Senin, 26 November 2018

Notulensi Diskusi Petualang #1



 Beribadah di lapangan , sebagai geograf muda bagaimana tata cara kita beribadah yang sah ketika di lapangan. Tujuan diskusi ini ialah untuk membantu teman teman yang berkegiatan di lapangan agar tidak meninggalkan ibadah.
Fokus pembahasan lebih kea rah tata cara pelaksanaan ibadah sholat ketika di lapangan. Perjalanan , secara istilah ada beberapa istilah atau ketentuan yang harus dipenuhi yang disebut dengan shafar.
Syarat shafar yang agar mndapat keringanan
1.      Bukan untuk maksiat . Shafar dapat bersifat wajib, mubah, sunnah, makruh, contoh bepergian untuk merampok orang itu haram. Shafar yang bersifat wajib seperti naik haji dan membayar hutang. Sunnah seperti berniat silaturahmi kerumah saudara, Bersifat mubah seperti berdagang. Jarak minimal bepergian yang mendapat keringanan 85 km.
Keringanan berupa :
Mengkhosor sholat, dari 4 raka’at menjadi 2 raka’at. Menjamak sholat antara dzuhur dan ashar dan maghrib dengan isya. Syaratnya bersuci, mengusap kaki . DIperbolehkan untuk tidak berpuasa, mengerjakan holat di atas kendaraan dengan syarat ketika takbiratul ikhram menghadap kiblat dan boleh minggalkan sholat sunnah rawatib. Diperbolehkan untuk tayamum ketika tidak menemukan air.

Sholat kosor : Sholat yang diperbolehkan untuk di khosor yaitu berjumlah 4 rakaat , dengan syarat shafar bukan shafar maksiat, jarak yang ditempuh diprbolehkan ketika memenuhi batas minimal yaitu 85km Sholat yang di kosor dilakukan bukan pada waktunya. Ketika takbir harus niat mengkosor sholat dan tidak sah jika dilakukan sebelum takbir maupun seelah salam. Tidak dibolehkan menjadi makmum bagi sholat yang sempurna.
Sholat Jama’ : Megumpulkan antara 2 sholat yang dilaksanakan dalam salah satu waktu, di awal jama’ takdim dan di akhir jama’ takhir. Jamak ta’dim dzuhur dan ashar ada 3 + 2 . Syarat jama’ ta’dim di awal pelaksanaan sholat yaitu harus tertib dzuhur dulu baru ashar .. kalo maghrib dan isya maka maghrib dulu baru isya. KArena jika tidak urut maka tidak shah . syarat edua harus ada niat jamak sholat . Syarat ketiga harus mualak , tidak ada jarak terlalu lama… Syarat keempat, masih dalam perjalanan . Kelima masih dalam wkatu sholat yang pertama.
Jama; takkhir syarat berbeda dari jamak ta’dim . Syarat hanya 2 , yaitu syarat melaksanakan holat jma’ takhir tapi di akhhir , niat melaksanakan jamak takhir .

Ada yang membolehkan sholat jama ketika ridak dalam keadaan shafar seperti hujan
Syarat pertama :
Antara sholat maghrib dan isya disebabkan oleh hujan dengan syarat hjan ketika hjan bukan hanya hujan grimis kemudian hujan turun sebelum takbiratul ikhram yang pertama atau pas takbiratul ikhram da berlanjut hingga salam sholat yang pertama.Harus ada

Dulu shafar itu jalan kaki, jarak dihitung pake langkah kaki hasta depa. Waktu yang diperbolehkan sholat itu jika waktunya lama. Kalau sekarang sudah menggunakan pesawat mobil dan lain lain. Ruhsoh atau keringanan tidak diberikan kepada mereka yang melakukan pekerjaan setiap hari. Pekerjaan perjalanan seperti tukang pos.

Pertanyaan :
1.      Pengalaman di lapangan mas arifin
2.      Ketika diklatsar di hari jumat tapi tidak melaksanakan jumatan
3.      Ada tidak sholat jama’ qasar. Batas waktu sholat itu sampai kapan?

Jawab:
1.      Pengalaman mas ketika diklatsar, jogja karanganyar sudah 85 km lebih dengan tujuan pendidikan dan shafarnya bukan shafar maksiat.        Bisa melaksanakan jama’ dan qasar ketika bersamaan. Seperti waktu diklatsar. Kalo ada air buat masak sama minum daripada wudhu, air diutamakan untuk minum dan boleh untuk tayamum. Tayamum hanya untuk satu sholat fardhu, jadi kalo mau jamak harus tayamum lagi. Sholat ketika di pesawat untuk menghormati waktu tanpa harus meninggalkan sholat jadi mirip ketika sholat ketika duduk.
2.      Ketika hari jumat di lapangan. Syarat wajib sholat jumat ada 7 , muslim baligh , berakal, merdeka, sehat, ketika tidak shafar. Syarat ketika dia diperbolehkan tidak sholat seperti ketiduran.
3.      Ketika ditengah jamaah terus kentut nah mau keluar dari shaf gabisa jadi menunggu hingga hingga selesai jamaah.
Jama’ qasar ada , bisa barengan boleh jama’ ta’dim atau ta’khir.
Jama qashar boleh berjamaah? Boleh
Batas waktu sholat pake hp

Review Jawaban Essay Festival Puncak Papua


1.       Ceritakan alasan yang membuat anda memutuskan untuk mendaftar menjadi relawan pendaki Festival Puncak Papua!
Saya pernah berkuliah di Teknik Kimia UGM, namun akhirnya pindah ke Geografi UGM setelah 2 tahun karena kegiatan yang saya ikuti yaitu berupa Unit Kesehatan Mahasiswa dan kegiatan lainnya yang sangat erat kaitannya dengan kesukarelawanan. Memilih Fakultas Geografi dan program studi Geografi dan Ilmu Lingkungan karena sangat ingin aktif di bidang kebencanaan, baik itu sebagai akademisi, managerial, dan ke-relawan-an.
Saat ini saya aktif mengikuti beberapa unit kegiatan dan komunitas serta program-program mandiri yang bergerak di bidang kerelawanan, pendidikan dan penjelajahan. Seperti Mapala GEGAMA Fakultas Geografi UGM yang aktif di bidang penjelajahan dan penelitian geografi, Unit Kegiatan Mahasiswa UGM yang aktif dalam bidang sosio-medis, Gelanggang Emergency Response UGM yang aktif dalam bidang Tanggap Kebencanaan dan SAR (Search and Rescue), Komunitas Book For Mountain yang aktif dalam bidang literasi dan edukasi di penjuru Indonesia, Himpunan Mahasiswa Gadjah Mada Sulawesi Selatan yang aktif mengenalkan nilai positif Sulawesi Selatan sebagai salah satu Duta Sulawesi Selatan yang sedang berkuliah di Yogyakarta khususnya UGM.
Oleh karena itu, melalui Festival Puncak Papua ini, saya sangat ingin mengamalkan semua yang pernah saya peroleh di berbagai pendidikan dan pengalaman selama mengikuti organisasi dan penjelajahan sebelumnya. Selain itu tentu saja saya sangat ingin memperoleh pengalaman baru pada kegiatan ini baik sebagai relawan, penjelajahan dan edukasi-literasi.
2.       Ceritakan 2 pengalaman terbaik anda yang berkaitan dengan ekspedisi alam bebas!
Ekspedisi Atap Jawa Travelikay:
Ekspedisi ini adalah ekspedisi pribadi yang saya ciptakan sendiri. Ekspedisi ini muncul karena kegagalan untuk menapaki puncak Mahameru di tahun 2012 ketika masih SMA dulu dan di tahun 2015 ketika masih di Teknik Kimia. Setelah itu, saya merasa puncak Mahameru harus menjadi puncak Jawa yang terakhir ditapaki. Makanya muncul ide untuk melanjutkan perjalanan-perjalanan diatap Jawa lain selain Semeru terlebih dahulu. Perjalanan Ekspedisi Atap Jawa di mulai dari koridor Jawa Tengah karena posisi Jawa Tengah yang dekat dengan Yogyakarta tempat saya berdomisili sementara sebagai mahasiswa UGM.
Selama bulan Juli-Agustus 2017 telah terlaksana 5 perjalanan ke puncak-puncak Jawa Tengah seperti puncak Gn. Merapi melalui jalur Selo, puncak Gn. Slamet melalui jalur Bambangan, Puncak Gunung Lawu naik melalui jalur Cemoro Kandang dan turun melalui jalur Cemoro Sewu, puncak Gn. Sindoro melalui jalur Tambi-Sikathok dan puncak Gn. Sumbing melalui jalur Kaliangkrik. Untuk puncak Merbabu sendiri pada ekspedisi kemarin tidak dilakukan pendakian karena sebelumnya di tahun 2015 sudah pernah mendakinya, selain itu karena waktu yang tidak cukup mengingat liburan kuliah telah berakhir.
Melalui Ekspedisi Atap Jawa ini, saya sadar bahwa setiap perjalanan itu berbeda dan unik. Buktinya dalam setiap perjalanan pendakian diatas, ternyata saya terus bersama orang-orang yang berbeda. Mulai dari yang baru pertama kali mendaki gunung hingga teman-teman mapala yang sudah terbiasa dengan kegiatan alam bebas. Selain itu, setiap tempat memiliki budaya dan ke-khas-an geografis-nya sendiri.
Sebagai mahasiswa geografi yang setiap harinya bermain dengan peta, maka dalam ekspedisi ini saya juga melakukan pemetaan sederhana jalur dan pos-pos pendakian menggunakan smartphone yang saya miliki. Pemetaan ini menambah wawasan saya baik dalam bidang akademis geografi maupun tentang indahnya bentangalam dan bentang budaya yang Tuhan ciptakan di muka bumi ini.
-          Pemetaan jalur Merapi via Selo, membuktikan kuasa Tuhan yang murka ketika tahun 2010 gunung api Merapi meletus dan memuntahkan banyak sekali material mayoritas ke arah selatan dan barat serta arah utara di Kecamatan Selo, Boyolali sehingga saat ini sisa abu vulkanik dimanfaatkan warga sebagai lahan pertanian yang sangat subur. Dari puncak gunung Merapi terlihat kecamatan Selo sebagai sebuah Inter-volcanic Basin antara gunung api aktif Merapi dan gunung Merbabu yang sedang beristirahat lama/non-aktif.
-          Kemudian pemetaan jalur Slamet via Bambangan membuktikan bahwa gunung Slamet memang layak disebut sebagai gunung api tertinggi di Jawa Tengah dan tertinggi kedua se-Jawa. Trek pendakian yang sejak dari basecamp yang terus menanjak. Hingga ke pos 9, tempat dimana tim kami menikmati suasana dinihari Jawa Tengah sambil menunggu waktu adzan subuh yang begitu merdu dan khusyuk kami dengarkan dari salah satu anggota tim dilanjutkan sholat Subuh berjamaah bersama rombongan pendaki lain yang masih mengingat bahwa betapa kecilnya kami, seonggok daging yang hanya punya nama, dibandingkan gunung-gunung dan alam semesta raya.
-          Pemetaan gunung Lawu melalui 2 jalur berupa Cemoro Kandang dan Cemoro Sewu. Jalur Cemoro Kandang merupakan jalur yang berada secara adminsitratif pada kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Jalur ini merupakan salah satu jalur yang saat ini cukup jarang dilewati mayoritas pendaki karena dirasa cukup jauh dan lama. Namun, senja yang terlihat pada sore hari menjelang malam tidak bisa saya lupakan sebab jalur ini berada pada bagian barat persis sehingga menghadap kearah jatuhnya matahari. Berbeda dengan jalur Comoro Sewu yang berada hanya beberapa ratus meter diarah timur jalur Cemoro Kandang, namun secara administratif telah berada pada Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Keunggulan jalur ini adalah cepatnya jarak tempuh yang dihabiskan sehingga mayoritas pendaki dan wisatawan lain menyukai jalur ini. Jalur ini berupa tangga yang terbuat dari batuan beku vulkanik gunung Lawu, mulai dari pos 1 hingga ke pos paling atas yang terdapat mata air yang disebut Sumber mata air Sendang Drajat. Bagi masyarakat lokal dipercaya sebagai mata air dengan berbagai mitos yang dipercaya sebagai kearifan lokal.
-          Pemetaan jalur Sindoro via Tambi, Wonosobo, diawali dengan pemandangan hamparan kebuh teh milik PT Perkebunan Teh Tambi lalu menemui hutan pinus kemudian sabana tanpa tegakan pohon sehingga jalur yang terus menanjak ini memiliki angin yang sangat kencang. Perjalanan menapaki puncak Sindoro via Tambi ini hanya memerlukan waktu 5 jam sehingga skenario perjalanan kami memang hanya ingin tek-tok dan langsung turun ketika merasa sudah puas diatas puncak dengan bau belereng yang sangat pekat.
-          Pemetaan jalur terakhir yaitu pemetaan jalur pendakian Sumbing via Kaliangkrik, Kabupaten Magelang. Jalur ini merupakan jalur yang belum begitu terkenal sehingga masih jarang diketahui oleh pendaki. Perjalanan penutup ini kami lakukan di awal bulan Agustus, bersama teman-teman yang berasal dari Sulawesi Selatan yang hampir semuanya baru pertama kalinya mendaki gunung. Sifat-sifat keegoan para pendaki baru itu selalu muncul namun melalui pengalaman-pengalaman yang pernah saya hadapi membuat mereka dapat mengerti ketika dijelaskan apa saja yang memang mereka harus ketahui karena sebuah pendakian bukanlah hal sederhana yang dapat dilakukan begitu saja tanpa persiapan, namun membutuhkan kesiapan dan skenario yang matang guna meminimalisir resiko terhadap kegiatan di alam bebas.
3. Ceritakan pengalaman ketika anda memiliki tanggung jawab yang besar dalam suatu tugas dan ada banyak tantangan serta hambatan yang datang tanpa bisa anda prediksi!
-
Saya baru saja menyelesaikan sebuah tugas sebagai Ketua Panitia Latihan Gabungan Tanggap Bencana dan SAR UGM yang diadakan oleh Gelanggang Emergency Response Forkom UKM UGM. Gelanggang Emergency Response (GER) UGM dapat dikatakan sebuah “komunitas” dibawah struktur Forum Komunikasi Unit Kegiatan Mahasiswa (Forkom UKM) UGM yang keanggotaannya berasal dari 5 UKM yang bergerak dibidang khusus seperti Unit Kesehatan Mahasiswa, Mahasiswa Pecinta Alam, Unit Selam, Pramuka dan Resimen Mahasiswa UKM UGM.
Terpilihnya saya sebagai ketua tidak lain karena sebatas tidak adanya orang lain yang lebih mampu dan mempunyai semangat yang sama mengingat GER sendiri bukan merupakan UKM tempat dimana anggotanya berasal melainkan keanggotaannya masih sebagai delegasi-volunteer. Oleh karena itu, selama menjadi Ketua Panitia dalam acara tersebut banyak sekali anggota-anggota kepanitiaan yang datang-dan-menghilang karena harus berkutat dengan urusan akademik serta urusan open-recruitment UKM mereka masing-masing yang juga disaat yang sama harus melaksanakan kegiatan guna meneruskan regenerasi keanggotaan.
Ditambah, kegiatan ini berlangsung selama ujian tengah semester (UTS) sehingga menambah alasan mengapa banyak anggota yang tidak aktif. Ketidak-aktifan itu tidak bisa saya hindari karena memang sebagai mahasiswa banyak sekali kegiatan yang setiap orang ikuti terutama kegiatan akademik. Selain itu, dari awal yang sifat kepanitian yang berupa delegasi UKM yang rata-rata hanya ditunjuk oleh ketua UKM sehingga banyak anggota yang tidak sepenuh hati untuk melaksanakan kegiatan baik sebelum, saat dan pasca.
Walaupun demikian, selama berminggu-minggu kami mempersiapkan segala persiapan dari setiap divisi. Saya selalu memotivasi semua panitia agar mampu bekerja secara profesional walaupun berstatus sebagai volunteer. Kata-kata saya yang paling saya sering ulang-ulang adalah kutipan dari Bapak Anies Baswedan “Volunteer bukanlah tidak bernilai, namun tidak ternilai” yang membangkitkan kembali semangat dan niatan awal kami semua.
Tantangan lain dari kegiatan ini selain keanggotaan dan jadwal kegiatan tadi, ternyata masih banyak sekali kekurangan-kekurangan yang pada akhirnya dapat kami tambal satu persatu. Mulai dari belum adanya pendaftar kegiatan walaupun acara bersifat gratis karena dibiayai sepenuhnya oleh kampus, kurangnya opsi penggunaan ruangan materi ruang karena bertepatan dengan UTS dimana banyak auditorium fakultas yang tidak mengijinkan ruangannya digunakan untuk berkegiatan selama masa ujian, serta beberapa konflik yang akhirnya timbul dan dapat segera direda dengan pikiran yang dingin dan komunikasi yang dilebih-baikkan lagi.
Pada akhirnya, kegiatan ini tetap berjalan dengan baik karena masih ada orang-orang yang benar-benar peduli dan mau membantu serta meluangkan waktunya dalam menjadi agen pengabdi dalam kemanusiaan ini. Peserta juga sangat mengapresiasi konsep-konsep dan ilmu-ilmu yang panitia berikan melalui materi ruang dan simulasi yang disampaikan oleh beberapa pemateri dari berbagai instansi seperti Pusat Studi Bencana Alam UGM, Badan Penanggulangan Bencana Daerah DIY, Taruna Siaga Bencana DIY, Palang Merah Indonesia DIY, Relawan Psikologi UGM serta diskusi-diskusi yang terjadi karena latar belakang beberapa peserta dan panitia yang sebelumnya telah aktif dalam bidang kerelawanan dan kebencanaan.
 
