Jumat, 30 Desember 2016

[Part IV: Cerita Bonggol]

"Tulis sendiri kata mutiaramu"
-Tulis Sendiri Namamu

---

Waktu kami untuk mengemas barang-barang dan membongkar bivak yang telah sempurna jadi hanya sepuluh menit. Dengan kerja tim yang solid, kami selesaikan semuanya dengan cepat walau beberapa barang tak terdeteksi keberadaannya. Kami berbaris dalam kegelapan, menunggu nama lapangan kami dipanggil satu persatu. 

BONGGOL!

Namaku dipanggil, bergegas, menaiki tanjakan yang gelap kucari sumber suara dan berbelok ke arah kiri mengikuti instruksi panitia. Tim (baru lagi) kami lengkap, 2 biji jantan dan 2 biji betina. Keperhatikan muka-muka lusuh yang akan menemaniku entah berapa malam kedepan, semoga mereka tidak terlalu merepotkan.

Sebelum menuju tempat peristirahatan, kami dibawa menuju Prasasti In Memoriam pendaki yang pernah hilang di lokasi yang akan kami tinggali. Kami di briefing, disemangati, diingatkan, jikalau malam itu adalah malam terakhir kami maka apa yang ingin kami sampaikan, apa yang ingin kami sampaikan kepada kedua orang tua kami, yang telah membesarkan dan menyayangi kami selama ini.

Walau harus menunggu beberapa menit karena pendamping kami lupa dimana tempat seharusnya kami menginap, akhirnya sampai juga di sebuah tempat antah-berantah. Kami harus merelakan semua barang-barang yang wajib disita dan hanya menyisakan sebagian kecil peralatan yang berguna, serta tanpa minuman dan makanan.

Badai terus mengoyak kawasan itu. Tempat bertemunya angin, kata temanku. Tempat yang memang terkenal akan angin kencangnya. Ditambah jatuhnya air hujan dengan sangat deras, membuat otak kami harus berpikir lebih keras, tangan kami yang harus bekerja lebih cepat untuk menyiapkan apa saja yang kami butuhkan untuk menginap di malam yang dingin itu.

Kedua biji betina yang kami peroleh masih terlalu manja, menurutku. Sebiji masih pilah-pilih barang yang harus digunakan, sebiji lagi masih sangat jauh dari kata mandiri. Dipikirannya (menurutku), tidak bergantung pada teman adalah hal yang baik. Namun bagiku, merepotkan adalah ketika kau tidak mau mendengar nasehat dan kemudian kau bener-benar sakit pada akhirnya. Mending ikuti nasehat temanmu, jangan paksakan dirimu, kami siap membantumu kapan saja, takkan kami biarkan nyawamu terbuang dengan percuma. Dan satu lagi, jangan banyak alasan untuk pilih-pilih sesuatu, nikmati saja sesuatu itu kalautidak kau kesulitan bertahan.

 [HARI KEEMPAT]

Kami melewati malam yang sangat menyiksa. Derasnya hujan dan kencangnya angin selalu menerobos bagian kaki kami. Apalagi posisiku dibagian pinggir yang langsung terkena genangan air. HUAW, sangat menyiksa. Namun masa bodoh, tetap kupejamkan mataku dengan posisi tidur senyaman mungkin, hingga cahaya pagi hari mulai membangunkan.

Hal pertama yang harus kelakukan, dan terpikirkan setelah aku sempurna bangun adalah BOKER. Sial, aku tetap diare dengan intensitas perut mules yang makin meningkat. Masih dengan senjata andalan yaitu parang (kali ini tanpa air karena kami tidak diberi air), kusisir semak yang tak terjamah kelompok lain. Kutemukan tempat yang pas, ritual yang sama seperti hari sebelumnya kulaksanakan. Belasan daun basah yang kucabuti menjadi saksi sejarah mereka digosokkan kepantatku agar bersih mengkilap. Ritual selesai,  saatnya kembali melanjutkan aktivitas.

Hari itu memang materi terkait survival, bagaimana caranya bertahan hidup dengan kondisi serba terbatas. Mulai dari cara menampung air di hutan, mencari makanan, membuat api, membuat bivak alami, serta berbagai materi yang berkaitan. Kami menampung air dari tetesan air yang jatuh pada lumut di sebuah pohon. Airnya cukup segar dan bersih, kami batasi pola minum kami agar airnya dapat bertahan selama mungkin. 

Setelah gagal menggunakan api dengan berbagai cara, akhirnya kami ditemani untuk mencari makanan. Kami menemukan banyak sekali buah yang tadi pagi sering kami temui. Buahnya ternyata dapat dimakan, takut sekali tadi pagi kami keracunan karena memakannya. Kami cari sebanyak mungkin buah seperti itu agar kekosongan di lambung dapat teratasi. Hei, kami menemukan beberapa buah strawberry hutan. Walaupun kecut, tentu saja dapat mengobati rasa rindu kami akan makanan "dunia". Hanya beberapa biji strawberry saja, tidak banyak.

Hari itu berjalan dengan sangat lambat dan penuh dingin. Kami lupa bahwa itu adalah hari jumat yang harusnya untuk lelaki menunaikan sholat jumat, namun bagaimana cara mendirikannya, ingat pun tidak, bersihpun tidak. Sudahlah, jumat itu kami lewati hanya dengan sholat dzuhur dilanjut ashar. Semoga Tuhan mengampuni kami.

Sore harinya, kukeluarkan isi perutku untuk keempat kalinya. Oralit dan diapet NR yang panitia bawa kuminum menggunakan sisa air lumut tampungan kami yang kuhabiskan hingga tetes terakhir. Belum sempurna gelap menyelimuti, kami malah sempurna bersarang pada bivak yang sudah kami pindahkan dan modifikasi sedemikian mungkin agar terhindar dari dinginnya air hujan dan badai di malam hari. Untung saja tidak ada kegiatan pada malam hari itu, itulah malam terpanjang kami yang hanya dihabiskan untuk tidur.

Kami terbangun untuk hari terakhir. Entah apa yang akan kami lalui setelah ini, pelantikan macam apa yang akan kami lewati. Ataukah seberapa susah jalan yang harus kami lalui sebelum benar-benar menyelesaikan perjalanan ini. Entahlah, mungkin butuh ruang yang berbeda untuk menuliskannya.

---

Sejujurnya ingin kutuliskan ceritaku bersama Randu pada bagian ini, namun entah mengapa kulupakan begitu saja cerita-cerita bersama Randu, bersamaan dengan kulupanya janjiku yang selalu Randu tagih untuk membayarinya makan di warung SS, warung yang kami impikan setelah melewati "kesenangan" ini. Terima kasih Randu, akan raungan melodi indah yang kau dengarkan kepada kami.
Ohuwowoowoo Uhowowooowooowo


Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar