Sabtu, 05 Januari 2019

Cerita Diklat 1 Tim Pendaki Puncak Mandala

Oleh: Ahmad Fikri
(Relawan Pendaki Puncak Mandala dalam Festival Puncak Papua)
Puisi-puisi tentang sahabat berulang-ulang kami teriakkan dalam perjalanan summit attack Puncak Tambakruyung dengan ketinggian 1994 mdpl. Sudah belasan antologi puisi yang terlontar diiringi tawa kecut dalam curam dan rapatnya lereng barat gunung yang tidak terlalu tinggi ini. “Semeru hanya sepertiganya dari ini”, itu komentar rekan-rekan yang pernah menaiki puncak Mahameru.
Berkali-kali diklat, lagi dan lagi hingga saat ini harus menempuh pendidikan dan latihan dalam persiapan Ekspedisi Puncak Mandala di Papua yang diselenggarakan oleh Wanadri dan Indonesia Mengajar. Proses seleksi sudah saya ceritakan dalam artikel sebelumnya, bahkan hingga materi kelas di sekretariat Wanadri di Jalan Aceh No. 155 Bandung.
Pegunungan Ciwidey menjadi jawaban atas beberapa lokasi yang pernah tercakap dari diskusi-diskusi tidak jelas tim kami, diskusi juga menjadi sarana pencairan tim yang baru saja dipertemukan.
Agenda dalam Diklat 1 ini lebih menitikberatkan materi Navigasi berupa penggunaan peta dan kompas, serta sistem pergerakannya berupa Man-to-man dan Guide Medan. Selain navigasi, diperkenalkan juga materi survival yaitu pengenalan Botany dan Zoology Praktis, serta mencoba menampung air dari hujan dan tidak lupa untuk merasakannya.
Hari pertama Tim Mandala dibagi menjadi dua tim pergerakan dan ber-bivak ditempat yang berbeda. Kedua tim lalu bertemu keesokan harinya pada siang hari setelah melewati medan navigasi yang selain membutuhkan orientasi terhadap lingkungan, dengan menggunakan otak, juga memerlukan fisik serta psikologi yang baik ditambah kemampuan berdiskusi. Dalam bernavigasi memang dibutuhkan diskusi antar sesama tim, jangan sampai kita merasa selalu benar karena second-opinion bisa saja yang memang benar. Jangan merasa terlalu benar sendiri.
Di hari ketiga memasuki masa survival, kami berpuasa tidak makan perbekalan yang kami bawa agar materi survival benar-benar dirasakan dan dipraktekkan. Siang hari sembari bergerak ke titik-titik tujuan, sekaligus dilakukan ‘belanja’ bahan-bahan makanan yang ditemui berupa begonia, jantung pisang, pakis dan lainnya. Makanan hasil belanja kami masak untuk makan siang dan malam hari dengan prosedur yang benar. Dilakukan dua kali perebusan agar getah bahan makanan berkurang, lalu dimasak dan dibumbui pada kali ketiga. Dalam memasak bahan alam setidaknya minimal dibutuhkan lima jenis tanaman agar racun-racun yang dimiliki setiap tanaman dapat saling menetralisir.
Air pada jirigen menipis, lokasi berbivak malam terakhir berada pada punggungan yang jauh dari sungai. Air hujan yang tertampung cukup banyak, kami masak agar kumannya mati dan tidak menyakiti perut. Walaupun rasanya tidak seperti air pada biasanya, namun pengalaman mencoba air hujan cukup menambah pengalaman. Karena air adalah sumber kehidupan, dalam keadaan darurat kita harus mencari sumber-sumber air dan mengolahnya agar bisa dipergunakan guna melanjutkan hidup.
Hari terakhir kami memasuki agenda puncak, summit-attack ke puncak Tambakruyung. Walaupun gunung ini jarang didatangi orang, kami tetap percaya diri untuk terus melangkahkan kaki naik dalam curamnya lereng. Dalam perjalanan ke puncak, kami sangat kewalahan dengan vegetasi yang begitu rapat. Dari datum pertigaan sungai hingga ketitik puncak, setidaknya membutuhkan waktu enam jam.
Puncak Tambakruyung, adalah saksi pendidikan dan latihan 1 kami. Selanjutnya Tim Mandala akan memasuki Training Camp guna memantapkan dan memusatkan latihan fisik, bonding-team, teknis operasional dan manajerial yang membutuhkan waktu yang intensif. Diklat 2 akan dilaksanakan di Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Doakan kami, Tim Mandala untuk diklat-diklat selanjutnya serta pendakian ke Mandala kelak. Amin