4. Ceritakan pengalaman ketika Anda dihadapkan pada keterbatasan sumber daya yang membuat anda harus menyesuaikan pendekatan atau cara Anda bekerja serta melakukan perubahan prioritas dalam pekerjaan!
Akhir Oktober 2017 kemarin, telah diadakan sebuah follow up Project Batang Book For Mountain. Book For Mountain (BFM) adalah komunitas independen yang bergerak dalam bidang literasi dan edukasi. Setiap tahunnya BFM mengadakan sebuah project untuk membentuk sebuah perpustakaan di daerah-daerah pelosok. Project Batang adalah salah satu project yang telah terlaksana ketika 2016 kemarin. Sebagai volunteer baru, kami diminta untuk mengadakan sebuah follow up guna melihat perkembangan dan evaluasi perpustakaan yang ada di Batang.
Sebenarnya ada 2 opsi penempatan untuk volunteer baru, salah satunya Batang sedangkan satunya lagi adalah Bromo. Saya tergabung dalam tim Bromo, sehingga posisi saya dalam tim Batang adalah seorang volunteer tambahan yang mengkonfirmasi kehadiran baru ketika beberapa hari sebelum keberangkatan.
Kami berempat orang berangkat Jumat pagi, sebagai tim advance (tim yang pertama kali berangkat untuk mengurusi segala keperluan awal). Ketika sampai pada sore harinya, ternyata kepala Desa tidak mengetahui akan kedatangan kami di hari itu sehingga tidak ada persiapan yang dilakukan beliau. Itulah masalah pertama yang kami hadapi, miskomunikasi tim Batang dengan pemuka kampung sekaligus tempat tinggal kami selama beberapa hari kedepannya.
Sambil menunggu tim bantuan datang membawa keperluan tambahan seperti materi edukasi dan buku-buku lainnya, kami menghubungi segala perangkat desa seperti kepala desa, ketua RT, ketua pemuda dan segala hal keperluan guna mengadakan sebuah pertemuan dengan pemuda kampung terkait follow up perpustakaan tersebut. Kami ingin ketika kami sudah meninggalkan kampung tersebut, perpustakaan masih dapat dikelola dan berjalan terus menerus dibantu oleh pemuda-pemuda. Karena menurut kami percuma jika hanya mengandalkan kami yang barang beberapa hari saja, harus ada volunteer lokal yang mengelola.
Setelah tim advance selesai dengan segala keperluan, kami menunggu tim bantuan. Namun segera kami memperoleh kabar bahwa tim yang menyusul mengalami kecelakaan lalu lintas di Temanggung sehingga mereka memutuskan untuk kembali ke Jogja mengingat jarak ke Batang masih cukup jauh dibandingkan ke Jogja. Malam itu kami yang berada di Batang hanya bisa berdoa semoga mereka baik-baik saja dan mulai kebingungan dengan agenda yang akan kami laksanakan keesokan harinya karena kurangnya sumber daya manusia dan sumber daya materi yang kami punya saat itu.
Keesokan harinya kami bangun dalam keadaan malas-malasan karena hawa yang sangat dingin, namun dengan semangat awal yang tidak kami lupa akhirnya kami memulai hari tanpa tim bantuan yang akan berangkat di pagi hari dan kelak sampai di Batang pada sore hari. Agenda pertama kami berempat hari itu yaitu membagi tugas antara membeli perlengkapan renovasi perpustakaan seperti tikar dan segala macamnya, serta lainnya memulai membereskan perpustakaan yang sangat kotor sembari mendata kembali buku-buku yang pernah ada. Kekurangan SDM tidak menyurutkan semangat kami, walaupun jobdesc yang begitu menumpuk. Kami melaksanakan semua itu dengan sepenuh hati walau harus mengeluarkan energi yang berlebih.
Kemarin ketika menawarkan diri untuk ikutan membantu ke Batang, saya sebenarnya ingin menjadi tim dokumentasi saja mengingat saya tidak pernah ikutan rapat-rapat persiapan tim Batang dan tidak mengetahui konsep-konsep serta materi yang mereka siapkan. Namun karena keterbatasan SDM, tanpa pikir panjang mengingat kesukaan saya terhadap buku, edukasi dan anak-anak sehingga saya ikutan membantu keberlangsungan jalannya program. Saya lebih senang bermain dengan anak-anak, sehingga saya menawarkan diri untuk menjaga anak-anak yang sedang membaca atau sekedar bermain-main dan mempersilahkan teman-teman lain untuk mengurusi segala keperluan yang memang tidak sedikit.
Hingga akhirnya tim bantuan datang, akhirnya kami kembali menjadi tim yang solid dan lengkap dengan jobdesc masing-masing hingga acara selesai dan kembali ke Jogja lagi.
-
5. Jelaskan mengapa anda pantas untuk terpilih sebagai relawan pendaki yang akan dilatih dan dikirim untuk mendaki Gunung Mandala (4.700 mdpl) pada Festival Puncak Papua!
Saya layak berpartisipasi dalam Festival Puncak Papua, karena kegiatan akademis dan non-akademis saya mendorong pelaksanaan salah satu visi UGM yaitu Mengabdi Kepada Kemanusiaan. Kegiatan yang saya ikuti antara lain adalah Mahasiswa Pecinta Alam GEGAMA Fakultas Geografi UGM yang aktif dalam bidang penjelajahan dan penelitian terutama terkait bidang Geografi itu sendiri.
Selain itu di luar akademik Fakultas Geografi saya juga tergabung dalam Unit Kesehatan Mahasiswa serta Gelanggang Emergency Response Universitas Gadjah Mada yang aktif dalam bidang sosio-medis, ke-tanggapbencana-an, serta Search and Rescue atau SAR.
Dalam upaya mengisi kemerdekaan dengan mencerdaskan kehidupan bangsa, saya tergabung sebagai Volunteer di Komunitas Book For Mountain yang aktif membangun perpustakaan di berbagai pelosok daerah beserta kegiatan edukasi yang diberikan kepada anak-anak.
Untuk itu, saya sangat ingin berpartisipasi dalam Festival Puncak Papua yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan partisipasi masyarakat terhadap pendidikan dan kebudayaan dipelosok Indonesia terutama di Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua.

Diklat 1 Tambakruyung


Festival Puncak Papua

Seleksi Tahap Akhir Relawan Pendaki Puncak Mandala


Haloo Genk,,,,
Teriakan-teriakan itu yang terus berdengung selama 4 hari 3 malam di Kawasan Konservasi Masigit Kareumbi dalam seleksi tahap akhir relawan pendaki Festival Puncak Papua.
Mandalaaaa,,,,
Teriakkan kami membalas, tidak kalah semangat.
Akhirnya kami berlima terpilih dari 525 pendaftar, suatu ketidakpercayaan karena pada awalnya mendaftar hanya karena iseng.

Sebuah Kepercayaan

Nama saya Ahmad Fikri, mahasiswa semester 3 jurusan Geografi Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Sebelum mengemban amanah sebagai calon geograf muda, saya pernah berkuliah di jurusan Teknik Kimia di kampus yang sama. Cerita saya tentang kepindahan dari Tekkim dapat di baca di blog pribadi saya. Namun sedikit bocoran, selama 2 tahun pengelanaan saya di Tekkim akhirnya saya sadar bahwa saya anak lapangan dan senang dengan kegiatan kemanusiaan yang tidak saya dapatkan di bangku kelas.
Belum genap satu semester kepindahan, saya percaya bahwa Geografi adalah jalan yang sangat cocok dengan jiwa petualang yang saya miliki. Selain begitu senang dengan mata kuliah yang ditawarkan berkat dosen yang selalu bercerita tentang tempat-tempat baru dan alasan geografisnya, selalu ada kelas lapangan yang berdinding tebing dan beratapkan langit dengan lampu matahari ataupun bulan-gemintang yang menerangi. Kegiatan ekstrakurikuler yang saya ikuti juga menyesuaikan dengan minat saya, petualangan dan kemanusiaan.
Hingga akhirnya dua organisasi yang menjadi role-model saya, WANADRI dan Indonesia Mengajar mencipta kolaborasi dengan menawarkan pengalaman menjadi relawan pendaki dalam Ekspedisi Puncak Mandala Festival Puncak Papua. Saya mendaftar dengan kepercayaan diri, menulis essay ketika kelas sedang berlangsung, membuat video “kenapa saya layak” di ketinggian gunung diantara ilalang. Kemudian video tersebut saya publikasi ke akun instagram saya (@m.ikkikay) lalu ditertawakan oleh seluruh teman-teman, mungkin tawa merekalah yang mejadi doa hingga mengantarkan saya ke titik ini.
Setelah menerima kepercayaan dari teman-teman WANADRI dan Indonesia Mengajar, saya sadar bahwa saya harus meminta ijin terlebih dahulu kepada orangtua dan kampus. Awalnya orangtua sangat keras tidak merestui, ditambah kampus yang secara administrasi belum bisa untuk ditinggalkan karena ijin cuti baru bisa keluar ketika telah melewati semester keempat. Namun, berkat ijin semesta akhirnya orangtua dapat merestui serta surat ijin cuti dari kampus dapat keluar tanpa kesulitan yang berarti. Sebuah kepercayaan dari semuanya, yang tidak boleh saya lupakan.

Menjadi Relawan

Sebelum berangkat ke Puncak Mandala (4760 mdpl) di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua, kami harus menjalani berbagai tahapan diantaranya diklat kelas, diklat lapangan 1 dan 2 serta light ekspedisi yang dilaksanakan selama bulan Februari hingga April diberbagai tempat yang sesuai dengan target latihan.
Materi kelas berlangsung pada 3-4 Februari 2018 di Markas Besar Wanadri Jalan Aceh No. 155. Kami dibekali banyak sekali ilmu baru yang sebelumnya masih belum kami pahami. Materi Wawasan Ekspedisi di hari pertama yang diberikan Kang Totok, yang dulunya Ketua Ekspedisi Salu Uro Wanadri 2016, membuka pikiran kami bahwa eksepdisi tidak sekedar berpetualang dengan berbagai keseruannya. Namun diperlukan rencana yang benar-benar matang agar dapat mengurangi kesulitan dan menghilangkan kerumitan berekspedisi.
Dilanjutkan materi Logistik Ekspedisi, oleh Kang Sendi Nugraha, yang membuat kepala kami terlampau pusing. Ternyata manajemen peralatan dan perbekalan dalam ekspedisi tidak semudah seperti mendaki gunung biasa. Diperlukan pengaturan yang sesuai dan adil agar pelaksanaan kegiatan tidak menemukan kendala. Juga materi dari Kang Dadang, anggota Wanadri angkatan 1993, terkait Kesehatan Perjalanan. Bagaimana mengatur perjalanan agar tetap sehat baik dari segi fisik, mental dan daya tahan tubuh. Materi terakhir di hari itu adalah materi yang membutuhkan kemampuan otak untuk berpikir, yaitu Pengantar Navigasi Darat, oleh Kang Ismail, yang mengharuskan kami mengerti teori-teori Medan, Peta dan Kompas sebelum dipraktekkan kelak pada tahapan diklat dan selama ekspedisi.
Esoknya, kelas dimulai dengan materi Survival yang dibawakan oleh kang Sony Ozz yang juga anggota Wanadri. Kang Sony Ozz ini telah melanglang buana di seluruh penjuru negeri. Dengan kemampuan survivalnya khususnya membuat api dengan cara apa saja, makanya beliau dijuluki sebagai Dewa Api. Materi ini mengingatkan saya dengan pengalaman survival pada pendidikan dasar di kampus. Ternyata esensi survival bukanlah berpuasa melainkan bagaimana caranya untuk dapat berperan sebagai seniman di dalam hutan dengan mencari dan mengolah makanan/minuman yang tepat serta membuat shelter dari bahan-bahan yang telah tersedia agar tidak membahayakan diri.
Materi kelas ditutup dengan materi Komunikasi Ekspedisi oleh Kang Aank, anggota Wanadri yang juga salah satu dari tim Pendaki Puncak Mandala. Kata kang Aank, komunikasi itu penting agar setiap kondisi dan kejadian yang terjadi dapat diketahui oleh tim basecamp dan tim pusat sehingga kegiatan berjalan tanpa ada rasa khawatir oleh keluarga dan kerabat yang ditinggal berkegiatan.
Tim kami, Tim Mandala Festival Puncak Papua, baru saja menyelesaikan Diklat 1 dengan tema Navigasi dan Survival, serta sebagai tahapan awal dalam mencairkan serta mengompakkan kondisi tim yang berasal dari berbagai latar belakang sikap dan profesi. Diklat yang diadakan di sekitar pegununga Tilu Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung ini mempunyai kisah tersendiri. Dan summit-attack puncak Tambakruyung (1994 mdpl) adalah puncak dari diklat itu. Temukan keseruan dan semangatnya pada tulisan khusus selanjutnya tentang puncak Tambakruyung.
Bandung, 24 Februari 2018
Ahmad Fikri



Kamis, 22 November 2018

Maret 2017

Aku sedang bernostalgia. Bernostalgia dengan pikiran-pikiranku tahun lalu. Kurasa tepat satu tahun sejak pikiranku mulai terbang kesana kemari memikirkan sebuah angan. Aku ingat dengan tulisan "SELESAIKAN ATAU QUIT" yang kutulis besar-besar dikamarku dan langsung dikritik teman baikku "Apa-apaan kamu?" katanya. Disitulah semua berawal.

Aku ingin menuliskan banyak hal saat ini, tapi entahlah hormonku tidak mendukung untuk itu padahal otakku mengatakan aku harus menulis. Kontemplasi terhadap banyak hal belum selesai, banyak sekali yang aku pikirkan hingga tak satupun yang aku kerjakan. Semua list-list target yang harus kukerjakan semester ini menumpuk begitu saja menjadi semacam tulisan rimender yang kutulis besar-besar dan banyak-banyak di dinding kamar menggunakan tumpukan kertas yang tidak tahu harus kuapakan.

Maret? Kurasa hampir dua bulan kalian menunggu apa yang harus kalian baca dariku, dengan segala kegeeran bahwa aku punya pembaca setia ahahha. Tapi aku tidak tahu harus menuliskan apa. Aku sekarang bingung, karena banyak sekali tugas kuliah yang menumpuk seperti laporan praktikum yang tiap minggu mengejar, tambahan tugas dari akademik fakultas karena kesalahanku tidak mengikuti program mahasiswa baru karena pura-pura sakit, ditambah pikiran-pikiran yang sampai sekarang menghantui dan belum bisa kulepas.

Dua bulan yang menghabiskan banyak sekali energi. Energi untuk memulai semester kedua yang kedua sebagai mahasiswa, energi untuk berseru-canda bersama teman baru di lereng gunung sebagai mahasiswa angkatan baru sebuah jurusan yang siap mengabdikan diri untuk bumi pertiwi dalam arti yang sebenarnya. Energi untuk kembali memulai pendidikan sebagai anggota muda organisasi pecinta alam kampus. 

Dan sisanya hanyalah bonus, untuk energi tidak memikirkan seseorang yang bahkan belum kukenal.

Energi untuk tidak memikirkan? Bukankah energi terkuras ketika kita memikirkan? Energi apa yang terkuras padahal kita tidak memikirkan?

Jumat, 16 November 2018

Memaknai 22 Tahun Kehidupan

Selamat berulang yang ke-22

Dua tahun lalu, diawal semester perkuliahan keduaku. Kutulis "Kepala Dua, Lalu Apa?". Pertanyaan itu sebenarnya masih menghantuiku. Namun entah mengapa setiap narasi yang berputar diotakku seolah sedikit demi sedikit menemui realita. Walau tentu saja lebih banyak yang gagal lahir ke dunia.

Otakku terus berputar, mengolah apa saja informasi yang sekiranya bermanfaat. Lalu menghembuskannya ke dalam kalbu, tersentak hingga ke hati, lalu menghampiri gerak-gerik jiwa. "Pragmatis sekali bapak ini", kata wanita yang akhir-akhir ini ku kagumi kinerja dan pemikirannya. Oke, ini bukan tentang wanita itu. Tulisan ini masih tentangku, toh mungkin aku harus mencari tahu sejauh apa perasaan ini kepadanya. Hufft, realitanya dia sudah mempunyai pasangan.

Kembali tentangku.

Mungkin benar, kata pragmatis adalah kata yang cocok untukku. Dalam KBBI, pragmatis berarti sesuatu yang bersifat praktis dan berguna untuk umum, menghasilkan kebermanfaatan. Kurasa yang bersarang dalam otak dan onak ku sejak beberapa tahun ini, pragmatisme, yang kemudian beberapa waktu belakangan diterjemahkan dalam bentuk kata lain, kontekstual.

(Lagi) Dalam KBBI, kontekstual berarti sesuai dengan konteks. Kontekstual yang akhir-akhir ini kusinggung adalah pembelajaran kontekstual. Menurut Mawardi, pembelajaran berbasis kontekstual menghadirkan situasi dunia nyata dan mendorong terbentuknya hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.

