Jumat, 27 Januari 2017

[Do'a-do'a]

“Ketika masa depan tidak lagi menjanjikan gairah, hanya masa lalu yang membuat orang bahagia.” 
― Agustinus Wibowo

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, aku terbangun lebih cepat walaupun tetap saja telat untuk beribadah tepat waktu. Perjalanan gratisan berkeliling mulai dari utara Yogyakarta hinga bagian timur di hari sebelumnya tidak membuatku puas. Setelah menyiapkan diri dan peralatan yang harus di bawa, seperti kamera dan dompet, aku keluar dari kamarku dengan percaya diri. Sepeda pinjaman yang kupakai kukayuh dengan santai karena track awalku hanyalah turunan.

Jalan Kaliurang adalah jalanan yang menyambungkan UGM hingga ke daerah Wisata Kaliurang yang panjangnya lebih dari duapuluh kilometer. Makin besar nilai KM-nya maka makin tinggi elevasinya, berarti menuruni tangga KM jalan kaliurang berarti melawan gaya gravitasi, semakin sedikit energi yang dibutuhkan untuk mengayuh sepeda.

Setelah melewati BangJoe (lampu merah) pertama, mulai kunikmati perjalanan dengan melepaskan kedua tangan dari stang sambil berperan layaknya burung yang baru belajar terbang. Lupakan motor dan mobil yang juga tidak menghiraukanku, kuperhatikan setiap sudut pertokoan yang ada lalu perhatianku tertuju ke arah gerobak bubur ayam yang setiap paginya kulewati jika jadwal kampus mengharuskan.

Kuputuskan untuk mencoba menikmati suguhan bubur ayam, daridulu  aku selalu penasaran kenapa buryam disitu sangat laris manis. Kupesan satu porsi bubur yang harganya 8000 rupiah, ditemani remah kerupuk dan berbagai tambahan jeroan jika ingin. Buryam awalnya ku makan tanpa tambahan sambel atau kecap, kuresapi setiap bumbunya. Kurasa tidak ada yang terlalu khas. Yasudah, biar lebih mantap kutambahi sedikit sambal tapi jangan terlalu banyak karena cabe sedang mahal.

Tidak sampai lima menit mangkokku bersih. Ajaran yang tetap kupertahankan dari keluargaku, jangan sekali-sekali menyisakan makanan. Aku heran dengan orang-orang yang gampang sekali menyisakan makanan, apalagi di warung prasmanan yang lauk-pauk-nasinya ambil sendiri namun tetap tidak dihabiskan. Keherananku mungkin tidak jauh berbeda dengan keheranan mereka yang melihat piringku sangat bersih bahkan sampai cicit-cicit nasi yang masih bercokol di jariku kujilati hingga tak tersisa. Gerobak buryam ini tidak menyediakan minuman gratis, makanya ada air putih gelas kemasan dengan harga 500 rupiah pergelas. Kuambil dua gelas agar transaksiku tepat 9000 rupiah, segelas kuminum habis dan segelasnya lagi kusimpan untuk bekal perjalanan yang bakalan menguras keringat.

Perjalanan berlanjut. Setelah sedikit mengintip ke sekre mapala fakultasku yang ternyata tidak kutemukan orang sama sekali, akhirnya pemberentian pertamaku yaitu jembatan Kali Code di jalan Sudirman. Kuarahkan pandangan ke arah utara, lagi-lagi Gunung Merapi yang merupakan lambang keperkasaan masyarakat Yogya dalam menghadapi bencana, masih dapat terlihat dengan jelas.
Kurasa setiap perjalananku di daerah Yogya manapun pasti kutemui puncaknya. Konon ketika kau kehilangan arah, tengok saja puncak Merapi, kau sedang menengok ke arah utara. Tapi ini khusus wilayah Yogya ya.

Dibawah jembatan terdapat rumah-rumah padat dengan atap berwarna-warni, menumbuhkan rasa bahagia. Kumuhnya perkampungan di sekitar Kali Code sangat kontras dengan bangunan tinggi yang mulai merangkak bangun perlahan.