Kisah Perjalanan & Berlatih menjadi Pendaki Puncak Mandala

Oleh: Ahmad Fikri(Relawan Pendaki Puncak Mandala dalam Festival Puncak Papua)

“Haloo Genk,,,,”
Teriakan-teriakan itu yang terus berdengung selama 4 hari 3 malam di Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi dalam seleksi tahap akhir relawan pendaki Festival Puncak Papua.
“Mandalaaaa,,,,”
Teriakkan kami membalas, tidak kalah semangat.
Akhirnya kami berlima terpilih dari 525 pendaftar, suatu ketidakpercayaan karena pada awalnya mendaftar hanya karena iseng.

Sebuah Kepercayaan

Nama saya Ahmad Fikri, mahasiswa semester 3 jurusan Geografi Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Sebelum mengemban amanah sebagai calon geograf muda, saya pernah berkuliah di jurusan Teknik Kimia di kampus yang sama. Cerita saya tentang kepindahan dari Tekkim dapat di baca di blog pribadi saya. Namun sedikit bocoran, selama 2 tahun pengelanaan saya di Tekkim akhirnya saya sadar bahwa saya anak lapangan dan senang dengan kegiatan kemanusiaan yang tidak saya dapatkan di bangku kelas.
Belum genap satu semester kepindahan, saya percaya bahwa Geografi adalah jalan yang sangat cocok dengan jiwa petualang yang saya miliki. Selain begitu senang dengan mata kuliah yang ditawarkan berkat dosen yang selalu bercerita tentang tempat-tempat baru dan alasan geografisnya, selalu ada kelas lapangan yang berdinding tebing dan beratapkan langit dengan lampu matahari ataupun bulan-gemintang yang menerangi. Kegiatan ekstrakurikuler yang saya ikuti juga menyesuaikan dengan minat saya, petualangan dan kemanusiaan.
Hingga akhirnya dua organisasi yang menjadi role-model saya, WANADRI dan Indonesia Mengajar mencipta kolaborasi dengan menawarkan pengalaman menjadi relawan pendaki dalam Ekspedisi Puncak Mandala Festival Puncak Papua. Saya mendaftar dengan kepercayaan diri, menulis essay ketika kelas sedang berlangsung, membuat video “kenapa saya layak” di ketinggian gunung diantara ilalang. Kemudian video tersebut saya publikasi ke akun instagram saya (@m.ikkikay) lalu ditertawakan oleh seluruh teman-teman, mungkin tawa merekalah yang mejadi doa hingga mengantarkan saya ke titik ini.
Setelah menerima kepercayaan dari teman-teman WANADRI dan Indonesia Mengajar, saya sadar bahwa saya harus meminta ijin terlebih dahulu kepada orangtua dan kampus. Awalnya orangtua sangat keras tidak merestui, ditambah kampus yang secara administrasi belum bisa untuk ditinggalkan karena ijin cuti baru bisa keluar ketika telah melewati semester keempat. Namun, berkat ijin semesta akhirnya orangtua dapat merestui serta surat ijin cuti dari kampus dapat keluar tanpa kesulitan yang berarti. Sebuah kepercayaan dari semuanya, yang tidak boleh saya lupakan.

