Selasa, 25 Juli 2017

[Part 1] MERAPI: Sebuah Janji! #ekspedisiatapjawa #jawatengah

Ekspedisi Atap Jawa
Jawa Tengah
#1 Merapi

Setelah sekian panjang drama yang harus Merapi berikan, akhirnya tim yang akan berangkat berjumlah 7 orang. Dua pria dan 5 wanita. Awalnya aku sendirian pria yang akan mengantar kelima wanita tersebut, namun karena ada intervensi dari organisasi akhirnya bertambahlah satu pria lagi. Bersyukur, ada tambahan personil pria. Kalau tidak entah bagaimana nasibku dijalan.

Oiya, bagiku Merapi selalu dekat namun dalam waktu bersamaan sangat jauh. Sudah kulihat setiap sudutnya, mulai dari utara hingga ke utara lagi. Namun kesempatan untuk menaklukkannya belum pernah kesampaian.

Dalam kesempatan projek pribadi yang kubuat, berjudul Ekspedisi Atap Jawa Tengah, Merapi mendapat kesempatan pertama untuk dijajaki. Ekspedisi Atap Jawa Tengah bagiku merupakan titik awal dari Ekspedisi Atap Jawa yang ingin kutuntaskan hingga ke atap tertinggi Jawa – Mahameru. Namun, biarkan kuhabiskan atap Jawa Tengah kemudian Jawa Barat terlebih dahulu. Terakhir baru Jawa Timur dengan pamungkasnya di TNBTS Gunung Semeru.

Latar belakangku untuk memulai perjalanan dari Merapi sudah kujelaskan sebelumnya. Namun mengapa harus mengakhirinya di Mahameru?

Bagi mereka yang dekat denganku, mungkin sering mendengar cerita tentang dua kali kegagalanku dalam perjalanan Semeru. Kali pertama ketika masa polos SMA, kali kedua ketika terjadi tragedi meninggalnya mahasiswa Unpar Bandung. Namun kali ini bukan cerita Semeru yang ingin kubagikan.


SOP pendakian Gunung Merapi yang terpampang di Basecamp Barameru


Perjalanan ke Merapi akhirnya dimulai sehari sebelum keberangkatan. Sebenarnya kemampuan seperti ini yang tidak pernah dipelajari orang-orang. Mengapa orang mendaki gunung? Entah ada yang menjawab ingin mendapat foto-foto keren untuk dipajang di instagram, ada juga yang hanya mengincar titik tertinggi, namun ada juga orang sepertiku yang mengincar perjalanannya. Kemampuan yang paling berharga dalam mendaki gunung adalah manajemen perjalanan. Bagaiamana seorang pendaki gunung, terutama leader pendakian dapat memanajemen perlengkapan pribadinya disaat perlengkapan kelompok masih kekurangan, memanajemen kendaraan bersama disaat dia saja masih bingung untuk naik apa, memenajemen makanan kelompok disaat dia masih susah mengatur arus makan pribadinya, dan memanajemen skenario-skenario perjalanan disaat dia harus ribet dengan pergerakan yang harus dilakukannya sendiri. 

Namun, perjalanan itulah yang menjadi guru yang sebenarnya. Dimana tanda tanya akan diganti oleh tanda tanya baru, tentang pengetahuan yang tidak akan ditemui dari tempat lain, dari ruang kelas maupun buku-buku.

Perjalanan ke Merapi kami sepekati setelah sholat subuh pada tanggal 30 Juni 2017. Aku yang terakhir datang ke kampus karena ternyata mesjid yang kutempati sholat selesai lebih lama. Tanpa cincong kami bersiap-siap, finalisasi perlengkapan dan mengaturnya ke dalam kendaraan. Kami berangkat dengan 4 motor, dengan salah satu motornya hanya digunakan 1 orang karena jumlah rombongan yang ganjil.