Hanya beberapa ratus meter dari jembatan, Monumen Tugu Yogya bercokol tegak di persimpangan jalan. Kurasa masih pagi saat itu, sehingga belum ada kawula yang berselfie ria dengan latar Tugu Yogya. Padahal setiap lewat disini apalagi malam hari pasti gerombolan orang menumpuk berdesakan tidak peduli lalu-lalang kendaraan yang lewat.

Setelah puas dengan informasi-informasi mengenai sejarah monumen ini yang dapat kita dapati disamping pos polisi, kulanjutkan perjalanan ke selatan melewati rel kereta hingga tembus jalan Malioboro. Jalan legendaris yang kalau kau belum foto di tulisan plang Jl. Malioboro katanya belum sah ke Jogja, padahal 2,5 tahunku di Jogja sama sekali belum kutempelkan wajah dengan latar plang itu. Jalur pedestrian di Malioboro tidak kalah, akhir-akhir ini foto di pedestrian sedang trending entah apa yang istimewa haha.

Kulewati pelan-pelan jalan Malioboro, pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, berhenti ketika lampu merah di KM 0 Yogyakarta. Keselatan terus kudapati Alun-alun Utara Yogya. Disekitaran alun-alun utara dan selatan, bercokol kawasan Keraton Yogyakarta tempat sang Raja Hamengkubowono bertakhta. Jika berkeliling dikawasan ini, selain menemukan Alun-alun Utara dan Selatan, Keraton dan bagian lain, disini juga sangat kental akan suasana Jogja yang sebenarnya.

Kesini saja, nikmati sendiri suasananya. Kawasan pertokoan kuno ditengah ibukota provinsi, becak dan pengayuhnya yang selalu tersenyum jika disapa, gang-gang bersuasana nyaman yang dijejeri toko-toko baju khas Yogya, dan ribuan lainnya.

Aku menghentikan perjalanan di Alun-alun Selatan untuk beristirahat. Kubuka hape dan update di mana lokasi saat itu. Tiba-tiba seorang kakek mengajakku mengobrol. Sang kakek bercerita konon disini (alun-alun) masih hamparan lapangan rumput bebas untuk bermain bola. Dengan sangat lepas dan percaya diri, sang kakek mulai menceritakan riwayat hidupnya.

Lupa menanyakan nama beliau
Mulai dari perantauannya ke Jakarta selepas Sekolah Rakyat (SR) dan menjadi AKABRI, yang kemudian mengantarkannya sangat dekat dengan pemimpin Orde Baru, Soeharto. Kisah tentang Andi Malarangeng politisi asal Makassar, ketika berkuliah di Yogya dan menetap dirumah bibinya, tentang korupsi Hambalang yang pernah melibatkannya dan dengan mudah bebas dari hukuman pidana karena relasi-relasi hebat yang mereka punyai. Dan tentang pekerjaannya kini yang dia sebut-sebut sebagai sebagai 'babu terhormat' karena setiap senin dan sabtu harus mencuci mobil BMW Sultan.

Kulanjutkan perjalanan pulang karena panggilan untuk mengambil korsa pinjaman telah datang. Setelah doa-doa yang dia panjatkan untuk keselamatanku dijalan karena telah memberikannya segelas air putihku dan seperak koin 1000 rupiah untuk membelikannya secuil nasi kucing untuk makan siang, kembali kukayuh sepeda dengan energi yang berkali lipat lebih besar karena melawan arah kedatangan.

Sial, cukup jauh aku mengayuh ternyata aku lupa menanyakan siapa nama sang kakek. Padahal sudah kuabadikan gambar wajahnya dan sempatku rekam ceritanya dalam sosial-media. Mungkin lain kali kami bakalan bertemu, entahlah semoga ada cerita baru jika memang pertemuan itu ada.

Perjalanan hari itu tidak berhenti begitu saja, sebenarnya hari itu adalah hari sabtu yang cukup spesial menurutku. Lanjutan kisah dihari yang sama mungkin ku ceritakan suatu saat, entah kapan, atau mungkin tidak

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar