folder usangku, ku sembunyikan baju coretan kenangan kelulusan SMP yang di kerahnya tertulis lengkap namanya. Kubuang jauh-jauh, jauh sekali. Hingga tidak pernah terlihat lagi.
Aku punya motivasi baru. Walaupun sekian kali kunyatakan perasaan lewat telepon namun tetap tak diterima dengan alasan menjaga prinsip, namun hubungan kami malah bertambah baik. Sampai-sampai pikiran-pikiran untuk mengikuti kegiatan ekskul jurnalistik, meluangkan waktu menulis cerpen tak jelas, serta angan-angan untuk melanjutkan kuliah kelak di jurusan Sastra Indonesia muncul karena dia.



            

Selasa, 21 Maret 2017

Chapter One: Bagian 1 Kisah SMA (1)

CHAPTER ONE

Part 1
Kisah SMA (1)

            Titik ini adalah titik yang akan menentukan titik-titik selanjutnya. Ragaku terdampar di sebuah desa bernama Gemolong, sekitar 30 menit-an dari Kota Surakarta (alias Solo) lebih dekat daripada pusat ibukota kabupaten yang berjarak hampir sejam.
Gemolong masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. Benar sekali, aku melanjutkan SMA tidak di daerah asal melainkan merantau jauh ke tempat orang. Pulau yang bernama Jawa dihuni oleh sekitar hampir 60 persen dari total penduduk Indonesia. Pulau yang sangat padat, kalau menurut teori kepadatan penduduk sudah tidak memenuhi untuk menampung semua jiwa-jiwa yang ada.
            Lalu bagaimana mungkin aku sekarang ada disini? Bagaimana caranya?
            Singkat cerita ketika masa-masa akhir SMP, setiap selesai beribadah kusampaikan do’a-do’a yang kurasa sangat mustahil. PIkiranku saat itu hanya berdo’a tanpa melihat realitas. Bukankah skenario hidup sudah di tentukan Tuhan? Jalanku setelah ini sudah ditulis oleh Tuhan jauh sebelum aku dilahirkan. Dan ternyata Tuhan mengabulkan do’a ku. Tanpa pernah kusangka-sangka.
            Sekolahku bernama SMA Negeri Sragen Bilingual Boarding School atau biasa dipanggil SBBS. Salah satu sekolah yang dikelola oleh yayasan yang berbasis di Turki. Sekolah-sekolah dari anak yayasan ini merupakan sekolah-sekolah favorit, pemenang banyak sekali medali olimpiade baik nasional maupun internasional. Lalu seorang yang sangat nakal bagaimana mungkin diterima? Begitulah takdir Tuhan, sampai saat ini pun aku selalu bertanya-tanya mengapa.
            Benar sekali, semenjak berada di daerah Jawa, terutama di Gemolong ini mau tidak mau siswa-siswa harus beradaptasi dengan budaya lokal. Shock-culture yang paling berpengaruh terkait bahasa. Walaupun di sekolah yang ber-asrama ini diwajibkan untuk menggunakan dwi-bahasa yaitu Inggris dan Turki, namun tetap saja 24 jam non-stop yang kudengar adalah bahasa Jawa. Mulai dari bangun pagi untuk bergegas sholat subuh hingga kembali terpaksa terlelap karena jam malam telah tiba.
            Makanya mulai dari bagian ini aku belajar menggunakan kata ganti “aku”, karena aku sudah tidak berada di wilayah yang menolak keras ke-“aku”-an. Walaupun bahasa Jawa mempunyai beberapa tingkat bahasa, dimana kata “saya” saja dapat berbeda-beda artinya sesuai strata sosial orang yang berbicara dan orang yang diajak berbicara.
            Secara umum tingkatan bahasa Jawa terbagi menjadi tiga yaitu Ngoko, Madya, dan Krama. Setiap tingkatan ini dibagi lagi menjadi beberapa tingkatan yang hingga sekarang aku tidak mengerti sepenuhnya. Misalnya saja kata “tidur” yang dalam tingkat bahasa Ngoko berarti “turu”, “tirem” dalam Madya, dan “sare” dalam Krama. Beuh, pusing tidak sih? Tidak seperti bahasa Makassar, dimanapun kapanpun, siapapun yang berbicara, sedang apapun pembicara maka kata “tidur” tetap diartikan sebagai “tinro”.

---

            Drama panjang yang membawaku menuju sekolah ini tidak akan selesai jika kusebutkan disini, makanya kalian cukup tahu saja kekuatan do’a.
            Dengan predikat sekolah unggulan nasional berorientasi juara olimpiade, mau tidak mau untuk menyeimbangi tekanan dari sekolah dan teman-teman lainnya kuputuskan untuk mengikuti Olimpiade mata pelajaran Kimia. Kebetulan Ibuku seorang guru kimia di SMAN 1 Pangkajene, namun tentu ditempat baruku aku tidak akan bisa belajar kimia dari ibuku.
            Usahaku belajar kimia sendiri sedikit menemukan titik terang setelah mengikuti Olimpiade Kimia Nasional di Universitas Gadjah Mada. Walaupun peringkatku sangat-sangat jauh dari harapan, namun aku berada pada urutan kedua diantara teman seangkatan yang juga ikut lomba tersebut. Tidak membanggakan memang, namun hasil itu cukup untuk guruku memilihku guna mengikuti pelatihan olimpiade atau biasa kami sebut Olimp-Camp di salah satu sekolah yang juga anak yayasan sekolahku yaitu Kharisma Bangsa Tangerang Selatan.
            Singkat cerita aku dilepas teman-temanku untuk mengikuti Olimp-Camp setelah merayakan ulangtahun pertamaku yang jauh dari orangtua. Walaupun sampai saat ini merayakan ulang tahun adalah hal yang tabu bagi ku, namun momen saat itu cukup mengungkapkan betapa ramahnya keluarga baruku di kelas 10A. Tesekkur ederim
            Selama masa Olimp-Camp, pikiranku terus melayang tidak jelas. Entah karena merasa tidak pantas dibandingkan kehebatan teman-teman  baru (lagi) yang kutemui, ataukah pelajaran-pelajaran yang tidak dapat kucerna langsung. Ataukah apa? Di hari yang kesekian aku drop, mengeluarkan segalanya dalam bentuk rengekan yang kucurahkan kepada orangtuaku didalam telepon genggam. Namun pembinaku saat itu meyakinkanku, bahwa saatnya untuk melanjutkan perjalanan.
            Tetap kulanjutkan masa pelatihanku hingga selesai, bahkan beberapa bulan kemudian untuk Olimp-Camp selanjutnya hingga ketiga dan keempat kutamati. Walaupun perkembanganku tidak begitu meyakinkan, namun cukuplah untuk mengantarkanku ke tingkat Provinsi Jawa Tengah. Sayangnya, persaingan di Jawa Tengah yang begitu ketat, apalagi peraturan bahwa hanya 2 delegasi yang dapat mewakili setiap sekolah maka setelah melihat pengumuman yang kutunggu-tunggu ketika berlibur di kampong halaman ternyata tidak kulihat namaku terpampang, Hanya ada nama teman seangkatanku yang memang sejak awal sangat prospektif ditambah adik kelasku yang pada akhirnya berhasil meraih Medali Perak ICho ( Int. Chemistry Olimpiad) 2 tahun beruntun. Hahah, penghargaan adik tingkatku sering kujadikan alasan mengapa aku kalah olehnya, karena jelas saja kemampuan dia telah terbukti sampai ketingkat internasional.
---