Bagiku, pendidikan harusnya dapat membantu kehidupan seseorang. Buat apa berpendidikan tinggi-tinggi, jika nantinya akan meninggalkan rumah tempat kita dibesarkan tanpa menengok barang sejenak. Orang-orang yang dulunya besar dan dibesarkan di desa, kemudian merasa bahwa mereka harus hidup lebih baik dengan cara meninggalkan desa itu. Mencari penghidupan dan penghasilan lain yang menurut mereka jauh lebih layak.

Akhirnya, orang-orang yang tersisa di sebuah desa hanyalah orang yang "tidak berpendidikan". Tidak ada lagi yang ingin menggarap sawah, yang katanya pekerjaan yang berat, akibat tidak ditekankannya pembelajaran kontekstual terkait sumberdaya di desa. Padahal dengan "pendidikan", hasil-hasil pertanian harusnya dapat didekati dengan teknologi dan ilmu pengetahuan. Mencipta produktivitas yang lebih baik, keuntungan dan kesejahteraan untuk semuanya. "Pendidikan" dan "ilmu" yang terlampau sakti itu, tidak dapat mereka terapkan dalam kampung halaman. Ya sekali lagi, begitulah jika melupakan nilai kontekstual.

Tanpa sadar, ke-pragmatisan dan kontenkstualitas yang kubangun membawaku memilih untuk mencoba mengabdikan diri ke kampung halaman. Dengan membentuk tim KKN Sailus di pulau kecil di Kecamatan Liukang Tangaya sana. Kecamatan yang masih masuk daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan namun lebih dekat dengan Provinsi Nusa Tenggara Barat, kurasa menjadi awal dari kepulanganku kembali ke daerah asal. Apalagi pembahasan awal terkait tema, begitu hati-hati kami diskusikan agar cocok dan sesuai dengan apa yang masyarakat sana butuhkan. Harus kontekstual kan?

Ada beberapa hal yang menjadi poin keputusanku untuk kembali ke daerah asal. Pertama, aku merasa sudah terlalu lama, 7 tahun, meninggalkan kampung halaman untuk mencari ilmu dan menjelajahi pulau seberang, pulau Jawa dan sempat sekali ke Papua (alhamdulillah gratis). Membuatku rindu dan ingin kembali ke rumah.

Kedua, pemilihanku memilih wilayah Sailus di kawasan kepulauan tengah nusantara adalah hasil uji batin antara ego dan pragmatisme. Sebagai seorang anak geografi dan aktivis pencinta alam, isu kawasan karst lebih banyak terdengar disekitar. Bahkan pemilihan divisi panjat tebing dalam organisasi mapalaku berdasarkan egoisme agar dapat mewujudkan mimpi yang dari kecil selalu terbayang, seorang pemanjat. Juga untuk mempelajari karst lebih lanjut. Memang, Pangkep adalah negeri dengan tiga-dimensi dengan gugusan perbukitan menara karst, dataran yang subur, dan luas bentangan pulau-pulau kecilnya. Pilihanku ada 2 untuk kembali ke Pangkep. Ingin ke daerah karst yang begitu eksotis bagi kaum geograf dan pencinta alam, ataukah mencoba melirik pandang saudara yang masih belum tersentuh di kepulauan yang jauh sana?

Akhirnya, kata-kata kak Rahmat terbang jauh melampaui waktu. Ataukah mungkin kami saling beresonansi dan sama-sama memilih kepulauan sebagai wadah pengabdian? Dulu, saat kutanyai kebingungan terhadap kebermanfaatan, beliau berkata "Pikirkan lagi, kira-kita yang mana menurutmu lebih bermanfaat." Btw kak Rahmat ini sudah selalu ku mention di tulisan-tulisanku sebelumnya. Selalu menjadi Role-Model ku dalam pengabdian tanpa pamrih.

Berkat program The Floating School yang mereka (bersama istrinya) karyakan, membuat lebih banyak orang mulai mengetahui keberadaan pulau-pulau nun-jauh sana.

Awalnya, banyak dari kalangan dekatku menyayangkan mengapa harus ke wilayah yang begitu jauh, pulau dengan waktu tempuh 3 hari dari Pangkep. Namun faktanya, disitulah pusat permasalahan yang orang-orang tidak pernah mampu benahi.

Ada sesuatu yang aneh, dimana orang darat (daratan utama Sulawesi) dikirim ke kepulauan dengan kondisi keluarga berada di darat. Alhasil, sebagian besar dari mereka memilih mangkal tidak ke pulau dan hanya menghabiskan gaji bulanan bersama sanak family. Lalu apa kabar mereka yang membutuhkan tenaga pengajar dan kesehatan disana? Kabar sumberdaya dengan potensi yang begitu menarik siapa yang kelola tanpa ada pemberdayaan dan pembekalan kepada masyarakat asli yang kehidupannya di kepulauan?

Lalu, siapa lagi yang ingin mengabdi ke kepulauan antah berantah sana, jika melirik saja mereka tidak berkenan?

Terakhir, kemana makna sila terakhir dalam ideologi negeri?
"Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" termasuk yang berada di tengah-tengah Indonesia sana.



Mohammed Ikkikay
Bulaksumur, Jumat 16 November 2018
di Kampus Geografi UGM
di ruang kerja nyaman kata orang














Sumber:
https://kbbi.web.id/pragmatis
https://kbbi.web.id/kontekstual
Mawardi, Imam dan Imron. MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN SOFT SKILLS SISWA. Tersedia: http://download.portalgaruda.org/article.php?article=396641&val=5247&title=MODEL%20PEMBELAJARAN%20KONTEKSTUAL%20UNTUK%20MENINGKATKAN%20SOFT%20SKILLS%20SISWA . Diakses pada 16 November 2018 pada pukul 02.31 WIB.


Kamis, 20 September 2018

Part 2: Papua, Geografi dan Transportasi

Kali pertamaku datang ke Papua, dengan penerbangan terlama dan terjauh ku selama ini, dari Jakarta ke Jayapura. Keberangkatan pesawat Garuda pukul 10 malam dari terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta yang luas bukan main. Pesawat akan transit ke Makassar dan sampai di tujuan kami Jayapura pada pagi hari. Bayangan akan indahnya alam Papua dari ketinggian ditambah latar matahari terbit membuat mataku tidak bisa terpejam. Untungnya pesawat dilengkapi fasilitas layar yang dapat dinikmati untuk menonton film. Kutonton hingga 2 buah film selama perjalanan.

Ekspektasi keindahan yang kubayar dengan tidak tidur ternyata terlalu besar. Ketika matahari muncul, ketinggian pesawat masih berada pada ribuan kaki diatas permukaan sehingga yang terlihat hanyalah langit, langit dan hanya langit berwarna jingga. Pemandangan mulai terlihat ketika mendekati Jayapura dengan kekhasan alam di danau Sentani, namun tidak kunikmati maksimal karena kepala yang mulai mengeras akibat tidak tidur semalaman.

Kami sampai pukul 7 WIT yang berarti di Jakarta baru pukul 5 subuh. Di waktu yang sama, teman kami yang lain akan bertolak dari bandara yang sama, Bandara Sentani Jayapura, menuju ibukota kabupaten Pegunungan Bintang menggunakan pesawat perintis, kapasitas 30-an penumpang. Kami sempat bertemu sebentar dan menitipkan barang titipan melalui celah-celah pintu waiting-room bandara.

Selamat Datang di Papua.

Setelah menunggu barang, kami keluar bandara dijemput salah seorang teman. Barang kami taruh di tujuan penginapan lalu bergegas lagi menuju kantor penerbangan AMA Air yang pesawatnya akan kami tumpangi ke distrik Bime, Pegunungan Bintang.

Cerita-cerita yang pernah kudengar dan kubaca terkait ketidakpastian transpotasi menuju pedalaman Papua ternyata benar. Untuk menuju Bime, hanya ada beberapa maskapai yang menyediakan jasanya. Itupun dengan pesawat kecil seperti caravan, cessna atau lebih kecil lagi pesawat capung. Karena kapasitas penumpang yang sedikit itu, ditambah jumlah penerbangan yang sedikit dan tidak tentu, mengharuskan kami untuk menunggu beberapa hari lagi.

Informasi awal yang kami peroleh sewaktu masih di Jakarta bahwa kami akan bertolak ke Bime di hari Senin, sela 2 hari sejak kedatangan kami di Jayapura. Namun setelah mengobrol dengan petugas maskapai, ternyata jadwal pesawat tercepat baru bisa setelah 17 Agustus. Itu berarti paling cepat di tanggal 18 Agustus, satu minggu sejak kedatangan kami. Katanya, karena mendekati 17an banyak pesawat yang harus digunakan merata ke semua daerah-daerah untuk mengangkut keperluan ulangtahun negara. Padahal kalau tidak sesibuk ini, pesawat yang nganggur akan segera diberangkatkan ke daerah tujuan jika penumpang daerah yang dituju sudah memenuhi kapasitas. Kalau kurang harus menunggu penumpang lain hingga hari dimana penumpang penuh. Layaknya angkot yang tidak mau bergerak kalau penumpang belum cukup, kejar setoran.

Yang ku pikirkan saat itu, apa yang akan kulakukan selama seminggu di Jayapura? Tidak ada.
Kalian pasti berpikir, ya habiskan waktu dengan jalan-jalan dong. Mumpung di Papua, mumpung di Jayapura.

Setelah memenuhi perbekalan-perbekalan yang akan kami bawa ke Bime, hari sabtu depan jadwal keberangkatan masih juga lama. Kami dijanjikan ketidakpastian oleh maskapai. Jadi, kami tidak berani pergi jauh untuk sekedar jalan-jalan. Lagian tugas kami belum juga dimulai, malah sudah berpikir lain. Pasalnya, setiap hari kami harus follow-up ketersediaan pesawat, bisa jadi ada kemajuan hari keberangkatan. Betul saja di hari kamis 2 hari sebelum jadwal yang sesuai, pagi-pagi setelah mandi, kuterima telepon dari Pak Windi, petugas maskapai AMA Air yang selalu melayani kami, katanya kemungkinan hari itu akan ada pesawat ke Bime pada flight ketiga, sekitar jam 11an. Itu baru kemungkinan, bisa saja tidak jadi karena berbagai alasan seperti cuaca dan lainnya. Apalagi flight ketiga itu cukup rawan, soalnya di pegunungan hampir tiap siang hujan akan turun tanpa mengerti musim. Kalau cuaca tidak bersahabat, bisa-bisa kami harus menunggu beberapa hari lagi.

Keberangkatan menuju Bime di mulai dari kantor Ama Air, bukan di bandara layaknya penerbangan pada umumnya. Beberapa maskapai berjejer di samping bandara, masih dalam kompleks lapangan terbang, mendirikan kantor masing-masing. Check-in dan boarding tidak seperti biasanya. Kami hanya menyetor nama dan memasukkan barang ke bagasi. Belum ada kepastian keberangkatan, sehingga pembayaran belum bisa dilakukan. Katanya, akan ribet dan mudah memunculkan masalah jika pembayaran sudah dilakukan padahal gagal berangkat.

Syukurnya, setelah capek berdiri dan lama menunggu, kepastian keberangkatan akhirnya kami pegang. Ongkos yang kami bayarkan sebesar 1,7 juta perorang dengan jatah bagasi masing-masing hanya 10 kg. Padahal total bagasi yang kami berdua bawa kurang lebih 150 kg, maklum itu semua jatah makan dan ngemil selama disana yang katanya tidak ada warung, kalaupun ada tidak lengkap dan mahal. Makanya ongkos overweight 130 kg sebesar 3,55 juta dengan rincian 25 ribu per kg nya (ini cerita perjalanan atau belajar matematika?). Sungguh ironi, betapa mahalnya ongkos transportasi menuju sana. Padahal hanya itu satu-satunya moda transportasi penakluk pegunungan. Tol Trans Papua yang presiden Jokowi banggakan sayangnya belum menembusi belantara rawa hingga ke pegunungan tengah Papua.

Sejauh mata memandang, ditemani peluh yang berkucur deras karena tegang pertama kali menaiki pesawat kecil jenis cessna, hanya warna hijau hutan dan kelok coklat sungai menemani rawa dan pegunungan khas Papua. Pesawat kecil yang ditumpangi terbang tidak terlalu tinggi, tepat di langit letak awan terbawah, menimbulkan turbulensi kuat. Penumpang yang hanya berjumlah sembilan orang ditemani tumpukan barang yang sepertinya lebih berat dibanding total manusia di pesawat. Manusia disebelah kanan, logistik di sebelah kiri.

Satu jam perjalanan, pesawat berkelok kiri-kanan beberapa kali kemudian terlihat lapangan terbang Bime yang disambut warga yang berkumpul mencari hiburan. Lapangan terbang Bime baru saja selesai diaspal, lapangan terbang yang lebih baik jika dibandingkan dengan lapangan terbang di daerah lain yang hanya beralaskan tanah berbatu khas pegunungan. Di ujung landasan sebelum menabrak tebing, pesawat berbelok 100 derajat dilanjutkan berputar 360 derajat untuk parkir pesawat.

Rame sekali warga berkerumun, bisik-bisik siapa gerangan keluarga yang bergabung kembali ke kampung dan siapakah pendatang baru berambut panjang itu? Pesawat kembali terbang setelah menurunkan seluruh penumpang dan barang berkwintal-kwintal.

Selamat datang di Bime, perjuangan sebenarnya baru di mulai!

#papua
#festivalpuncakpapua
#indonesiamengajar

Jumat, 07 September 2018

Bime, Masih Indonesia!



“Namun bagiku, ujian pertama dalam perjalanan adalah pembuktian kesabaran”
Titik Nol – Agustinus Wibowo


Take-off pesawat di Lapangan Terbang Bime
(Dokumentasi Pribadi)

Sebagai seorang mahasiswa, momen seremoni semacam upacara memperingati kelahiran republik sangat jarang dilakukan. Tapi kali ini, betapa beruntungnya diriku. Sebab sehari sebelum peringatan tahunan ini dihelat, kami datang menggunakan pesawat jenis caravan yang hanya muat 9 penumpang. Penerbangan kami tiba setelah menunggu sekian hari. Distrik Bime adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Pegunungan Bintang. Di daerah tingkat satu ini, serta beberapa daerah tetangganya, diakses hanya melalui jalur udara. Di setiap distrik (baca: kecamatan) pasti ada lapangan terbang yang hanya muat untuk pesawat-pesawat kecil yang datang langsung dari Jayapura, lalu ketika pulang bahkan kadang harus singgah di distrik sebelah untuk mencari penumpang, layaknya angkot kalau di kota-kota.

Kedatangan pesawat membuat anak-anak yang bermain di lapangan terbang Bime segera menyingkir. Orang-orang yang datang dari berbagai desa (disini disebut/setara dengan kampung) bergerombol layaknya keramaian di pasar malam, sekedar ingin mencari hiburan. Kalau beruntung, terselip nama mereka pada barang-barang bongkar muat yang dibawa pesawat. “Kiriman raskin dan supermi itu” kata mereka, merujuk pada beras dan mie instan kiriman keluarga mereka di kota.

Ada cerita lucu ketika pertama kali kedatanganku. Warga yang berkerumun di luar pesawat bergosip ria tentang siapakah gerangan Kaka' yang rambutnya panjang itu. Rambutku yang kubiarkan terjuntai memang sering dikira rambut wanita, warga Bime juga mengira demikian. Tapi kekecewaan mereka cepat sekali datang setelah aku turun dan mereka tidak menemukan tonjolan di dadaku. Kata mereka, karena aku tidak berbuah dada makanya mereka langsung mengerti kalau aku seorang lelaki. Kelak Itu kudengar dari seorang gadis kelas 2 SD bernama Apioka.

Pesawat kembali terbang, ditonton sebagian kerumunan warga yang masih terkesima walaupun setiap minggu melihat beberapa pesawat datang dan pergi. Sebagian lagi bisik-bisik bertanya tentang kehadiran kami. Mungkin karena trauma masa lalu terhadap pendatang yang hanya sekedar lewat, datang tanpa memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada masyarakat, ditambah sulitnya akses ke daerah mereka, menambah rasa penasaran itu. Untungnya kedatangan kami telah ditunggu oleh seorang teman yang sudah disana beberapa minggu sebelumnya. Kami diajak memperkenalkan diri ke masyarakat, menjelaskan maksud kedatangan kami guna ikut dalam membantu-bantu proses belajar-mengajar di sekolah, khususnya Sekolah Dasar. Sayangnya kehadiran kami tidak lama, hanya dua minggu.

Masih sekitar pukul 2 siang di hari kedatangan, kami berbincang-bincang dengan beberapa orang penting kampung, lanjut sedikit beristirahat sambil menyesuaikan kondisi lingkungan disana.

---

Futsal dilapanga tanah khas pegunungan
(Dokumentasi Tim Bime)

Sore hari selepas tidur siang singkat, masih dengan kepala yang pusing akibat jetlag, kulihat pemuda-pemudi sudah ramai di lapangan kantor distrik yang dekat sekali dari kediaman kami. Sehari sebelum peringatan 17 Agustus, mulai diadakan lomba futsal dan voli se-distrik. Laki-laki dan perempuan bertanding dalam kategorinya masing-masing. Betapa terkejutnya, bahwa tendangan perempuan-perempuan Papua begitu kuat layaknya tendangan pemuda lain. Padahal lomba futsal tidak dipertandingkan di lapangan bagus seperti di kota-kota dengan biaya sewa perjam yang lumayan. Melainkan lapangan tanah yang becek akibat genangan hujan yang turun tiap harinya ketika sore hari menyapa. Sebagian besar dari mereka yang tidak menggunakan alas kaki, tidak kalah keras dengan kombinasi tanah berbatu ataupun bola sepak yang mereka tendang.

