Jumat, 28 April 2017

Waktuku Se-pekan (Last)

[Me-manage perasaan]



Aku sungguh menyesal karena di pekan keempat dan kelima ku aku memutuskan untuk menjauh. Di pekan-pekan itu malah aku kehilangan momen yang menurutku sangat penting, setelah mendengar pengakuannya.
Sekarang Langit sedang tidak berada di Jogja selama sepekan karena harus menyelesaikan kewajiban akademik. Dan tugasku sekarang, mencari tahu bagaimana aku harus bersikap terhadapnya setelah ini, dan setelah sepekan ini. WAKTUKU HANYA SEPEKAN

Selesai

Waktuku Se-pekan (6)

[Me-manage perasaan]



Dia menghubungiku, katanya kami perlu ngobrol lebih banyak lagi. Dia kembali menekankan hubungan kami, sebagai sedikit lebih dari teman biasa.
Katanya aku tidak bisa menjadi orang spesialnya. Selain karena alasan prinsip hidup, ternyata selama ini hubungannya bersama Langit sangat complicated. Dia bilang tidak dapat membuka banyak terkait hubungan mereka kepadaku, dia sudah jauh masuk ke kehidupan Langit dan mereka punya janji bersama entah apa aku tidak tau.
Sungguh aku bingung sekarang dimana posisiku dan siapa aku setelah ini dimatanya.

Bersambung

Waktuku Se-pekan (5)

[Me-manage perasaan]



Saatnya kita kembali ke masa sekarang. Masa dimana berarti pekan keenam sedang berlangsung. Diakhir pekan nanti kami akan berangkat ke Merapi bersama teman-teman UKESMA ku, dia sendiri yang meminta ikut setelah kuberi tahu rencanaku.
Saat ini Kamis, sehari setelah kami makan berdua dan mengkomunikasikan banyak hal. Kemudian kembali complicated di malam hari karena dia membuka semuanya, tentang hubungan yang akan kujalani bersamanya dan hubungan yang sedang dia jalani bersama Langit.

Bersambung

Waktuku Se-pekan (4)

[Me-manage perasaan]



Kecemburuan di pekan ketiga mengantarkanku untuk menjauh di pekan keempat dan kelima. Kegiatan diluar fakultas juga mendukungku untuk menjauh. Kontemplasi-kontemplasi yang kulakukan di lereng gunung Merapi membawaku berfikir keras untuk banyak hal.
Aku mendengar kabar baru selepas kegiatanku. Mereka yang diakhir pekan keempat latihan SRT terlihat begitu sangat dekat. Aku sebenarnya sudah tidak terlalu memikirkan itu dan memang aku sedikit banyak dapat melupakannya. Yang ingin kuberi tahukan pada bagian ini, mereka ternyata jauh lebih dekat daripada yang kubayangkan. Semoga kalian dapat menarik benang merah untuk lanjutan kisah selanjutnya.

Bersambung

Waktuku Se-pekan (3)

[Me-manage perasaan]


Akan ku ceritakan mengapa aku cemburu pada pekan ketiga. Akan ku masukkan satu lagi tokoh: Langit.
Aku mendengar gosip itu di hari Rabu pekan ketiga, seketika hatiku langsung hancur. Sebenarnya gosip itu mudah saja untuk tidak kupercaya, namun di hari sebelumnya yaitu Selasa kami beberapa orang sempat makan siang bersama dan melanjutkan jajan es krim di McD. Sebelum makan siang aku mengajaknya untuk naik motor bersamaku, namun ternyata dia dengan tegas menjawab bahwa dia akan bersama Langit. Oke aku biasa saja pas itu, soalnya memang aku cuman org yang ikut-ikutan acara makan siang mereka. Sesampainya di warung soto tempat makan, kuambil posisi didekatnya agar Langit tidak mengambil jatahku. Pokoknya pekan itu kurasa dia sedikit lebih diam dari biasanya. Aku tidak terlalu banyak berinteraksi dengannya saat itu. Kami melanjutkan perjalanan untuk membeli es krim di McD. Kami ber-6 orang, dengan rasio 1:1 lelaki-wanita, sehingga kami para lelaki (termasuk aku dan Langit) menunggu di lantai atas. Para wanita masing-masing membawa 2 eskrim Seasalt, dan harapanku aku diberi eskrim oleh dia. Ekspektasiku terlalu tinggi, ternyata eskrimnya di berikan ke Langit, kepalaku memanas. Itu sebabnya gosip itu termakan olehku begitu saja di hari Rabu pekan ketiga.

Bersambung

Waktuku Se-pekan (2)

[Me-manage perasaan]



Sekarang waktuku tinggal sepekan untuk berusaha mencari tahu seberapa serius dan respon dia terhadapku. Aku harus maju kedepan, walaupun pikiranku terus terngiang-ngiang ke beberapa pekan belakangan terutama di pekan-pekan yang aku sempurna menjauh darinya.

Di pekan keenam aku memberitahunya semua yang harus kuberi tahu. Tentang sikapku terhadapnya di pekan pertama dan kedua, perhatian-perhatian ku di diklat-diklat yang kami jalani, kecemburuanku karena sebuah gosip di pekan ketiga, penghapusan kontak sosmednya dan kekhawatiranku setelah mendengar kabar kecelakaannya di pekan kelima, kekecewaan ku karena tidak berboncengan bersamanya dan kecemburuanku terhadapnya ketika pulang bersama seorang  senior ketika Diklat Climbing.
Dia membalas, memberitahu bahwa dia juga merespon ku ketika pekan pertama dan kedua namun belum yakin tentang keseriusanku, mencari-cari ku ketika aku mulai jauh di pekan ketiga, berniat menghubungiku ketika dia kecelakaan di pekan kelima, gregetannya tentang plottingan boncengan yang katanya ingin bareng denganku serta perhatianku yang dia mulai imbangi ketika diklat, serta ingatan akan momen malam ketika aku memboncengnya selepas makan malam sehabis Diklat di hari Minggu.

Hubungan kami kembali cair di pekan keenam, tidak ada lagi curiga ataupun cemburu. Setelah bercerita, berkomunikasi panjang lebar untuk mengkonfirmasi segala kesalahan yang kami tinggalkan di pekan-pekan kemarin. Aku menangkap sinyal bahwa dia mengkonfirmasi keinginanku untuk dekat dengannya, namun tidak ada kesepakatan sebagai apa.
----


Bersambung

Waktuku Se-pekan

[Me-manage Perasaan]


Ceritaku bermula kurang lebih 6 pekan hitungan mundur kala ini. Keberanian ku menghubungi nya saat itu ketika pembagian boncengan yang kudapati tidak semenarik yg kubayangkan. Kuhubungi dia, meminta bertukar pasangan boncengan agar kami berbarengan. Obrolan kami melalui gawai berlanjut hingga tengah malam, dan malam-malam selanjutnya. Kebetulan sekali, 2 pekan pertama kedekatan kami bersamaan dengan ujian tengah semester. Telepon-menelpon menyelingi obrolan-obrolan agar tetap terjaga untuk mengejar materi yang di ujikan.
Pelatihan-pelatihan yang kami lewati dimana kami saling menjaga dan saling mengingatkan dengan jelas menunjukkan kedekatan kami. Aku sempurna percaya bahwa dia merespon ku dengan baik. Pekan ketiga kedekatan masih berlanjut, namun aku akhirnya menjauh pada pertengahan pekan karena termakan gosip yang kebenarannya tentu saja belum terbukti. Aku sangat kecewa mendengar gosip itu, entah mengapa padahal hanya sekedar gosip. Akhirnya kuputuskan untuk fokus ke program kerja organisasi lainku yang tidak ada dia.
Menghilang dari satu organisasi ke organisasi lain adalah salah satu keuntungan mempunyai banyak organisasi. Melupakan sejenak hiruk pikuk kejenuhan, mencari sumber inspirasi baru.
Pekan keempat dan kelima aku sempurna betul menjauh, mulai dari frekuensi obrolan di sosial media yang tidak pernah lagi hingga menghapus akun-akun sosmed nya yang ada di akunku.
Hingga akhirnya aku telat mengetahui bahwa dia telah mengalami kecelakaan. Aku kaget, bagaimana mungkin dia tidak memberitahu ku. Padahal dalam beberapa hari kami akan menjalani pelatihan panjat tebing yang notabene membutuhkan kondisi fisik yang prima. Akhirnya aku kembali memikirkannya, berjanji berusaha sebisa mungkin menjaga nya ketika di lapangan.
Hari lapangan tiba, aku bingung mengapa aku di plot berangkat bersama cowok sedangkan dia bersama cewek. Bukankah bisa di tuker sehingga ada dua pasang cowok-cewek yang berboncengan? Pikiranku terus berpikir keras namun tidak mau menyangga ketentuan kordinatoor lapangan. Untung dia tidak berboncengan dengan cowok, aku tidak tahu betapa kusutnya mukaku karena cemburu.
Aku menjaganya sebisa yang kubisa, masih dengan jarak yang telah kami buat di 2 pekan terakhir. Namun sikapku benar-benar terlihat  masih sangat perhatian, walaupun tetap kujaga agar tidak seperhatian seperti diklat-diklat sebelumnya.
Diklat Climbing selesai di hari Minggu sore, namun dia pulang terlebih dahulu bersama salah satu senior kami di pagi hari. Aku cemburu, aku cemburu melihat mereka pulang bersama dalam satu motor. Tapi kenapa aku cemburu?
Setelah sampai di kampus dan beres mencuci alat, aku mengajaknya makan malam. Kami makan malam bertiga bersama sahabatnya, kuputuskan untuk tidak terlalu berinteraksi ketika menunggu hidangan tersaji, berpura-pura tidur karena kecapean. Sehabis makan, aku ingat momen itu, aku kangen momen dimana aku memboncengnya dan tertawa sepuas mungkin bersamanya.

Bersambung

Senin, 10 April 2017

Chapter One: Bagian 3 Kisah SMA (2)

CHAPTER ONE

Part 3
Kisah SMA (2)

            Awalnya aku adalah seorang monster. Entah mengapa sifat penyabar yang kumiliki akan berubah menjadi super ganas ketika ada hal remeh-temeh yang tak kusukai. Tapi kata orang, memang seorang penyabar akan lebih ganas marahnya daripada orang yang sangat sering marah-marah? Haha tak tau itu kata siapa.
Pernah, hampir ku hantam muka teman yang baru kukenal hanya karena tidak berhenti menggerakan kakinya naik turun sehingga membuat kursi kami yang menyatu harus bergetar. Untung masih kutahun, namun mengapa harus marah?
            Aku ingat saat itu, kemarahan terakhirku kepada orang lain adalah kepada temanku yang berasal dari Salatiga. Ya ALLAH, kalau kuingat kembali kisah itu betapa parahnya aku. Entah super sepele apa yang menyebabkanku marah, namun aku sampai teriak-teriak dan meninju batok kepalanya. Maafkan aku. Sejak saat itu aku berjanji di dalam hati untuk tidak akan pernah marah lagi kepada orang lain, apapun alasannya.
            Tingkahku semakin hari semakin melunak. Aku mulai menemukan frekuensi yang sama dengan teman-temanku yang berasal dari Jawa, tidak seperti teman sedaerahku yang belum mampu terbuka. Aku memulai start terlebih dahulu, bercanda ria saling omel tanpa harus merasa sakit hati.
            Apalagi ketika Damar dan Bewok yang pada awal semester 2 mengajakku untuk jalan-jalan keliling Solo. Ya, pada akhir pekan itu juga kami akhirnya jalan-jalan berkeliling Solo, jangan lupa jalan dalam arti yang sebenarnya.
            Kami berangkat sabtu siang setelah memperoleh tanda tangan ijin di buku biru dari Pembina kelas. Niat kami mencari pengalaman, saat itu kami mencoba mencari tumpangan mobil pick-up. Di jalan poros Solo-Purwodadi, kami memposisikan tangan membentuk sebuah kelopak yang menghadap ke atas. Itu pertanda bahwa kami sedang mencari tumpangan.
            Sebuah mobil berhenti, setelah melobby driver-nya akhirnya kami dipersilakan naik. Saat itu gerimis melanda Gemolong hingga Solo, akibatnya kami di mobil dalam keadaan basah-basahan karena tak ada atap, namanya juga mobil pick-up . Mobil yang kami tumpangi hanya mampu mengantar sampai ke Proliman, akhirnya kami lanjutkan perjalanan ke kota Solo dengan naik bus berbayar lalu dioper lagi ke bus trans-batik Solo yang menghubungkan titik-titik penting kota Solo.
            Tujuan awal kami adalah Solo Grand Mall alias SGM. Biasanya, kami sekelas memang sering kesini, sekedar menyuci mata setelah santap bersama di Warung Spesial Sambel yang kalau nambah nasi geratis atau Pizza Paparons yang setiap hari senin beli 1 gratis 1.
            Malam itu, entah aku lupa apa yang kami lakukan di SGM, tapi kami segera keluar dan menghabiskan malam di warung-warung susu murni yang berjejeran di depan SGM. Warung kaki lima yang kontras dengan modernitas Mall diseberangnya.
            Dengan berjalan kaki kami lanjutkan perjalanan lurus kearah patung Slamet Riyadi yang berdiri kokoh entah berapa kilometer jauhnya. Lalu menikmati suasana malam Solo yang sebenarnya, kemudian berjalan kembali kearah SGM untuk mencari penginapan atau disini kami sebut sebagai masjid. Susah sekali menemukan masjid di pinggir jalan, kami karus blusuk-blusuk masuk ke gang-gang. Setelah menemukan masjid yang cocok dan bisa ditempati menginap, kami putuskan menggelar sleeping bag dan sarung yang kami bawa. Pulas sekali pokoknya malam itu setelah berjalan puluhan kilometer.
---