Perjalanan melewati kelokan aspal kami habiskan tepat 2 jam setelah sedikit kebingungan di wilayah Magelang, namun tidak ada hambatan yang berarti. Rombongan sampai di basecamp Selo pukul 7.30 pagi. Sesuai kesepatan briefing kemarin, kami memesan sarapan di basecamp sebelum memulai pendakian. Nasi goreng yang cukup pedas, memulai gejolak yang perutku berikan. Sebenarnya buang air besar masih dapat dilakukan sebelum memulai perjalanan, namun karena antrian yang panjang serta susahnya akses air di kamar mandi yang terdapat di samping basecamp makanya kuurungkan niatku, mungkin ketika turun besok dapat kutuntaskan.

Atas: Gunung Merbabu yang malu-malu dilihat
Bawah: Gunung Lawu yang menancap kokoh di sebelah timur

Pukul 4-an sore sedikit lagi sampai di pasar Bubrah


Banyak skenario yang akhirnya terganti dan bergeser. Seperti rencana membeli makan malam dari basecamp yang tidak jadi, serta molornya waktu perjalanan. Padahal keberangkatan pukul 9 pagi dan perjalanan dihabiskan 8 jam hingga menapaki pasar bubrah pukul 16.56 WIB cukup lama padahal perjalanan normal harusnya hanya 5-6 jam.

Segera kami dirikan tenda sebelum matahari menghilang di ufuk barat. Tim kami bagi menjadi dua, yang mengurus konsumsi untuk makan malam dan mengurus persiapan menginap malam itu. Persiapan selesai tepat ketika cahaya mentari hilang total, menyisakan gemintang yang tidak malu jika muncul bergerombolan.

Kekecewaanku bertambah setelah tim yang mengurusi makan malam ternyata gagal membuat nasi yang enak. Nasinya keras, tidak ada bedanya ketika Diklatsar bersama mereka kemarin. Padahal kan sudah pake kompor gas, kok bisa gagal? 

Mungkin ekspektasi ku yang berlebih, kukira semua perempuan bakalan dengan mudah memasak apalagi di gunung

Ternyata tidak, aih apalah. Kalian tau, bagiku (dan juga bagi banyak orang), makanan yang harus dibawa di gunung adalah makanan yang sehat-sehat dan enak-enak. Naik gunung adalah waktu untuk makan enak, karena selain itu anak kos adalah orang-orang menderita yang jarang makan dengan alasan mager untuk sekedar keluar membeli makan atau memang tidak punya uang

NAIK GUNUNG ADALAH ALASAN UNTUK MENAMBAH PROTEIN.

Setelah menuntaskan makan malam, (yang masak nasinya kuambil alih, karena masih keras namun tak mengapa toh makan malamnya tetap sedap. Aku hanya takut jika nasi yang keras itu menambah parah gejolak di perutku).

Kami memulai evaluasi malam hari sekaligus briefing untuk persiapan hari kedua esok hari, summit attack. (Setelah ini, summit attack akan disebut summit)

Briefing dan evaluasi inilah yang memang membedakan para pendaki amatiran dan non-amatiran. 

Secara logika, malam hari adalah waktu untuk beristirahat, namun bagiku dan juga rombongan yang kubawa, harus ada sesuatu yang harus kami ambil hikmahnya barang sekecil-pun. Tidak lama, paling 30 menit hingga se-jam kami batasi waktu, jika memang diskusi berjalan kondusif. Selain persiapan summit attack, kami juga membahas untuk persiapan perjalanan turun ke basecamp setelah menikmati puncak.

Evaluasi dan briefing selesai, namun kuputuskan untuk langsung memasuki sleeping bag-ku (SB). Rencana untuk mendokumentasikan gemintang kutinggalkan. Selain karena dinginnya suhu dan keringnya angin yang berhembus di pasar Bubrah, tadi sore ketika unpacking barang kucoba menggunakan tripod yang kubawa. Namun sekali sentuh, barang tersebut patah disetiap sisi. Walau masih bisa digunakan, namun susah sekali, harus dengan niat yang sempurna itupun dengan resiko suatu waktu kameranya dapat ambruk karena angin yang begitu kencang menghantam tripod. 

Relakan saja, lagi pula TIDUR NYENYAK JUGA ADALAH ALASANKU UNTUK NAIK GUNUNG.