Senin, 20 Maret 2017

Sebuah Prolog

PROLOG

            Adalah kisahku, kisah yang menuntunku untuk berada pada titik-titik yang kemudian kugaris sebagai garis semu sebuah perjalanan. Adalah kisahku seorang anak manja yang terpukau akan hebatnya alam raya yang Tuhan ciptakan begitu teratur. Adalah kisahku, tentang keluarga yang harus berjuang untuk terus bermimpi dan mengejar mimpi-mimpinya dengan segala keterbatasan. Adalah kisahku kisah sebuah perjalanan yang tidak mudah diraih. Adalah kisahku tentang cinta yang akan kuhadirkan mencolok dalam karangan ini.
---
            Nama saya IKKI, begitulah orang-orang di sekitar saya memanggil. Nama IKKI terlahir ketika kakek saya memplesetkan nama asli FIKRI (dari bahasa Arab: Fiqr) menjadi pIKKIli’ (bahasa Makassar: Pikkiri’) yang artinya sama: “berfikir”. Cerita itupun saya dengar hanya dari cerita-cerita ibu dan tante saya, berhubung kakek saya menghembuskan nafas terakhir ketika saya masih belum bisa mengingat apa-apa. #RinduKakek
            Saya berasal dari daerah Sulawesi Selatan (Sulsel), tepatnya di Kabupaten Pangkep yang merupakan singkatan dari Pangkajene dan Kepulauan. Silahkan cari di Google mengenai daerahku. Makanya dalam karangan di bagian ini saya memulai bercerita menggunakan kata ganti “saya” karena dibagian ini saya akan bercerita tentang masa-masa kecil saya yang memang di Sulsel, dimana semua orang menggunakan kata ganti “saya” dan tidak berani berkata “aku” karena akan dianggap sebagai anak yang alay.
            Tidak salah orangtua saya memberi nama asli AHMAD FIKRI yang mereka artikan sebagai “ahli fikir”. Tidak bermaksud menyombongkan diri namun realitanya berkat do’a-do’a yang terus berkumandang sebagai nama yang melekat pada diri saya, saya dianugerahi kemampuan berfikir sedikit lebih baik. Memang belum pernah memperoleh predikat terbaik, namun peringkat 5 besar selalu saya raih semasa SD bahkan memperoleh peringkat 3 diakhir masa kelas 6 SD.
            Begitupun di SMP, peringkat 1 saya boyong dengan begitu gampang saat kelas 7 di SMPN 2 Pangkajene. Namun, kenapa bisa peringkat saya jatuh ketika naik kelas 8? Saya rasa usia yang sedang nakal-nakalnya menanggapi rasa cinta, ditambah keikutsertaan dalam ekstrakurikuler Pramuka plus rasa-rasa cinta monyet yang mulai menghantui anak-anak labil seperti saya.
            Kaget ketika melihat cinta (monyet) pertama, teman SD yang awalnya melanjutkan SMP di Kota Yogyakarta kemudian berada di SMP saya karena dia pindah sekolah kembali. Bertingkah tidak sehat ketika ada teman cewek yang meminta nomor telepon padahal saat itu saya belum punya HP namun ternyata beberapa minggu kemudian teman cewek itu malah pacaran dengan sahabat saya hingga akhirnya saya membuat fake-facebook yang mengatasnamakan hubungan mereka. Kemudian kembali di-tikung oleh sahabat seperjuangan di Pramuka saat sedang menyukai senior cewek dalam organisasi yang sama.
Atau tentang friendzone bersama teman yang rumahnya sangat dekat dengan rumah saya sehingga rumahnya menjadi jalur wajib yang harus saya lewati dalam menemani program peng-kurusan badan apalagi sudah mendapat izin dari adeknya sendiri bahwa saya cocok dengan kakaknya. Dan akhirnya cinta (juga monyet) yang saya akhiri dengan sembunyi-sembunyi menyukai adek teman baik saya semasa persiapan menghadapi Ujian Nasional.
            Sekelumit cinta-cinta yang tidak jelas pasti menghantui setiap insan muda di dunia ini. Namun pengalaman-pengalaman yang pernah saya lalui ternyata tidak serta merta berpengaruh terhadap beberapa kisah cinta selanjutnya.