            Selain perjalanan jalan kaki yang selalu kuingat itu, hal lain yang kuingat adalah pernah juga aku ikut liburan akhir pekan di rumah kerabat temanku yang bernama Anis. Saat itu setelah menikmati suasana Car Free Day di depan Carefour Solo Baru, kami memutuskan naik sepeda menuju belakang SGM untuk membeli keperluan buku kimia Fessenden yang kucari-cari. Kalian cari di maps sekarang, pasang titik di sekitar jembatan Bengawan Solo, Solo Baru hingga ke Stadion Manahan Solo. Bayangkan seberapa jauhnya itu dan hanya ditempuh dengan naik sepeda.
             Menjelang sore kami kembali ke rumah kerabat Anis dengan tergesa karena langit begitu mendung. Takut sekali kami terkena hujan yang kelihatannya akan sangat deras.
---

            Perjalanan-perjalanan seperti itu yang sedikit membuka pikiranku, ditambah masih banyak kisah perjalanan liburan akhir pekan lainnya yang selalu kuhabiskan dan diskusi-diskusi yang menantang untuk mengevaluasi diri di atas becak ataupun bus kami gunakan. Membuka pikiranku untuk banyak hal kedepannya.
---



Rabu, 05 April 2017

Galau mulu bang!


Jangkrik bersuara dengan irama, langkahku semakin melemah diiringi nafas yang sejak tadi terangah-engah. Sudah 2 jam kesendirianku sejak berangkat naik motor ke Desa Turgo lalu mengelana sendiri menaiki bukit-bukit yang terpisah oleh lembah yang terjal. Kabut datang lalu pergi bersamaan dengan dinginnya udara pegunungan. Senja berkabar akan kembali lagi esok, lalu diganti gugusan gemintang yang sedang menemaniku. Kontras, kesendirianku diantara jagat raya malam ini.
Kuputuskan untuk menyendiri setelah merasa sangat kerdil diantara tumpukan tugas dan kisah cinta yang tak karuan. Tugas-tugas yang tak habis dikerjakan terus merengek minta digarap. Sejujurnya aku senang mengerjakan deadline-deadline yang harus kukumpulkan tepat esok hari, walaupun harus mengurangi jatah tidur yang sudah tak terkontrol lagi. Aku menjadi manusia dengan jam istirahat yang minim.
Apalagi perkara cinta? Aku bingung. Namun mengapa?
Lagi-lagi cinta. Adakah diksi lain yang dapat mengoreksi lima huruf itu? Selalu saja membuat rasa senang, semangat, sedih, cemburu, khawatir, rindu dan segala macamnya beraduk tak karuan.
Kuputuskan untuk berhenti di koordinat 436519 vs 9163350. Posisiku berada di ketinggian 1277 meter diatas permukaan laut, disebuah lembah cekungan yang dikelilingi tebing-tebing batuan vulkanik yang meninggi sekitar 8-10 meter. Kupasang tenda mini yang sebelumnya kuambil tergesa di sekre mapala ku di kampus. Segala persiapanku untuk menginap selesai, ketika sinyal telepon yang sebelumnya kucari-cari karena ingin mengetahui kabar seseorang menguat dan membuyarkan kesunyian dalam kegelapan.
Kabar yang kutunggu sejak tadi akhirnya datang. Tanpa pikir panjang akhirnya kukemas kembali barang-barangku dan kurelakan begitu saja waktu kontemplasi yang telah kujadwalkan. Seseorang menungguku dibawah sana. Tunggu aku, disampingmu, bersamamu.
---
Aku terbangun setelah sekian hari dirawat kritis di RSUP Sardjito Yogyakarta. Pandanganku masih kabur dan sedikit demi sedikit cahaya mulai membantu memantulkan spektrumnya. Kucari suara dentingan jam yang ternyata ada disebelah kiri atas kamar rawatku. Pukul 1.00 dini hari entah hari apa itu, hari terakhir yang kuingat adalah selasa ketika langkah cepatku menuruni bukit terhenti karena tersandung sesuatu, setelah itu aku sudah tak sadarkan diri.
Kuputar wajah kesebelah kanan, kulihat jilbab ungunya menjagaku entah sudah berapa lama. Tertidur pulas, entah bermimpi seberapa jauh. Namun dalam kedekatan yang begitu hangat itu aku berjanji dan juga bermimpi untuk tetap menunggumu yang telah berhasil menungguku, disampingmu yang mampu bertahan disampingku, dan bersamamu disaat bahkan kau tidak akan pernah tahu.