Malam pertamaku di kampung Bime kuhabiskan dengan istirahat. Ditemani hawa dingin khas pegunungan, dan temaram lampu yang tidak begitu kuat menyala akibat terbatasnya pasokan listrik dari PLTA yang hanya datang saat malam. Satu-satunya PLTA disana, itupun baru selesai diperbaiki dua hari sebelum kedatangan kami, makanya hari-hari selanjutnya tidak begitu menyeramkan dan menyusahkan. Tapi jaringan telepon, sinyal hp seterkenal telkomsel pun tidak ada. Komunikasi kami ke dunia luar mungkin akan tertutup seandainya tidak ada telepon satelit yang kami bawa dengan harga pulsa yang mahal minta ampun. 

---

Suasana Upacara 17 Agustus
(Dokumentasi Tim Bime)

Hawa dingin ternyata tidak pergi-pergi sampai keesokan hari. Lapangan kantor distrik dijadwalkan akan melaksanakan upacara pukul 9, kami baru terjaga pukul setengah 9. Bergegas kami berganti pakaian tanpa perlu mandi, mengikuti kebiasaan masyarakat. Buat apa mandi dengan bersusah payah melawan dingin air hasil tampungan hujan yang menusuk sampai ke tulang. Apalagi tidak ada bau dan keringat yang tubuh kami produksi. 

Dari beranda rumah panggung kayu yang kami tinggali, belum ada tanda-tanda keramaian di lapangan upacara. Padahal setelanku sudah lengkap dengan amunisi action-cam untuk mengabadikan momen langka ini.

Setengah jam menunggu, sambil menyapa siapa saja yang lewat di depan rumah yang kebetulan menjadi salah satu jalan utama menuju lapangan. Kami diajari ucapan selamat pagi yang disana diucapkan dengan kata “Telebe”. 
Dengan percaya diri sejak pagi itu dan pagi-pagi selanjutnya kami menyapakan Telebe dengan siapa saja yang kami temui di jalan, walaupun kadang juga tetap dengan kata selamat pagi-nya Indonesia.

Rombongan perangkat pemerintah datang, disusul para pendatang yang mengabdi sebagai penyuluh pertanian dan tenaga kesehatan, lalu rombongan siswa SD yang imut dipimpin pak Gurunya. Warga sudah berkumpul di sekitar lapangan, tapi entah mengapa tidak ikut kedalam barisan. Mungkin upacara semacam ini hanya sekedar selebrasi seremonial yang diwajibkan kepada aparatur negara yang bersetelan rapi saja. 

Penyuluh pertanian asal Jatim menjadi pemimpin upacara yang diinspekturi oleh Sekretaris Distrik menggantikan kepala Distrik yang belum pernah kembali ke tempatnya bekerja. Para nona bidan yang berasal dari Sulawesi Selatan dan Tenggara bertugas sebagai pembaca UUD 1945 dan protokoler. 

Panjat Pinang
(Dokumentasi Tim Bime)

Upacara bendera yang khidmat di pinggiran ibu pertiwi, tepat disebelah Papua Nugini. Dengan komposisi pelaksana upacara dari berbeda pulau, tidak membuat seremoni terganggu. Malahan, dipinggiran negara tanpa disentuh tangan negara, Indonesia kurasa tidak hadir secara fisik lagi namun sudah melekat dalam setiap hati masyarakat yang tinggal disini, tinggal di Bime yang masih bagian Indonesia.

---


Lomba Memanah
(Dokumentasi Tim Bime)



Selasa, 15 Mei 2018

Menghangatkan Diri – Berlatih Camp Craft

Camp-craft


Ingatanku jatuh ke akhir tahun 2016. Kala itu ketika pendidikan dan pelatihan dasar ku di organisasi pencinta alam fakultas, GEGAMA. Fokus ke hari itu, kami berempat, aku, Randu (yang kini jadi ketua umum), Kandes (yang kini memilih jalan berbeda, keluar), dan Pinus terbangun pagi-pagi karena grusak-grusuk ku kebelet buang air besar yang kesekian dalam diklatsar tsb. Teriakanku menyebut golok, mencari disekitar bivak kami yang hanya terbuat dari dua buah ponco yang tidak terlalu bagus. Kami mulai berpuasa sejak semalam dipersatukan menjadi sebuah tim survival. Pikirku saat itu, survival adalah berpuasa, menahan makan.

Menjaga api tetap menyala
Hindari penggunaan daun karena dapat menutupi bara.
Ranting yang digunakan yang kering dan mulai dari yang kecil kemudian makin membesar
                                                      
Siangnya kami diberikan korek api beberapa biji dan sebuah lilin untuk membuat api. Aku blank, tidak tahu akan berbuat apa. Efek puasa itu mungkin, belum makan dan minum (seperti biasa), terlebih lagi ketika dulu praktek pra-diklatsar tidak datang ketika materi pembuatan api. Kami hanya memanfaatkan api kecil dari lilin untuk membagi kehangatannya kepada kami berempat. 

Sekarang (right here, ringht now) aku hanya bisa tertawa membayangkan kembali kenangan itu, betapa tidak mengertinya kami materi membuat api. Atau jangan-jangan materi yang senior-senior kami saat itu punya juga belum memadai untuk mentransfer ilmu membuat api? 

(Karena ketidakhadiranku saat meteri itu, menjadikan ketidaktahuanku apakah ada materi membuat api unggun?)


Kembali ke Diklat Gunung Hutan Tim Mandala Festival Puncak Papua

Komunikasi menggunakan SSB ke Sekre Wanadri di Bandung.
Pemasangan antena SSB dilakukan setelah flysheet terbentang dan diletakkan setinggi mungkin tak terganggu kanopi yang dapat menutupi gelombang sinyal
Selain ilmu pergerakan, Navigasi Darat, kami juga diajarkan (dan belajar dari memperhatikan) banyak ilmu lain terkait gunung dan hutan. Teknik komunikasi melalui Handy Talky (HT) ke regu lain atau laporan harian ke sekre 155 Wanadri melalui Single Side Band (SSB), Zoologi dan Botani Praktis (ZBP) yang menyadarkan bahwa survival bukanlah sekedar puasa, serta materi Camp Craft atau seni pemondokan di alam bebas seperti pembuatan api, shelter atau bivak, dan tata cara pemilihan lokasi.

Pemasangan flysheet
Seperti yang kusebutkan sebelumnya, survival sendiri merupakan seni bertahan hidup dengan memanfaatkan apa yang ada disekitar, jangan sampai kekayaan yang ada di alam membuat kita berpuasa. Pembuatan trap guna memenuhi kebutuhan protein, analisis peta dan medan untuk mencari sumber air yang paling dibutuhkan tubuh, juga pemilihan dan pengolahan tumbuh-tumbuhan hutan yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganjal isi perut. Walaupun dalam diklat-diklat kami tidak sepenuhnya berpuasa ataupun mempraktekkan ZBP secara betul-betul, tapi perkenalan kami cukup memberi kesan. Mengolah minimal lima jenis tumbuhan yang dapat dikonsumsi agar racun-racun yang terkandung satu sama lain dapat ternetralisir, tentu masih ditemani dengan nasi. Mengumpulkan air dari hujan deras yang mengguyur, yang walaupun telah dimasak dan dicampur energen tetap saja rasanya aneh. Dan beberapa percobaan yang mungkin kulupa.

Setiap sore, sesuai kesepakatan, pukul empat sore kami harus menghentikan pergerakan untuk segera mencari lokasi yang tepat untuk mondok. Ketika kami sepakat dimana titik yang akan kami gunakan, segera kami berbagi tugas agar segalanya dapat berjalan cepat dan efisien sebab waktu kami hanya sekitar dua jam sebelum senja benar-benar menghilang digantikan gelap.

"Tenda" kami siap digunakan
Bukan menggunakan tenda dome

Jobdesk pertama adalah pembersih area, dengan menggunakan tramontina membuka semua belukar yang kiranya menghalangi tempat yang nanti akan kami gunakan beraktivitas seperti tidur, memasak, briefing  bersama api unggun atau sekedar mondar-mandir. Dulu ketika masih seleksi akhir di Kareumbi, kupikir pohon-pohon yang menyesuaikan keberadaan kami, sehingga tebas saja semua pohon apapun jenisnya. Namun ternyata kami-lah yang harus menyesuaikan, terutama terhadap pohon-pohon utama walau masih kecil atau remaja. Jika sekedar perdu dan rumput yang mengganggu, libas saja, toh dalam beberapa minggu mereka akan segera kembali seperti semula. Tapi tetap bijak ya.

Libas-melibas ini yang dulu selalu terbayang dipikiranku. Tentang tanaman-tanaman yang harusnya tidak boleh di sabet sesuka hati, namun mengganggu jalan dan pergerakan. Hingga akhirnya kuberpikir, setidaknya bukan pohon-pohon utama yang entah masih kecil atau remaja yang kami tumbangkan, toh jika hanya perdu dan rumput yang cepat sekali tumbuh kenapa harus dibiarkan. Alam akan segera kembali membesarkan mereka, bahkan akan lebih besar ketika kita kembali ke tempat yang sama kelak (saking lamanya untuk ke tempat yang sama lagi). Masih dengan bijak juga ya.

Jobdesk selanjutnya, biasanya orang yang sama setelah area clear dari belukar dan sudah dapat digunakan, yaitu pemasang flysheet. Oiya, dalam kegiatan jelajah hutan semacam ini, tentu saja sangat merepotkan jika harus menggunakan tenda dome. Selain beban nya yang cukup berat, tentu saja sangat rawan sobek ketika digunakan walaupun area telah dibersihkan. Area yang bersihpun tidak sepenuhnya bersih, tentu saja akar-akar dan batang kecil yang masih ada di tanah dapat menjebloskan floor tenda dome. Maka flysheet dipasang dengan pasak-pasak pohon kokoh yang berjarak cukup untuk semua tim mendapat posisi enak ketika tidur nanti yang hanya beralaskan matras. Pemasangan flysheet ini sebisa mungkin dapat sebagus dan seberfungsi mungkin dalam sekali proses pemasangan tersebut. Kelak ketika angin dan hujan tetiba muncul sangat kencang dan deras, kita tidak perlu lagi bersusah-susah, berbasah-basah untuk membetulkan sebab sudah berdiri dengan kokoh dan sempurna. Jangan lupa parit jika khawatir air dapat melewati dan menggangu.

Yang pertama kali diolah setelah air panas, yaitu beras
Jobdesk lain yang tidak kalah penting yaitu masak. Biasanya daerah masak dapat lebih dulu dibentuk sebelum kemah flysheet, sebab logika tidak akan berjalan dengan baik jika tidak didukung logistik, yang tentu saja membutuhkan waktu hingga siap disantap bersama di malam hari. Tim dapur ini juga mendukung pembuatan konsumsi minuman hangat yang dibutuhkan ketika cuaca mulai men-dingin.

Ketika api unggun telah berkobar tanpa perlu dijaga lagi
Jobdesk utama lainnya yaitu pembuat dan pencari kayu bakar. Jobdesk ini biasanya minimal dilakukan oleh dua orang yaitu pembuat dan penjaga api, ditemani pencari kayu bakar sesungguhnya, kayu bakar yang besar-besar dari batang-batangan pohon yang sudah tumbang.

Pembuat dan penjaga api akan mengumpulkan ranting-ranting kecil sebanyak mungkin agar api yang diperoleh dari pemantik seperti sampah plastik, karet ban atau paraffin dapat tumbuh terus-terusan hingga dapat membakar kayu batang pohon yang lebih besar. Ketika kayu bakar dari batang yang besar sudah dapat terbakar, itu artinya api tidak perlu terlalu dijaga, cukup menumpukkan batang-batang besar lain ketika kobaran api dirasa kurang menghangatkan. Kobaran api unggun ini selain untuk menghangatkan tubuh dari cuaca malam yang dingin, juga dapat mencegah hewan buas mendekat, membantu mempercepat proses dekomposisi batang tadi, terlebih lagi dapat dijadikan bahan bakar untuk memasak (nasi dan air contohnya).

Bahan bakar api unggun dari batang-batang pohon yang bertumbangan

Pencari kayu bakar satunya, akan berkeliling disekitar area untuk mencari pohon-pohon yang sudah tumbang lantas kemudian dipotong-potong. Ingat, kami menggunakan batang pohon yang sudah tumbang, bukan dari pohon yang masih berdiri kokoh. Pernah ketika seleksi akhir (lagi, di Kareumbi), kukira ribut-ribut dentuman golok dari arah camp craft panitia yang tidak terlalu jauh dari tempat kami adalah dentuman yang ditujukan ke pohon-pohon utama yang masih berdiri kokoh lantas ditumbangkan dan dipotong guna memenuhi kebutuhan kayu bakar. Ternyata prasangka burukku salah.

Bersambung

Belajar Bergerak Taktis

"Bangun, sebab pagi terlalu berharga tuk kita lewati dengan tertidur.
Bangun, sebab hari terlalu berharga tuk kita lalui dengan bersungut-sungut"
 

Berjalan Lebih Jauh - Banda Neira

Orientasi Titik Awal
Amunisi Latihan: Peta, Kompas, Roomer, Lembar Navigasi
(Lembar Navigasi berfungsi untuk melatih dan merekam pergerakan selama latihan. Di lembar tersebut terdapat kolom titik sebelum dan sesudah, lama waktu, medan dll. Hal tersebut berfungsi agar kelak dapat menganalisis pergerakan selanjutkan akan seberapa lama dan melihat perkembangan pergerakan kelak).
Aku merasa memulai kembali semua materi kepencintaan alamku dari nol. Materi lapangan sudah mulai diberikan kepada kami ketika seleksi akhir di Kareumbi, walaupun dengan raba-raba kami belajar. Tentang penggunaan kompas orienteering yang lebih praktis daripada kompas bidik yang diagung-agungkan banyak kalangan. Wanadri sendiri sudah sejak lama menggunakan kompas ini, mereka bilang kompas ini lebih efisien, terkait kurangakuratan yang banyak kalangan katakan, sebenarnya ketika telah diimplementasikan kedalam peta hasilnya sama saja. Perbedaan lain yang kupelajari yaitu penggunaan roomer, yaitu alat yang berbentuk persegi, tipis dan transparan, berguna untuk plotting koordinat, koordinat geografis. Roomer dibuat khusus, dengan ukuran skala tertentu yang setiap jarak garis-garisnya melambangkan ‘detik’ tertentu, untuk skala peta 1:25.000 kami menggunakan roomer ukuran 30 detik.

Berada di sadelan dan memperhatikan medan disekitar serta di peta, memperhatikan kanopi pepohonan dan langit dibaliknya.
(Sadelan berasal dari bahasa Inggris Sadldle, yang berarti sebuah daerah kecil, me-lembah diantara 2 puncakan.
Analisis kanopi pepohonan berguna untuk melihat medan yang jauh di depan. Apabila dibalik kanopi pohon langit rerlihat menyambung diantara bagian sebeah kiri dan kanan maka medan di depan diprediksi akan landai)

Selama ini, yang diajari kepadaku berupa materi menggunakan kompas bidik beserta protaktor-nya, dengan sistem koordinat pada peta yaitu Universal Transverse Mercator (UTM). Tentu saja kepalaku berpikir, kala pertama kali menggunakan sistem navigasi yang Wanadri gunakan, apalagi ketika membeli kompas baruku itu dan bertanya-tanya tentang kegunaannya si penjual juga tidak begitu tahu walaupun dirinya jebolan mapala entah mana. Juga senior-senior yang kutanyai di grup, mereka berkata perbedaannya berada pada kegunaannya, tapi tidak menjelaskan bagaimana menggunakannya, mungkin karena mereka juga belum mengerti dan belum biasa menggunakannya, yasudah amunisiku dilapangan belum sempurna karena tidak mengerti kegunaan alat yang kubawa.

Diawal pergerakan kugunakan kompas orienteering itu layaknya kompas bidik, plotting posisi, sudut antar dua titik, persis sama. Bedanya hanya di jenis alat dan tetekbengek lainnya yang masih kugunakan berupa protaktor dan benang yang kugantikan dengan tali gantungan kompas. Padahal untuk menentukan sudut antara dua sudut, cukup temukan kedua titik itu dengan mistar kompas lalu dengan beberapa pergeseran pada mata kompas yang dapat berputar, menyejajarkan garis pada mata kompas dan garis vertikal pada peta, maka sudutnya dapat terbaca.

Sitem pergerakan Man-to-man.
Dengan kompas Orienteering kompas cukup dikunci dan secara bergantian saling menembak posisi sudut teman agar pergerakan terus lurus.

Kompas ini juga sangat berguna ketika sedang melakukan pergerakan. Sudut pergerakan dapat dikunci pada kompas. Walaupun tujuan kita tentu saja tidak akan persis, tapi dengan mengunci sudut gerak setidaknya arah kita tidak melenceng jauh dan dapat terus terpantau pada kompas. Caranya dengan menentukan sudut pergerakan pada mata kompas, lalu pastikan utara jarum kompas ketika berjalan selalu menuju ke utara mata kompas yang dapat berputar.

(Sebenarnya susah untuk dijelaskan, dipraktekkan langsung lebih baik).

Bersambung