Menjadi Relawan

Sebelum berangkat ke Puncak Mandala (4760 mdpl) di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, kami harus menjalani berbagai tahapan diantaranya diklat kelas, diklat lapangan 1 dan 2 serta light ekspedisi yang dilaksanakan selama bulan Februari hingga April diberbagai tempat yang sesuai dengan target latihan.
Materi kelas berlangsung pada 3-4 Februari 2018 di Markas Besar Wanadri Jalan Aceh No. 155. Kami dibekali banyak sekali ilmu baru yang sebelumnya masih belum kami pahami. Materi Wawasan Ekspedisi di hari pertama yang diberikan Kang Totok, yang dulunya Ketua Ekspedisi Salu Uro Wanadri 2016, membuka pikiran kami bahwa eksepdisi tidak sekedar berpetualang dengan berbagai keseruannya. Namun diperlukan rencana yang benar-benar matang agar dapat mengurangi kesulitan dan menghilangkan kerumitan berekspedisi.
Dilanjutkan materi Logistik Ekspedisi, oleh Kang Sendi Nugraha, yang membuat kepala kami terlampau pusing. Ternyata manajemen peralatan dan perbekalan dalam ekspedisi tidak semudah seperti mendaki gunung biasa. Diperlukan pengaturan yang sesuai dan adil agar pelaksanaan kegiatan tidak menemukan kendala. Juga materi dari Kang Dadang, anggota Wanadri angkatan 1993, terkait Kesehatan Perjalanan. Bagaimana mengatur perjalanan agar tetap sehat baik dari segi fisik, mental dan daya tahan tubuh. Materi terakhir di hari itu adalah materi yang membutuhkan kemampuan otak untuk berpikir, yaitu Pengantar Navigasi Darat, oleh Kang Ismail, yang mengharuskan kami mengerti teori-teori Medan, Peta dan Kompas sebelum dipraktekkan kelak pada tahapan diklat dan selama ekspedisi.
Esoknya, kelas dimulai dengan materi Survival yang dibawakan oleh kang Sony Ozz yang juga anggota Wanadri. Kang Sony Ozz ini telah melanglang buana di seluruh penjuru negeri. Dengan kemampuan survivalnya khususnya membuat api dengan cara apa saja, makanya beliau dijuluki sebagai Dewa Api. Materi ini mengingatkan saya dengan pengalaman survival pada pendidikan dasar di kampus. Ternyata esensi survival bukanlah berpuasa melainkan bagaimana caranya untuk dapat berperan sebagai seniman di dalam hutan dengan mencari dan mengolah makanan/minuman yang tepat serta membuat shelter dari bahan-bahan yang telah tersedia agar tidak membahayakan diri.
Materi kelas ditutup dengan materi Komunikasi Ekspedisi oleh Kang Aank, anggota Wanadri yang juga salah satu dari tim Pendaki Puncak Mandala. Kata kang Aank, komunikasi itu penting agar setiap kondisi dan kejadian yang terjadi dapat diketahui oleh tim basecamp dan tim pusat sehingga kegiatan berjalan tanpa ada rasa khawatir oleh keluarga dan kerabat yang ditinggal berkegiatan.
Tim kami, Tim Mandala Festival Puncak Papua, baru saja menyelesaikan Diklat 1 dengan tema Navigasi dan Survival, serta sebagai tahapan awal dalam mencairkan serta mengompakkan kondisi tim yang berasal dari berbagai latar belakang sikap dan profesi. Diklat yang diadakan di sekitar pegununga Tilu Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung ini mempunyai kisah tersendiri. Dan summit-attack puncak Tambakruyung (1994 mdpl) adalah puncak dari diklat itu. Temukan keseruan dan semangatnya pada tulisan khusus selanjutnya tentang puncak Tambakruyung.

Bandung, 24 Februari 2018Ahmad Fikri