Golden Sunrise dari Pasar Bubrah. Pendaki menghabiskan momen dengan berfoto-foto atau sekedar melamun bersama teman perjalanan.


Tidak ada hambatan berarti dalam penghabisan malam yang kami lakukan di dalam tenda. Tidur nyenyak, walau kadang terbangun akibat rembesan air yang terkondesi, ataupun alarm JANCUK DALAM ARTI YANG SEBENARNYA.

Aku lupa mematikan alarm ku, alarm pagi yang paling pertama akan berbunyi pada pukul 03.00. Sebenarnya bukan masalah pukul 3 dini hari-nya, toh orang-orang yang persiapan summit juga cukup ribut. Masalahnya yaitu backsound yang kupakai sepertinya tidak cocok untuk daerah seperti gunung. Pasangan tidurku krasak-krusuk mencari hape yang berada ditumpukan laci-laci tas, aku yang setengah sadar malas-malas untuk bangun hingga akhirnya sempurna terbangun karena sadar dengan bunyi itu.

(Kalian cari saja bunyi itu, di hapeku judulnya ENDANK SOEKAMTI cut, sepertinya itu salah satu cuplikan lagu ES yang cukup populer untuk anak muda. Yang pernah kulihat di videonya, seorang bapak-bapak mengamuk di radio yang on-air dan berucap sangat kasar menantang pendengar).

Alarm sudah kumatikan, sekaligus alarm-alarm lainnya yang akan menyusul. Kembali ke SB-ku, sambil sesekali berbincang pendek dengan Kuaci, pasangan tendaku. Katanya, dia sangat kedinginan. Kutolak argumennya, tentu saja karena aku menggunakan perlengkapan lengkap yang menutupi seluruh tubuhku mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah ku konfirmasi ulang apa yang dia katakan, ternyata dia tidak membawa SB. Sial, kukira perlengkapannya sudah lengkap. Tahu gitu kan bisa dipersiapkan bersama ketika masih di kampus. Namun, karena sudah PeWe, kupura-pura tidur sajalah. Toh sedikit lagi subuh.

Subuh adalah waktu tersulit bagiku untuk melawan. Di pasar Bubrah, bukan hanya setan namun dingin juga harus ditaklukkan. Karena niatku untuk menikmati golden sunrise, kupaksakan untuk bangun. Persiapanku untuk mencari sunrise selesai, SB-ku kuberikan ke Kuaci yang masih terlelap kedinginan.

Atap pertama Officialy dengan plang #ekspedisiatapjawa #travelikay


Aku berjalan sendirian melewati bebatuan besar-besar tanpa menggunakan headlamp, kulatih insting penglihatan gelapku. Tidak gelap-gelap amat sih, tapi cukup untuk menabrak beberapa batu dan memelankan langkah ketika ingin menaiki tanjakan menuju plang Pasar Bubrah. Rame sekali orang-orang yang ingin mendokumentasikan momen ataupun para summiter yang melewatiku. Hasil briefing semalam, kami tidak jadi summit attack subuh-subuh. Alasanku, ngapain dingin-dingin lalu menghabiskan waktu hanya sekedar sunrise di puncak mending sunrise-an di Bubrah. Tapi entahlah, itu sekedar alasanku saja karena aku tidak yakin dapat bergegas dalam dinginnya subuh untuk menapaki puncak. Lagipula sama saja, sunrise di ketinggian. Pikirku, tapi entahlah mungkin suatu saat akan berbeda lagi.

Ternyata, skenario untuk tidak Summit di kala subuh akan mengubah skenario awal. Mungkin karena saat itu adalah Summit pertamaku, sehingga sudut pandang terkait kemoloran skenario belum pernah kupikirkan. Karena Summit yang kami lakukan baru pukul 6.12 pagi, ditambah perjalanan naik, foto-foto dipuncak, turun dan sampai lagi di pasar Bubrah pukul 8.11, sehingga skenario-skenario awal dan baru tetap saja salah. Inilah yang kucari dalam setiap perjalanan, 

PENGALAMAN AKAN MENAMBAH SUDUT PANDANG.

Sudut pandang baru tentang summit attack dan skenarionya. Di skenario awal keputusan Summit subuh-subuh memang karena alasan ingin menghabiskan sunrise di puncak. Namun setelah mengubah skenario dan menjalaninya dengan segala kemoloran, ternyata pelajaran yang dapat dipetik untuk sebuah summit attack adalah menjaga sebuah run-down perjalanan agar tetap sesuai.

Puncak Merapi kutapaki pada tanggal yang cukup unik, 1717 alias 1 Juli 2017. Perjalanan satu jam ke puncak cukup melelahkan namun dapat terbayar untuk sebuah penantian ketinggian yang sudah lama ditunggu.

Perjalanan menuruni puncak ternyata sangat seru. Hanya menghabiskan 24 menit karena setelah menemui jalur pasir, kita tinggal bermain prosotan saja. Berbeda dengan perjalanan naik yang menghabiskan 1 jam perjalanan karena setiap naik 3 langkah di jalur pasir maka kaki kembali terperosok 1 hingga 2 langkah. Capek.

Perut sangat keroncongan setelah telah kembali di Pasar Bubrah. Untung saja Kuaci yang tidak ikut Summit telah membuat nasi matang (tanpa keras, perutku bakalan aman), jadinya kami hanya perlu mempersiapkan lauk untuk sarapan (atau ini makan siang?). Semua konsumsi yang bisa dihabiskan kami kuras dan coba masak, hm sangat banyak jadinya. Sampai-sampai abang yang dari Purbalingga kami persilahkan ikut makan bersama.

Semua bahan makanan yang bisa dimasak kumasukkan dalam resep makanan. Setelah semua jadi, nafsu makanku begitu tinggi dengan bahkan sisa-sisa teman lain yang menurutku sayang karena mubazir coba kumakan juga. Alhasil, gejolak di perut yang tadinya membaik seketika kembali menyerang dengan begitu parah.

Sebelumnya beberapa butir diapet telah kuhabiskan tapi ternyata tetap tidak mempan. Aku berteriak untuk dicarikan tissue basah sekaligus segera berbenah dengan seragam yang cocok untuk buang air besar.

Seragam yang kugunakan berupa sarung untuk menutupi badan, jangan sampai tubuhku terlihat mencolok. Buff untuk menutupi muka, jangan sampai orang-orang mengenali wajahku. Ditambah dengan perlengkapan seperti parang untuk menggali dan mengubur kembali tanah, tissue basah untuk kalian tau lah, serta sedikit air untuk bebersih.

Tapi jangan bayangkan aku sedang berada di hutan dengan vegetasi yang rapat. Jangankan rapat, vegetasi saja tidak ada sama sekali. Pasar Bubrah adalah hamparan padang pasir dan batu luas yang setiap sudutnya dapat ditengok. Alhasil sambil menahan buang air, pikiranku terus bekerja untuk mencari tempat yang paling aman dan tidak terlihat orang-orang.

Kutemukan lembah kecil, kumasuki lalu kususuri hingga ujungnya. Buset, ujungnya berupa jurang yang sangat dalam. Kuliat dan perhatikan sekitar dengan sungguh-sungguh. Setelah berhitung dengan keadaan, tentang titik dimana harus kutanam ranjau yang sudah tak tahan untuk dilepas maka tanpa berlama-lama posisiku berubah menjadi mode-on siap menghempaskan bumi. Lima menit lebih sedikit perutku selesai bergejolak.

Pasir, batu dan tanah kususun sedemikian rupa agar tidak meninggalkan tanda-tanda aktivitas yang mencurigakan. Aku kembali ke tenda dengan perasaan lega, dengan sedikit berlari-lari kecil karena sangat puas dengan apa yang telah kulakukan. Bayangkan saja, banyak orang dengan susah payah mendaki dan menginap di Pasar Bubrah. Namun, hanya sedikit sekali orang yang berhasil melepaskan ranjau di datarannya. SEDIKIT ORANG ITU ADALAH AKU.

Bersambung...




Tidak ada komentar:

Posting Komentar